Tuesday, August 09, 2016

REVOLUSI KETERGANTUNGAN INTERNASIONAL


Sepanjang kurun waktu 1970-an, model-model ketergantungan internasional mendapat dukungan yang cukup besar di kalangan intelektual negara-negara dunia ketiga, sebagai akibat dari tidak kunjung terwujudnya prediksi model-model pertumbuhan ekonomi tahapan- linier dan perubahan struktural, sementara ini model ketergantungan internasional kurang berjaya selama dekade 1980-an sampai dekade 1990-an. Namun berbagai versi dari teori tersebut kembali menikmati kebangkitan pada awal-awal tahun abad 21 ketika beberapa pandangan dari teori itu diadopsi oleh para teoritisi dan pemimpin gerakan antiglobalisasi, walaupun dengan bentuk yang sudah dimodifikasikan. Pada intinya, model ketergantungan internasional memandang negara-negara dunia ketiga sebagai korban kekakuan aneka faktor kelembagaan,politik, dan ekonomi, baik yang berskala domestik maupun internasional. Mereka semua telah terjebak ke dalam perangkap ketergantungan (dependence) dan dominasi (dominance) negara-negara kaya. Di dalam pendekatan ini, terdapat tiga aliran pemikiran yang utama, yaitu: model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence model), model paradigma palsu (false-paradigm model),  serta tesis pembangunan-dualistik  (dualistic-development thesis).
a.       Model ketergantungan neokolonial
Aliran pemikiran yang pertama, yang kita sebut sebagai model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence model), secara tidak langsungan adalah suatu pengembangan pemikiran kaum marxis. Model ini menghubungkan keberadaan dan kelanggengan negara-negara terbelakangan kepada evolusi sejarah hubungan internasional yang sama sekali tidak seimbang antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin dalam suatu sistem kapitalis internasional. Terlepas dari sengaja atau tidaknya sikap dan praktek eksploitatif negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang koeksistensi negara miskin dan kaya dalam suatu sistem internasional tidak bisa dipungkiri. Koeksistensi ini digambarkan sebagai hubungan kekuasaan yang sangat tidak berimbang antara pusat (center,core) yang terdiri dari negara-negara maju, serta pinggiran (periphery), yakni kelompok negara yang sedang berkembang. sampai batas tertentu pemikiran radikal ini telah mendorong negara-negara miskin untuk mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya-upaya pembangunan mereka, meskipun dalam prakteknya hal itu sangat sulit, atau bahkan kadang-kadang mustahil untuk dilakukan. Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara berkembang. Mereka merupakan kelompok kecil elit penguasa yang kepentingan utamanya, disadari ataupun tidak, adalah melestarikan sistem kapitalis internasional yang tidak adil dan menindas, karena mereka memang mendapat banyak keuntungan darinya. Baik secara langsung maupun tidak, mereka telah mengabdi (didominasi oleh) dan dianugerahi oleh (tergantung pada) kelompok-kelompok kekuatan internasional yang memiliki kepentingan tertentu, termasuk perusahan-perusahan multinasional, lembaga-lembaga bantuan  bilateral, dan organisasi-organisasi penyedia bantuan multilateral seperti bank dunia (world bank) atau dana moneter internasional ( IMF, internasional monetery fund), dan kesemuanya terikat oleh suatu jaringan-jaringan kesetiaan atau sumber dana kepada negara-negara kapitalis yang makmur. Kegiatan-kegiatan dan pandangan kelompok elit itu bahkan sering ditujukan pada usaha untuk menghambat setiap upaya perubahan yang sedianya akan menguntungkan masyarakat luas. Dalam beberapa kasus, tindakan mereka bahkan telah mengarah kepada penurunan taraf hidup serta pelestarian keterbelakangan (derdevelopment). Pendeknya, pandangan neo-marxis atau dalam hal ini pandangan keterbelakangan neokolonial, mencoba menghubungkan kemiskinan yang terus berlanjut dan semakin parah di sebagian besar negara-negara industri kapitalis dari belahan bumi utara yang dapat menyebar luas melalui kelompok-kelompok domestik kecil elit yang berkuasa, yang mereka sebut kelompok comprador (comprador group) di semua negara-negara berkembang.

b.      Model paradigma palsu
                Cabang atau aliran yang kedua dari teori ketergantungan internasional terhadap topik pembangunan ini relatif tidak begitu radikal. Aliran ini biasa disebut sebagai model paradigma palsu (false-paradigm model). Ia mencoba menghubungkan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga  dengan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang diberikan oleh para pengamat atau “pakar” internasional, meskipun saran-saran tersebut baik tetapi sering tidak diinformasikan secara tepat; bias; dan hanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu saja yang bernaung di bawah lembaga-lembaga bantuan negara-negara maju dan organisasi-organisasi donor multinasional. Para pakar ini menawarkan konsep-konsep yang serba canggih, struktur teori yang bagus, dan model-model ekonometri yang serba rumit tentang pembangunan yang dalam prakteknya seringkali hanya menjurus kepada terciptanya kebijakan-kebijakan yang tidak tepat guna atau bahkan melenceng sama sekali. Faktor-faktor kelembagaan di negara-negara dunia ketiga, seperti masih pentingnya struktur sosial tradisional (yakni, kesukuan, kasta, kelas, dan sebagainya);  sangat tidak meratanya hak kepemilikan tanah dan kekayaan lainnya; tidak memadainya kontrol kalangan elit terhadap aset-aset keuangan domestik dan internasional; serta sangat timpangnya kesempatan ataupun kemudahan dalam rangka mendapatkan kredit usaha; selama ini tidak dipahami dan diperhitungkan secara memadai, sehingga tidak mengherankan apabila kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh para ahli internasional tadi, yang biasanya mereka dasarkan pada model-model surplus tenaga kerja dari lewis atau perubahan struktural dari chenery, dalam banyak hal hanya melayani kepentingan sepihak kelompok-kelompok domestik maupun internasional yang sedang berkuasa.
Di samping itu, menurut argumen paradigma palsu ini, para cendekiawan di berbagai universitas terkemuka, para pemimpin serikat-serikat pekerja, para ekonomi di lembaga pemerintahan, dan para pejabat negara-negara berkembang pada umumnya, hampir semuanya mendapat didikan dan latihan dari lembaga-lembaga di negara-negara maju. Seringkali tanpa disadari, mereka terlalu banyak menelan konsep-konsep asing dan model-model teoretis yang serba hebat tetapi sebenarnya tidak cocok dan tidak dapat diterapkan  di daerah mereka sendiri. Akibat ketiadaan atau terbatasnya pengetahuan yang tepat guna untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan, maka kalangan elit tersebut justru cenderung menjadi pembela keyakinan asing yang melupakan atau mengabaikan adanya sistem kebijakan elitisi serta struktur kelembagaan yang khas negara-negara berkembang.
c.       Tesis pembangunan dualistik
Unsur pemikiran pokok yang secara implisit terkandung di dalam teori-teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah dinyatakan dalam teori ketergantungan internasional adalah gagasan akan adanya sebuah dunia bermasyarakat ganda (a world of dual societies). Secara garis besar, pandangan ini melihat dunia terbagi ke dalam dua kelompok besar, yakni negara-negara kaya dan miskin dan di negara-negara berkembang terdapat segelintir penduduk yang kaya di antara begitu banyak penduduk yang miskin. Dualisme (dualism) adalah sebuah konsep yang dibahas secara luas dalam ilmu   ekonomi pembangunan. Konsep ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang kian lama terus melebar antara negara-negara kaya dan miskin serta antara orang-orang kaya dan miskin pada berbagai tingkatan di setiap negara. Pada dasarnya konsep dualisme ini terdiri dari empat elemen kunci sebagai berikut:

1.      Beberapa kondisi yang berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan “inferior”, hadir secara berkesamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan tempat yang sama. Inilah hakekat dari konsep dualisme.
2.      Koeksistensi tersebut bukanlah suatu hal yang bersifat sementara atau transisional, melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini juga bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan berlalunya waktu. Artinya, elemen yang superior tidaklah mudah untuk meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara kaya dan miskin bukanlah hanya merupakan suatu fenomena sejarah yang akan membaik dengan sendirinya bila saatnya sudah tiba. Meskipun teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model perubahan struktural secara implisit dilandaskan pada asumsi yang demikian, namun fakta bahwa ketimpangan  internasional semakin membesar secara jelas membuktikan kekeliruan asumsi tersebut.
3.      Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan cenderung meningkat.
4.      Hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-elemen yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior. Dengan demikian apa yang disebut sebagai prinsip “ penetesan kemakmuran ke bawah “ ( trickle down effect ) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam kenyataannya, elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi, mengekploitasi ataupun menggencet elemen-elemen yang inferior. Jadi yang mereka kembangkan justru keterbelakangannya.


0 comments: