Jika
nasionalisme dipahami dalam kerangka ideologi (Apter, 1967:97) maka di dalamnya
terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation;
(3) stategic. Aspek cognitive mengandaikan perlunya pengetahuan atau
pemahaman akan situasi konkret sosial, ekonomi, politik dan budaya bangsanya.
Jadi nasionalisme adalah cermin abstrak dari keadaan kehidupan konkret suatu
bangsa. Maka peran aktif kaum intelektual dalam pembentukan semangat nasional
amatlah penting, sebab mereka itulah yang harus merangkum kehidupan seluruh
anak bangsa dan menuangkannya sebagai unsur cita-cita bersama yang ingin
diperjuangkan. Cendikiawan Soedjatmoko menyebut nasionalisme tidak bisa tidak
adalah nasionalisme yang cerdas karena nasionalisme itu harus disinari oleh
kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan dan kesadaran sejarah (Soedjatmoko,
1991:29-30).
Aspek
goal menunjuk akan adanya cita-cita, tujuan ataupun harapan ideal bersama di
masa datang yang ingin diwujudkan atau diperjuangkan di dalam masyarakat dan
negara. Cita-cita itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial,
ekonomi, politik, ideologi, budaya, dll. yang disepakati bersama. Dalam hal ini
nasionalisme Indonesia mula-mula berjuang untuk mengusir penjajah Belanda,
merontokan feodalisme, primordialisme dan membentuk negara bangsa (nation
state) yang merdeka, sejahtera dan demokratis, sebagai rumah bersama untuk
seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Meraoke. Negara bangsa Indonesia adalah
rumah bersama di mana kebhinnekaan suku, budaya, agama dan tradisi dijamin
sehingga semua warga bangsa dapat hidup damai, sejahtera dan bebas.
Aspek
strategic menuntut adanya kiat perjuangan kaum nasionalis dalam perjuangan
mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama, dapat berupa perjuangan fisik atau
diplomasi, moril atau spirituil, dapat bersifat moderat atau radikal, dapat
secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan lain-lain. Kiat mana yang
dipilih akan tergantung pada situasi, kondisi konkret dan waktu setempat yang
dihadapi oleh suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, masa revolusi memang harus
berjuang secara fisik dan diplomatis untuk melawan penjajah Belanda, tetapi
sekarang setelah merdeka nasionalisme bukan lagi untuk melawan penjajah tetapi
mengisi kemerdekaan dengan membasmi korupsi, menghilangkan kebodohan dan
kemiskinan, menegakan demokrasi, membela kebenaran dan kejujuran agar
masyarakat madani dapat diwujudkan, di mana setiap warga bangsa sungguh dapat
mewujudkan cita-citanya. Sartono Kartodirdja (1972: 65- 67), menambahkan,
nasionalisme harus mengandung aspek affective, yaitu
semangat
solidaritas, unsur senasib, unsur kebersamaan dalam segala situasi sehingga
seluruh warga bangsa sadar akan kebangsaannya.
Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo
(1999: 13) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pasca-revolusi apa lagi
pasca-reformasi masih menuntut nasionalisme sebagai factor pemicu dalam proses
konsolidasi orde sosial-politik yang dibingkai oleh negara bangsa, terutama
jika nasionalisme itu benar-benar disertai dengan kelima prinsip utamanya, yakni
menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa, menjamin kebebasan (liberty)
individu ataupun kelompok, menjamin adanya kesamaan (equality) bagi
setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian (personality),
danprestasi (performance) atau keunggulan bagi masa depan bangsa. Selama
kelima pilar nasionalisme tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap
relevan dan terus dibutuhkan oleh setiap bangsa, dan lagi nasionalisme akan
terus berkembang, dinamis sesuai dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa
yang bersangkutan. Oleh sebab itu wajah nasionalisme dari waktu ke waktu dapat
saja berubah dan berkembang, sakalipun esensi dan unsur pokok tetaplah sama.
Benedict
Anderson juga menekankan tetap pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia,
dalam pengertian tradisional. Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini
adalah adanya apa yang disebut sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin
berkurangnya semangat nasional, lebih-lebih di kalangan mereka yang kaya dan
berpendidikan (Anderson, 2001:215). Untuk itu Anderson menganjurkan pentingnya
ditumbuhkan kembali semangat nasionalis sebagaimana yang dulu hidup secara
nyata di kalangan para pejuang pergerakan dan revolusi. Ia mengusulkan
dibinanya semangat “nasionalisme kerakyatan” yang sifatnya bukan elitis
melainkan memihak ke masyarakat luas, khususnya rakyat yang lemah dan
terpinggirkan.
Salah satu ciri pokok dari nasionalisme
kerakyatan itu adalah semakin kuatnya rasa kebersamaan senasib dan
sepenanggungan sebagai bangsa (Anderson, 2001: 214-215). Ia mensinyalir bahwa
para pemimpin yang ada sekarang ini tidak memiliki jiwa patriotik, sebagaimana
nampak dalam keputusan-keputusan yang mereka buat serta dalam perilaku sosial,
ekonomi dan politis mereka. Mereka mengirim anak-anak mereka belajar di luar
negeri dan diam-diam melecehkan kebudayaannya sendiri, mereka mempunyai rumah
mewah di luar negeri, simpanan kekayaan dalam dollar Amerika, sementara
mayoritas rakyatnya tinggal digubuk-gubuk reyot yang bau anyir, kelaparan dan
penyakitan. Maka sejarawan Taufik Abdullah (Kompas, 18 Agustus 2007)
menambahkan bahwa nasionalisme saat ini yang dibutuhkan adalah nasionalisme
solidaritas sosial, yaitu kepedulian dan rasa tanggungjawab antara warga bangsa
karena mulai pudar di masyarakat maupun elite politik.
0 comments:
Post a Comment