Pada
dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan. Suatu
konflik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi yang muncul dalam
berbagai peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut diawali dengan hal-hal
yang abstrak dan umum, kemudian bergerak dan berproses menjadi suatu konflik
(Hidayat, 2002:124).
Konflik
politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial, dimana keduanya memiliki
ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan konflik sosial dan politik adalah kata politik
yang membawa konotasi tertentu bagi sitilah konflik politik, yakni mempunyai
keterkaitan dengan negara/ pemerintah, para pejabat politik/pemerintahan, dan
kebijakan (Rauf, 2001:19).
Konflik
politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk
menentang keputusan politik, kebijakan publik dan pelaksanaannya, juga perilaku
penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur
hubungan-hubungan diantara partisipan politik (Surbakti, 1992:151).
Sebagai
aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi (interaction) yang
ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara kepentingan, gagasan,
kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar lainnya yangsatu sama
lain saling bertentangan (Plano, dkk, 1994:40). Dengan demikian, makna benturan
diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan pendapat,
persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan pemerintah
(Surbakti, 1992:149).
Salah
satu faktor yang menggerakkan potensi konflik menjadi terbuka (manifest
conflict), menurut Eric Hoffer adalah faktor keinginan akan perubahan dan
keinginan mendapat pengganti Faktor tersebut, suatu saat, mampu menggerakkan
sebuah gerakan massa yang bergerak seketika, menuntut perubahan revolusioner
(Hoffer:1998).
Teori-Teori Penyebab Konflik
Konflik
sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang
saling berhadapan, disebabkan oleh beberapa latar belakang yang ada. Pertama,
adanya latar belakang sosial politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda
dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Kedua, adanya pemikiran yang
menimbulkan ketidak sepahaman antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, adanya
sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada dalam
organisasi. Keempat, adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi,
sikap frustasi, rasa tidak senang, dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat
apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok, berarti harus menanggung
resiko yang tidak kecil. Kelima, adanya dorongan rasa harga diri yang
berlebih-lebihan dan berakibat pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga
untuk melakukan rekayasa dan manipulasi (Hidayat, 2002:124).
Simon
Fisher (2001:7-8) menjelaskan teori penyebab konflik dalam masyarakat. Pertama,
teori hubungan masyarakat, bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan
polarisasi, ketidakpercayaan (distrust) maupun permusuhan antar kelompok yang
berada ditengah-tengah masyarakat kita. Kedua, teori negosiasi prinsip, bahwa
konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan
pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Ketiga,
teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang muncul ditengah masyarakat
disebabkan perebutankebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan fisik, mental
dan sosial yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut. Keempat, teori
identitas, bahwa konflik lebih disebabkan identitas yang terancam atau berakar
dari hilangnya sesuatu serta penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.
Kelima, teori transformasi konflik, bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan.
0 comments:
Post a Comment