Sepanjang kurun waktu 1970-an,
model-model ketergantungan internasional mendapat dukungan yang cukup besar di
kalangan intelektual negara-negara dunia ketiga, sebagai akibat dari tidak
kunjung terwujudnya prediksi model-model pertumbuhan ekonomi tahapan- linier
dan perubahan struktural, sementara ini model ketergantungan internasional
kurang berjaya selama dekade 1980-an sampai dekade 1990-an. Namun berbagai
versi dari teori tersebut kembali menikmati kebangkitan pada awal-awal tahun
abad 21 ketika beberapa pandangan dari teori itu diadopsi oleh para teoritisi
dan pemimpin gerakan antiglobalisasi, walaupun dengan bentuk yang sudah
dimodifikasikan. Pada intinya, model ketergantungan internasional memandang
negara-negara dunia ketiga sebagai korban kekakuan aneka faktor
kelembagaan,politik, dan ekonomi, baik yang berskala domestik maupun
internasional. Mereka semua telah terjebak ke dalam perangkap ketergantungan
(dependence) dan dominasi (dominance) negara-negara kaya. Di dalam pendekatan
ini, terdapat tiga aliran pemikiran yang utama, yaitu: model ketergantungan
neokolonial (neocolonial dependence model), model paradigma palsu
(false-paradigm model), serta tesis pembangunan-dualistik
(dualistic-development thesis).
a. Model ketergantungan neokolonial
Aliran pemikiran yang pertama, yang
kita sebut sebagai model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence
model), secara tidak langsungan adalah suatu pengembangan pemikiran kaum
marxis. Model ini menghubungkan keberadaan dan kelanggengan negara-negara terbelakangan
kepada evolusi sejarah hubungan internasional yang sama sekali tidak seimbang
antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin dalam suatu sistem
kapitalis internasional. Terlepas dari sengaja atau tidaknya sikap dan praktek
eksploitatif negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang koeksistensi
negara miskin dan kaya dalam suatu sistem internasional tidak bisa dipungkiri.
Koeksistensi ini digambarkan sebagai hubungan kekuasaan yang sangat tidak
berimbang antara pusat (center,core) yang terdiri dari negara-negara maju,
serta pinggiran (periphery), yakni kelompok negara yang sedang berkembang.
sampai batas tertentu pemikiran radikal ini telah mendorong negara-negara
miskin untuk mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya-upaya pembangunan
mereka, meskipun dalam prakteknya hal itu sangat sulit, atau bahkan
kadang-kadang mustahil untuk dilakukan. Kelompok-kelompok tertentu di
negara-negara berkembang. Mereka merupakan kelompok kecil elit penguasa yang
kepentingan utamanya, disadari ataupun tidak, adalah melestarikan sistem
kapitalis internasional yang tidak adil dan menindas, karena mereka memang
mendapat banyak keuntungan darinya. Baik secara langsung maupun tidak, mereka
telah mengabdi (didominasi oleh) dan dianugerahi oleh (tergantung pada)
kelompok-kelompok kekuatan internasional yang memiliki kepentingan tertentu,
termasuk perusahan-perusahan multinasional, lembaga-lembaga bantuan
bilateral, dan organisasi-organisasi penyedia bantuan multilateral seperti bank
dunia (world bank) atau dana moneter internasional ( IMF, internasional
monetery fund), dan kesemuanya terikat oleh suatu jaringan-jaringan kesetiaan
atau sumber dana kepada negara-negara kapitalis yang makmur. Kegiatan-kegiatan
dan pandangan kelompok elit itu bahkan sering ditujukan pada usaha untuk
menghambat setiap upaya perubahan yang sedianya akan menguntungkan masyarakat
luas. Dalam beberapa kasus, tindakan mereka bahkan telah mengarah kepada
penurunan taraf hidup serta pelestarian keterbelakangan (derdevelopment). Pendeknya,
pandangan neo-marxis atau dalam hal ini pandangan keterbelakangan neokolonial,
mencoba menghubungkan kemiskinan yang terus berlanjut dan semakin parah di
sebagian besar negara-negara industri kapitalis dari belahan bumi utara yang
dapat menyebar luas melalui kelompok-kelompok domestik kecil elit yang
berkuasa, yang mereka sebut kelompok comprador (comprador group) di semua
negara-negara berkembang.
b. Model paradigma palsu
Cabang atau aliran yang kedua dari teori
ketergantungan internasional terhadap topik pembangunan ini relatif tidak
begitu radikal. Aliran ini biasa disebut sebagai model paradigma palsu
(false-paradigm model). Ia mencoba menghubungkan keterbelakangan negara-negara
dunia ketiga dengan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang diberikan
oleh para pengamat atau “pakar” internasional, meskipun saran-saran tersebut
baik tetapi sering tidak diinformasikan secara tepat; bias; dan hanya
didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu saja yang bernaung di bawah
lembaga-lembaga bantuan negara-negara maju dan organisasi-organisasi donor
multinasional. Para pakar ini menawarkan konsep-konsep yang serba canggih,
struktur teori yang bagus, dan model-model ekonometri yang serba rumit tentang
pembangunan yang dalam prakteknya seringkali hanya menjurus kepada terciptanya
kebijakan-kebijakan yang tidak tepat guna atau bahkan melenceng sama sekali.
Faktor-faktor kelembagaan di negara-negara dunia ketiga, seperti masih
pentingnya struktur sosial tradisional (yakni, kesukuan, kasta, kelas, dan sebagainya);
sangat tidak meratanya hak kepemilikan tanah dan kekayaan lainnya; tidak
memadainya kontrol kalangan elit terhadap aset-aset keuangan domestik dan
internasional; serta sangat timpangnya kesempatan ataupun kemudahan dalam
rangka mendapatkan kredit usaha; selama ini tidak dipahami dan diperhitungkan
secara memadai, sehingga tidak mengherankan apabila kebijakan-kebijakan yang
ditawarkan oleh para ahli internasional tadi, yang biasanya mereka dasarkan
pada model-model surplus tenaga kerja dari lewis atau perubahan struktural dari
chenery, dalam banyak hal hanya melayani kepentingan sepihak kelompok-kelompok
domestik maupun internasional yang sedang berkuasa.
Di samping
itu, menurut argumen paradigma palsu ini, para cendekiawan di berbagai universitas
terkemuka, para pemimpin serikat-serikat pekerja, para ekonomi di lembaga
pemerintahan, dan para pejabat negara-negara berkembang pada umumnya, hampir
semuanya mendapat didikan dan latihan dari lembaga-lembaga di negara-negara
maju. Seringkali tanpa disadari, mereka terlalu banyak menelan konsep-konsep
asing dan model-model teoretis yang serba hebat tetapi sebenarnya tidak cocok
dan tidak dapat diterapkan di daerah mereka sendiri. Akibat ketiadaan
atau terbatasnya pengetahuan yang tepat guna untuk mengatasi masalah-masalah
pembangunan, maka kalangan elit tersebut justru cenderung menjadi pembela
keyakinan asing yang melupakan atau mengabaikan adanya sistem kebijakan elitisi
serta struktur kelembagaan yang khas negara-negara berkembang.
c. Tesis pembangunan dualistik
Unsur
pemikiran pokok yang secara implisit terkandung di dalam teori-teori perubahan
struktural dan secara eksplisit telah dinyatakan dalam teori ketergantungan
internasional adalah gagasan akan adanya sebuah dunia bermasyarakat ganda (a world
of dual societies). Secara garis besar, pandangan ini melihat dunia terbagi ke
dalam dua kelompok besar, yakni negara-negara kaya dan miskin dan di
negara-negara berkembang terdapat segelintir penduduk yang kaya di antara
begitu banyak penduduk yang miskin. Dualisme (dualism) adalah sebuah konsep
yang dibahas secara luas dalam ilmu ekonomi pembangunan. Konsep ini
menunjukkan adanya jurang pemisah yang kian lama terus melebar antara
negara-negara kaya dan miskin serta antara orang-orang kaya dan miskin pada
berbagai tingkatan di setiap negara. Pada dasarnya konsep dualisme ini terdiri
dari empat elemen kunci sebagai berikut:
1. Beberapa kondisi yang berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan
“inferior”, hadir secara berkesamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan
tempat yang sama. Inilah hakekat dari konsep dualisme.
2. Koeksistensi tersebut bukanlah suatu hal yang bersifat sementara atau
transisional, melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen atau kronis.
Koeksistensi ini juga bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis
seiring dengan berlalunya waktu. Artinya, elemen yang superior tidaklah mudah
untuk meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional
antara kaya dan miskin bukanlah hanya merupakan suatu fenomena sejarah yang
akan membaik dengan sendirinya bila saatnya sudah tiba. Meskipun teori tahapan
pertumbuhan ekonomi dan model perubahan struktural secara implisit dilandaskan
pada asumsi yang demikian, namun fakta bahwa ketimpangan internasional semakin
membesar secara jelas membuktikan kekeliruan asumsi tersebut.
3. Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut
bukan hanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan
cenderung meningkat.
4. Hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan
elemen-elemen yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa
sehingga keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali
tidak membawa manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior.
Dengan demikian apa yang disebut sebagai prinsip “ penetesan kemakmuran ke
bawah “ ( trickle down effect ) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di
dalam kenyataannya, elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang
memanfaatkan, memanipulasi, mengekploitasi ataupun menggencet elemen-elemen
yang inferior. Jadi yang mereka kembangkan justru keterbelakangannya.
0 comments:
Post a Comment