Dalam
buku “Il Principe”, Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa bentuk negara
hanya ada dua, yaitu republik dan monarki. Ia mengartikan negara
sebagai bentuk genus sedangkan monarki dan republik sebagai bentuk species.
Sama
seperti Machiavelli, Georg Jellinek, dalam bukunya, “Allgemeine Staatslehre”
juga membedakan bentuk negara menjadi monarki dan republik dan bentuk
ini dianggap sebagai bentuk species dari negara. Pembedaan dalam kedua
bentuk itu didasarkan atas perbedaan terjadinya pembentukan kemauan negara
itu hanya ada dua kemungkinan, yaitu:
1.
Apabila
cara terjadinya pembentukan kemauan negara itu semata-mata secara psikologis
atau secara alamiah, yang terjadi dalam jiwa atau badan seseorang dan tampak
sebagai kemauan seseorang atau individu, maka bentuk negaranya adalah monarki.
2.
Apabila
cara terjadinya pembentukan negara secara yuridis, yaitu dibuatm atas kemauan
orang banyak sehingga terlihat seperti kemauan dewan, maka bentuk negaranya
adalah republik.
Sementara
itu, Leon Duguit sebagai seorang realis tidak setuju dengan penggunaan staatswill
sebagai ukuran untuk menentukan bentuk negara. Dalam bukunya “Traite de
Droit Constitutionel”, ia mengutarakan bahwa untuk menentukan sebuah negara
berbentuk monarki atau republik ialah dengan menggunakan cara penunjukan/pengangkatan
kepala negaranya. Bila kepala negara diangkat berdasarkan garis keturunan, maka
negara tersebut adalah monarki sedangkan bila diangkat tidak atas dasar
keturunan maka bentuknya ialah republik.
Sebenarnya
Duguit mengatakan kedua bentuk di atas sebagai bentuk pemerintahan, hal ini
tidak lazim karena tidak sesuai dengan Hukum Tata Negara. Lazimnya, istilah
bentuk pemerintahan digunakan untuk menentukan lebih lanjut perbedaan dari
bentuk negara, yaitu mengenai perbedaan sistem Hukum Tata Negaranya. Duguit
sendiri membagi bentuk negara menjadi dua, yaitu negara serikat dan negara
kesatuan.
Menurut
Kranenburg, ukuran yang digunakan oleh Duguit ini lebih realistis, akan tetapi
dalam bentuk-bentuk tertentu masih ada kelainan atau ketidakcocokan. Misalnya,
pada Kerajaan Polandia ternyata raja diangkat berdasarkan pemilihan dan bukan
semata-mata atas dasar keturunan.
Prof.
Otto Koellreuter setuju dengan pendapat Duguit tentang pembagian bentuk negara
dalam bentuk monarki dan republik. Di samping itu, sebagai seorang fasis
Jerman, ia menambahkan bentuk yang ketiga yang ia namakan autoritaren fuhrerstaat”.
Dewasa ini, monarki adalah suatu negara yang diperintah oleh suatu dinasti sehingga
kepala negaranya diangkat secara turun-temurun. Oleh karena itu, ia beranggapan
bahwa dasar dari monarki adalah ketidaksamaan. Hal ini disebabkan oleh tidak
setiap orang dapat menjadi kepala negara.
Sebaliknya,
republik didasarkan atas azas kesamaan karena kepala negaranya diangkat
berdasarkan kemauan orang banyak dan setiap orang memiliki hak yang sama untuk
menjadi kepala negara.
Untuk
bentuk negara yang ketiga, autoritaren fuhrerstaat, kepala negara tidak lagi
diangkat atas dasar dinasti melainkan atas dasar pikiran yang dapat berkuasa yang
ia sebut sebagai der gedanken der staatsautoritat. Sama halnya dengan bentuk monarki,
bentuk ini juga didasarkan atas azas ketidaksamaan. Akan tetapi, berbeda dengan
monarki yang berpangkal pada keturunan, bentuk autoritaren fuhrerstaat berpangkal
pada pikiran yang dapat menguasai negara. Koellreuter tidak menjelaskan lebih
lanjut mengapa seorang yang mempunyai pikiran yang dapat berkuasa atau der
gedanken der staatsautoritat dapat diangkat menjadi kepala negara. Ia hanya
mengatakan bahwa bentuk-bentuk politik dari pimpinan tertinggi negara nasional
sosialis dalam banyak hal seharusnya berlainan dengan bentukbentuk dalam negara
liberal.
0 comments:
Post a Comment