Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan,
yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan di dalam pemerintahan.
Karena itu setiap warga negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama untuk
memerintah. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan
legalitas kekuasaan negara. Hal ini untuk membedakan dengan bentuk pemerintahan
oligarkhi, kekuasaan yang ada pada sedikit orang, dan monarki, kekuasaan yang
ada di tangan satu orang.
Mac Iver sudah menyatakan bahwa semua Negara modern
saat ini dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi, namun tidak ada yang memiliki
karakter yang sama. Karena itu, demokrasi dipahami sebagian sebagai peringkat
atau derajat dan sebagian lagi ada yang memahami sebagai mekanisme tertentu
melalui mana kehendak umum diekspresikan. (Mac Iver, 1955: 351).
Demokrasi mengalami perkembangan pesat dan
dipraktekkan menjadi pilihan sistem bernegara terutama pada abad XIX bersamaan
dengan tumbuhnya nasionalisme. Pada akhir abad XVIII negara-negara yang
mengembangkan institusi demokrasi hanya dapat dilihat di Inggris, Perancis dan
Belanda. Namun di awal abad XX hampir tidak ada negara di kawasan Eropa yang
tidak memiliki konstitusi demokratis seperti halnya juga di kawasan Amerika dan
Asia.
Namun demikian demokrasi tetap mendapat kritik:
1. Demokrasi
tidak dengan sendirinya lebih efisien secara ekonomis ketimbang bentuk-bentuk
pemerintahan lainnya.
2. Demokrasi
tidak secara otomatis lebih efisien secara administrative. Kapasitas demokrasi
untuk mengambil keputusan-keputusan boleh jadi lebih lambat ketimbang
rezim-rezim lain yang pernah digantikannya.
3. Demokrasi
tidak mampu menunjukkan situasi yang lebih tertata rapi, penuh konsensus,
stabil, atau dapat memerintah ketimbang system otokrasi yang mereka tumbangkan.
Situasi semacam ini sulit dielakkan sebagai implikasi dari kebebasan
berekspresi dalam demokrasi.
4. Demokrasi
memang memungkinkan masyarakat dan kehidupan politik lebih terbuka ketimbang
otokrasi yang disingkirkannya, akan tetapi tidak dengan sendirinya menjadi
ekonomi yang lebih terbuka. (Philip dan Karl dalam Gaffar, 2013 : 15)
Solusi
atas kelemahan demokrasi tersebut seyogyanya ditempuh bukan hanya dengan jalan
menguranginya, melainkan justru dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis.
Karena itu perlu ada pendalaman dan perluasan demokrasi. Hal ini ditunjukkan
dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang
relatif bebas dan berkala, kebebasan berkumpul dan berekspresi, keluasan akses
informasi, desentralisasi dan otominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara
lebih kompetetitif.
Kecenderungan
untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara
seksama dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia justru dapat
melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti
diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera
sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya
ketidaksetaraan sosial yang ekstrim dapat mempertahankan oligarkhi atau tirani.
Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan
desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan
ketidakadilan.
Menurut
Latif masyarakat Amerika yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai oleh
derajat kesetaraan ekonomi, pendidikan dan dalam kemampuan mempertahankan diri
(pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir dinegeri ini.
Sebagai masyarakat pasca kolonial yang terus terperangkap dalam dualisme
ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang
menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan sebagianbesar rakyat
di sektor tradisional terus termarginalkan. Hal ini berimbas pada kesenjangan
di bidang pendidikan-sekitar 70 % warga masih berlatar pendidikan dasar. Dalam
multidimensi ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan muncul,
Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi sejati. Sejauh yang berkembang
hanyalah oligarkhi dalam mantel demokrasi. (Latif, 2013)
Selama
orde reformasi, demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, yang jika
tidak diatasi dengan segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai kebaikan
demokrasi. Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem
demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada rendahnya tingkat pendidikan
rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya
terletak pada ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan
kepercayaan masyarakat.
0 comments:
Post a Comment