Thursday, August 18, 2016

Membangun Demokrasi


Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan di dalam pemerintahan. Karena itu setiap warga negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama untuk memerintah. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan legalitas kekuasaan negara. Hal ini untuk membedakan dengan bentuk pemerintahan oligarkhi, kekuasaan yang ada pada sedikit orang, dan monarki, kekuasaan yang ada di tangan satu orang.
Mac Iver sudah menyatakan bahwa semua Negara modern saat ini dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi, namun tidak ada yang memiliki karakter yang sama. Karena itu, demokrasi dipahami sebagian sebagai peringkat atau derajat dan sebagian lagi ada yang memahami sebagai mekanisme tertentu melalui mana kehendak umum diekspresikan. (Mac Iver, 1955: 351).
Demokrasi mengalami perkembangan pesat dan dipraktekkan menjadi pilihan sistem bernegara terutama pada abad XIX bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme. Pada akhir abad XVIII negara-negara yang mengembangkan institusi demokrasi hanya dapat dilihat di Inggris, Perancis dan Belanda. Namun di awal abad XX hampir tidak ada negara di kawasan Eropa yang tidak memiliki konstitusi demokratis seperti halnya juga di kawasan Amerika dan Asia.
Namun demikian demokrasi tetap mendapat kritik:
1.      Demokrasi tidak dengan sendirinya lebih efisien secara ekonomis ketimbang bentuk-bentuk pemerintahan lainnya.
2.      Demokrasi tidak secara otomatis lebih efisien secara administrative. Kapasitas demokrasi untuk mengambil keputusan-keputusan boleh jadi lebih lambat ketimbang rezim-rezim lain yang pernah digantikannya.
3.      Demokrasi tidak mampu menunjukkan situasi yang lebih tertata rapi, penuh konsensus, stabil, atau dapat memerintah ketimbang system otokrasi yang mereka tumbangkan. Situasi semacam ini sulit dielakkan sebagai implikasi dari kebebasan berekspresi dalam demokrasi.
4.      Demokrasi memang memungkinkan masyarakat dan kehidupan politik lebih terbuka ketimbang otokrasi yang disingkirkannya, akan tetapi tidak dengan sendirinya menjadi ekonomi yang lebih terbuka. (Philip dan Karl dalam Gaffar, 2013 : 15)
Solusi atas kelemahan demokrasi tersebut seyogyanya ditempuh bukan hanya dengan jalan menguranginya, melainkan justru dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis. Karena itu perlu ada pendalaman dan perluasan demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif bebas dan berkala, kebebasan berkumpul dan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara lebih kompetetitif.
Kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya ketidaksetaraan sosial yang ekstrim dapat mempertahankan oligarkhi atau tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Menurut Latif masyarakat Amerika yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai oleh derajat kesetaraan ekonomi, pendidikan dan dalam kemampuan mempertahankan diri (pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir dinegeri ini. Sebagai masyarakat pasca kolonial yang terus terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan sebagianbesar rakyat di sektor tradisional terus termarginalkan. Hal ini berimbas pada kesenjangan di bidang pendidikan-sekitar 70 % warga masih berlatar pendidikan dasar. Dalam multidimensi ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan muncul, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi sejati. Sejauh yang berkembang hanyalah oligarkhi dalam mantel demokrasi. (Latif, 2013)

Selama orde reformasi, demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, yang jika tidak diatasi dengan segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai kebaikan demokrasi. Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat.

0 comments: