BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Lingkungan menjadi sesuatu yang berharga dalam
kehidupan di dunia. Lingkungan menjadi salah satu faktor keberlanjutan
kehidupan manusia di bumi. Demi menjaga dan melestarikan lingkungan, muncul
gerakan-gerakan yang dapat disebut environmentalism. Environmentalism adalah gerakan sosial ataupun
ideologi yang luas yang mendasarkan dirinya pada permasalahan mengenai
lingkungan hidup dan peningkatan kesehatan lingkungan. Sebuah gerakan yang
pengendalian lingkungan dari pencemaran dan juga demi pelestarian dan
pelindungan keanekaragaman tumbuhan serta satwa melalui restorasi ataupun
perbaikan lingkungan alam. Pada intinya, environmentalisme adalah upaya yang
dilakukan untuk menyeimbangkan kehidupan antara lingkungan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Keseimbangan sangat diperlukan karena manusia sendiri sangat
bergantung sekali dengan lingkungannya.
Untuk itu, perlu pelestarian yang mendalam sehingga
kehidupan antar makhluk hidup dapat dipertahankan. Environmentalisme adalah gerakan sosial yang dimotori
kaum penyelamat lingkungan hidup. Gerakan ini berusaha dengan segala cara,
tanpa kekerasan, mulai dari aksi jalanan , lobi politik hingga pendidikan
publik untuk melindungi kekayaan alam dan ekosistem. Kaum environmentalis peduli
pada isu-isu pencemaran air dan udara, kepunahan spesies, gaya hidup rakus
energi, ancaman perubahan iklim dan rekayasa genetika pada prodk-produk
makanan.
Pengamatan
marxisme tentu dengan penuh perhitungan, di bawah kapitalisme, dunia industry
diibaratkan sebagai motor penggerak dari pada eksploitasi terhadap masyarakat
dan variabel sekitarnya, terutama lingkungan yang juga pasti terkena efek dari
keberlangsungan industry dalam konteks kapitalisme yang sistemik. Dan perluasan
yang disebabkan oleh globalisasi, memperkuat cakupan area, pengaruh sekaligus
dampak yang lebih hebat lagi. Bahwasanya pembangunan, kapitalisasi dan
industrialisasi, pada akhirnya menjadi bidak dan instrumen yang tidak dapat
dilepaskan dari pada kooptasi kepentingan kaum borjuasi, dan secara masif akan
berdampak destruktif bagi lingkungan hidup, yang merupakan domain dari tempat
dimana kelas-kelas proletariat tinggal. Sehingga kapitalisme dan segala
perniknya merupakan sebuah paradoks kemajuan, yang imbas buruknya seperti
noktah hitam dari pada globalisasi itu sendiri, terutama apabila dilihat secara
mendalam dari segi dampak. Yang dapat ditarik sebuah garis jika hubungan antara
pemikiran marxis yang ikut andil dalam gelombang kapitalisme adalah sebab yang
menaungi hubungan akibat berikutnya, yaitu marginalisasi terhadap kaum proletar
beserta eksploitasi lingkungan. Inilah yang dimaksudkan sebagai dialektika
marxisme, terutama dalam kaitanya dengan konteks tidak hanya sosial, tetapi
lingkungan. Konsep
subsekuen yang diambil dan dijadikan kerangka mainstream terkait marxisme dan
environmentalisme oleh Munck yaitu terkait dengan sustainable development, atau
pembangunan berkelanjutan. pembangunan adalah sebuah keniscayaan dalam mencapai
tujuan dan kepentingan bersama terkait pada hakikat modernitas. Ketika
globalisasi memberi ruang yang sangat lapang bagi bertumbuhnya ekonomi. Dan
ditopang oleh teknologi, ekonomi melalui sistematika industrialisasi berkembang
dan bertumbuh pesat yang akhirnya semakin mendekati tujuan daripada kemajuan
dan modernitas itu sendiri. Namun,
industrialisasi yang merupakan penyumbang terbesar dalam proses modernitas,
diyakini mendasari beberapa konsekuensi, salah satu diantaranya adalah faktor
lingkungan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Environmentalisme
T.O'Riordan (1976) dalam bukunya Environmentalism
memperluaskan ruang lingkup konsep environmentalisme dengan mendefinisikan
kepada tiga aspek, yaitu :
a.
Environmentalisme
merujuk kepada falsafah alam sekitar, yaitu falsafah yang membentuk nilai atau
moral sebagai pertimbangan kepada persepsi seseorang akan hubungannya alam
sekitar.
b.
Environmentalisme
merujuk kepada ideologi alam sekitar, yaitu aliran-aliran pemikiran yang
berkait dengan alam sekitar yang mencorakkan bidang-bidang kehidupan yang lain
sebagai formula ke arah pembentukan polisi alam sekitar.
c.
Environmentalisme
merujuk kepada perubahan reka bentuk alam sekitar iaitu aplikasi yang praktikal
bagi memanifestasikan falsafah alam sekitar sebagai rancangan bertindak bagi
semua peringkat.
Environmentalisme muncul setelah Revolusi Industri di
prancis yang menimbulkan pencemaran lingkungan modern seperti yang umum terjadi
saat ini. Munculnya pabrik-pabrik besar dan eksploitasi dalam jumlah besar dari
batubara dan bahan bakar fosil menimbulkan polusi udara dan pembuangan limbah
industri kimia dengan volume besar ditambah dengan Perkembangan urbanisasi yang
pesat pula menyebabkan kepadatan penduduk. Langkah pertama yang diambil untuk
mengontrol kondisi ini adalah dengan munculnya British Alkali Acts yang
disahkan pada 1863, untuk mengatur polusi udara yang merugikan ( gas asam
klorida ) yang merupakan hasil dari proses Leblanc , yang digunakan untuk
menghasilkan abu soda . Environmentalisme tumbuh dengan pesat, yang merupakan
reaksi terhadap industrialisasi , pertumbuhan kota, dan udara memburuk dan
pencemaran air .
Jauh
sebelum mulai terbentuknya kesadaran ataupun gerakan sebagai usaha untuk
meminimalisir dampak perkembangan peradaban terhadap lingkungan, Raja Edward I
dari Inggris melalui proklamasi di London pada tahun 1272 melarang pembakaran
batubara karena menimbulkan asap yang kemudian menjadi masalah udara waktu itu.
Jika dilihat, sejak abad pertengahan dimana gereja masih berkuasa waktu itu,
usaha-usaha mengenai lingkungan sudah dilakukan meskipun tidak dalam lingkup
yang lebih luas.
Isu-isu mengenai lingkungan sendiri, telah mendapat sorotan di masyarakat dunia
sekitar tahun 1970-an, namun aspek lingkungan baru muncul pada studi Hubungan
Internasional yang ditandai dengan diselenggarakannya konferensi PBB di Rio De
Jeneiro pada tahun 1992 dengan tema Global Warming. Kesadaran secara langsung
tentang krisis alam itu sendiri mulai timbul setelah terbitnya buku yang
berjudul “Silent Spring” pada tahun 1962. Buku ini adalah hasil kajian dari
seorang saintis wanita bernama Rachel Carson. Meskipun buku ini hanya
menampilkan dampak-dampak pencemaran akibat industri kimia terhadap alam
sekitar dan menampikan penjelasan-penjelasan terkait masalah itu, ia berhasil
membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga dunia agar terhindar dari
krisis alam yang semakin meluas akibat perkembangan sains dna teknologi di
zaman modern.
Penjelasan-penjelasan mengenai keadaan dan dampak dari krisis alam sekitar yang
dicetuskan oleh Rachel Carson ini kemudian mempengaurhi bidang-bidang lain
selain saintis untuk mulai memperhatikan permasalahan ini. Pada tahun 1967
seorang ahli sejarah, Lynn White Jr., menulis sebuah artikel yang berjudul “The
Historical Roots of Our Ecological Crisis”. Artikel ini memuat pandangannya
mengenai faktor utama yang menyebabkan krisis alam sekitar. Menurutnya, faktor
utama yang menyebabkan krisis alam dan lingkungan adalah faktor ideologi
orang-orang Yahudi-Kristian. Ideologi atau doktrin itu melahirkan suatu
pandangan umum atau worldview dalam kehidupan manusia yaitu mereka diizinkan
oleh Tuhan untuk mengksploitasi alam sekitar demi kelangsungan hidup mereka.
Mereka telah dititipkan oleh Tuhan, jadi tidak ada yang bisa membatasi mereka
dalam melakukan eksploitasi. Lynn White Jr. menjelaskan dengan berpegangan pada
pandangan umumu tersebut dalam kehidupan masyarakat barat yang secara dinamik
dan terstruktur dengan menggunakan sains dan teknologinya untuk mengeksploitasi
alam sekitar tanpa batasan. Fenomena inilah yang menyebabkan pengikisan
dan kemerosotan kualitas alam sekitar secara lokal maupun global.
Kesadaran secara langsung tentang krisis alam sekitar
mulai timbul dari terbitnya sebuah buku yang bertajuk Silent Spring pada tahun
1962. Buku ini adalah hasil kajian seorang saintis wanita yang bernama Rachel
Carson.Walaupun buku ini hanya menumpukan penjelasan si penulis mengenai dampak
pencemaran akibat industri kimia terhadap alam sekitar, ia berjaya menyadarkan
masyarakat dunia mengenai krisis alam sekitar yang semakin meluas akibat
perkembangan sains dan teknologi di zaman moden. Kesadaran mengenai kondisi alam sekitar yang
dicetuskan Rachel Carson ini bukan saja menarik perhatian golongan saintis
tetapi turut mempengaruhi para ahli di bidang-bidang yang lain.
Pada tahun 1967 seorang ahli sejarah, Lynn White Jr.,
menulis sebuah artikel yang bertajuk The Historical Roots of Our Ecological
Crisis. Artikel ini memuatkan pandangannya mengenai dengan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya krisis alam sekitar. Menurut beliau, faktor utama yang
menyebabkan krisis alam sekitar ialah doktrin Yahudi-Kristian yang melahirkan
suatu pandangan umum atau worldview dalam kehidupan manusia, yaitu mereka
diizinkan oleh Tuhan mengeksploitasikan alam sekitar demi kelangsungan hidup
mereka. Lynn White Jr. mendakwa dengan berpegang kepada pandangan umum tersebut
masyarakat barat khasnya menggunakan sains dan teknologi secara dinamik untuk
mengeksploitasi alam sekitar tanpa batasan. Fenomena inilah yang menyebabkan
gangguan dan kemerosotan kualiti alam sekitar secara lokal dan global.
Pada dekade
akhir abad ke-20, gerakan-gerakan Environmentalism menjadi sebuah gerakan yang
berkembang dengan cepat, perangkat transnasional yang paling efektif merubah
pandangan dan peraturan lingkungan hidup di lingkup global. Untuk itu, gerakan
environmentalism yang bersifat global dapat dimasukkan dalam salah satu counter
hegemonic globalisasi. Batasan-batasan itu dapat dilihat dari keterlibatan
gerakan ini dalam arena politik lingkungan. Gerakan-gerakan seperti ini
memiliki akar sosial yang bersifat lokal. Gerakan transnasional tidak akan
memiliki basis dan kekuatan yang sudah mapan. Karena itu, orang-orang yang
terlibat dalam kampanye transnasional adalah mereka yang terlibat dalam ikatan
dan komunitas lokal dan didorong oleh keinginan untuk memajukan anggota
tersebut.
Di Indonesia, isu-isu mengenai lingkungan sudah mulai
diperbicangkan pada pemerintahan Orde Baru. Dimulai dengan diselenggarakannya
Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Universitas
Pajajaran Bandung pada tanggal 15 sampai 18 mei 1972. Pada masa pemerintahan
Orde Baru, isu-isu lingkungan memang sedang digalakkan. Faktor terpenting dalam
permasalahan lingkungan salah satunya adalah pertumbuhan penduduk dimana saat
itu Indonesia memang menjadi negara paling padat di dunia. Pertumbuhan penduduk
dan juga banyaknya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang
membuat gerakan lingkungan dimulai di Indonesia yang kemudian didukung oleh
pemerintah pada saat itu. Selain pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
dan juga industrialisasi karena masuknya modal-modal asing, Indonesia juga saat
itu mengalami beberapa kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan permasalahan
asap di Indonesia. Kebakaran hutan menyebabkan banyaknya CO2 di udara yang
dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, dapat menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati. Isu-isu ini menjadi dasar munculnya gerakan-gerakan
pemerhati lingkungan di Indonesia.
Lingkungan dapat dijadikan isu kolektif yang dapat dijadikan mobilitas
kolektif. Gerakan lingkungan dapat berpengaruh pada teori ekonomi neo-klasik.
Penggunaan isu-isu buruh sebagai basis untuk memobilisasi dimana ideologi
non-liberal mengklaim bahwa isu tersebut harus melalui logika pasar jika ingin
memaksimalkan kesejahteraan. Counter hegemonic global dapat membangun sebuah
ekonomi politik global yang menggunakan penyusutan ruang dan fasilitas
komunikasi lintas perbatasan untuk meningkatkan persamaan, keadilan dan
sustainability daripada mengidentifikasikan bentuk dominasi yang ada.
Isu-isu global mengenai global warming dan lapisan ozon sepertinya pada
hakekatnya global, sementara politik banyak orang, seperti konsekuensi
kesehatan dari sampah racun dan dibuat lokal. Tantangan membangun sebuah
organisasi global yang terintegrasi efektif pada aktivitas lokal dengan
kempanye global nampaknya tantangan khusus pada kasus gerakan environmental.
oleh karena itu, gerakan environmental global selalu dianggap organisasi
transnasional yang paling berhasil.
Environmentalisme dapat menggunakan isu-isu dan agenda universal untuk
menyelematkan dunia yang tentunya sangat berpengaruh. Adanya isu dan agenda
universal itu dapat membantu para environmentalis dalam mengkampanyekan
masalah-masalah mengenai krisis-krisis alam sekitar. Sebagai contoh, mengenai
perubahan iklim yang merupakan isu lingkungan paling berpengaruh pada saat ini.
Isu mengenai perubahan iklim ini bersifat global namun memang berawal dari
fondasi lokal yang kuat.
Konsep environmentalisme berkaitan erat dengan proses
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi tujuan
bersama dalam rangka modernitas dan globalisasi. Ketika modernitas dna
globalisasi kemudian memberikan pengaruh pada perluasan ekonomi dimana
teknologi juga berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang
berkembang semakin mendekati dari tujuan modernitas itu sendiri yang
selanjutnya memberikan dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan.
Persoalan ekologi hingga saat ini memang berkaitan langsung dengan sistem
kapitalisme. Lingkungan sebagai dasar dari terbentuknya proses industri dimana
lingkungan merupakan daerah asal, tempat, pemberi dan sumber daya yang kemudian
dioptimalisasikan oleh sebuah industri. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
lingkungan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan yang memang kedua-duanya
mempunyai pengaruh dan dampak masing-masing.
Jika dilihat, konsep environmentalisme juga berhubungan dengan pemikiran Marx.
Marx mendefinisikan pemikirannya pada permasalahan sosial dimana ada perjuangan
antar kelas. Kaitannya dengan lingkungan adalah perlawanan Marx terhadap kaum
borjuis dimana kaum ini merupakan kaum yang sangat dekat dengan sistem
kapitalisme. Pengeksploitasian yang dilakukan oleh kaum borjouis tentunya
berdampak pada lingkungan. Industrialisasi menjadi bentuk kepentingan kaum
borjuis terhadap marginalisasi kaum proletar beserta eksploitasi lingkungan.
Kapitalisme menjadi sebuah paradoks kemajuan dimana sebagai pengaruh dari
globalisasi itu sendiri sehingga memperlihatkan sisi lain dari dampak
kapitalisme.
Environmentalisme telihat seperti feminisme yang
berusaha memisahkan ikatan yang mengekang diantara perempuan yang selama ini
dikuasai oleh laki-laki. Environmentalisme juga terlihat sebagai bentuk
kritisisasi atas pemisahan antara manusia dan lingkungan. Jika dibandingkan,
perempuan dalam perspeftif feminisme hampir serupa dengan faktor ekologis dalam
pemikiran Marx. Perempuan dan Proletar dianalogikan sebagai kaum yang tertindas
yang berujung pada usaha-usaha kesetaraan kelas. Pengistilahan ini berkaitan
dengan faktor ketimpangan sosial yang kuat dalam masyarakat.
Environmentalisme merupakan bentuk baru dari pemikiran
Marxisme. Ilmu-ilmu sosial pada zaman sekarang sudah mencair menjadi lebih luas
yang kemudian secara langsung berhubungan dengan ilmu-ilmu alam. Jarak yang
memisahkan antara ilmu sosial dan ilmu alam secara perlahan akan memudar.
Sebagai bukti, teori-teori pemikiran sosial Marx kemudian digunakan dalam
bentuk baru dimana environmentalisme muncul. Environmentalisme merupakan sebuah
reaksi terhadap semakin menipisnya pandangan mengenai Marxisme. Sebagai bentuk
baru ini, environmentalisme lebih diterima di dalam struktur masyarakat barat
yang cenderung menolak konsep ideologi marxisme yang mengarah pada ideologi
komunis.
Kerusakan lingkungan berjalan seiring dengan
perkembangan industrialisasi. Usaha-usaha melalui gerakan-gerakan
environmentalisme yang sekarang menjadi proses pembentuk integrasi antara
lingkungan, industrialisasi, pembangunan dan teknologi yang nantinya tergabung
dalam suatu jaringan yang saling menguntungkan satu sama lain. Meskipun pada
saat ini, usaha-usaha mengenai pewacanaan, propoganda dan fokusi pada isu
lingkungan masih menguat di negara-negara berkembang dibandingkan negara-negara
maju. Mungkin hal itu disebabkan penggunaan teknologi yang berlebihan di
negara-negara maju sehingga sulit sekali ataupun belum menemukan teknologi yang
cocok dalam meminimalisir kerusakan lingkungan.
Pada kesimpulannya konsep-konsep mengenai
environmentalism berkaitan erat dengan sistem kapitalisme barat. Untuk itulah,
pandangan ini masih sulit untuk diimplementasikan pada pemikiran barat.
Environmentalisme muncul sebagai pengaruh atas modernitas dan globalisasi yang
berjalan seiring dengan industri kapitalistik. Dalam lingkup global, secara
langsung maupun tidak langsung, semuanya akan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan secara integral. Karena globalisasi di satu sisi dengan mekanisme
industri maju akan secara perlahan mengikis ekosistem global. Dengan kata lain,
usaha-usaha yang dilakukan oleh para enviromentalis merupakan bentuk perhatian
yang memang bukan sekarang dirasakannya. Tetapi nanti oleh masyarakat dunia di
masa depan. Aspek ekologis harus selalu disandingkan sebagai determinan dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Melalui pembangunan berkelanjutan dengan
memperhatikan aspek ekologis menjadi penyeimbang antara kehidupan manusia dan
lingkungan.
2.
Gerakan
Lingkungan dan Gerakan Sosial
Sejarah gerakan lingkungan hidup di dunia dimulai pada kurun waktu
antara 1970-1980 tepatnya ketika pada tanggal 22 April 1970 diadakan perayaan
Hari Bumi. Ini merupakan peristiwa awal lahirnya gerakan lingkungan yang
diperingati sampaisaat ini dan mulai saat itu pula gerakan-gerakan lingkungan
di Amerika mengalami perubahan dimana persoalan lingkungan menjadi hal yang
paling penting dan sangat diperhatikan, kemudian terjadinya penggabungan
organisasi-organisasi lingkungan hidup.
Pada tahun 1980-1988 terjadi perubahan dimana gerakan lingkungan
kehilangan ciri spontanitasnya sebagai simbol dari semakin besarnya tingkat
pergantian cara pendekatan, kemudian pada kurun waktu 1988-1992 dimana pada
saat itu terjadi bencana-bencana yang menimpa lingkungan dengan semakin banyak
kasus hujan asam, limbah radioaktif, rekayasa genetik, punahnya spesies langka
dan sebagainya. Pada tahun 1990 ketika diadakan peringatan Hari Bumi secara
besarbesaran merupakan tonggak/titik puncak dan kesadaran baru tentang gerakan
lingkungan (24 April 1990 dirayakan di 140 negara).
Adapun sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia dapat dilihat
setelah masa kepemimpinan Soekarno (Orde lama) beralih pada masa Soeharto (Orde
Baru) yang tidak pernah berpihak pada lingkungan. Dimana pada masa itu
pemerintah cenderung pada persoalan ekonomi pembangunan, sedangkan persoalan
lingkungan dikesampingkan demi peningkatan ekonomi. Masa kepemimpinan Soekarno
dimana pada saat itu penerapan politik lingkungan hidup kerakyatan ( paham ecopopulism)
merupakan gerakan lingkungan hidup, seperti perusahaan-perusahaan asing
dinasionalisasikan dan lahan-lahan kritis segera diselamatkan (pembentukan
panitia penyelemat hutan, tanah dan air). Pada masa kepemimpinan Soeharto lahir
paham eco-developmentalis menempuh jalan refonnasi hukum, dimana hukum
adalah alatbagi peningkatan ekonomi untuk membuka jalan bagi investasi asing
(muncul UU Penanaman Modal Asing).
Dengan adanya UUPMA ini memberikan andil yang sangat besar sekali
terhadap perubahan lingkungan di Indonesia dimana negara-negara pemodal bebas
mengeksplorasi (memanfaatkan sumber daya alam dengan bebas untuk kepentingan
ekonomi (terutama untuk pemilik modal) maka yang terjadi adalah kerusakan
lingkungan, sehingga pada masa kurun waktu 1970-1984 muncullah gerakan
lingkungan di Indonesia (organisasi-organisasi lingkungan di Indonesia). Salah
satu organisasi yang muncul pada saat itu adalah Mapala UI (tanun 1970-an) yang
berbasis mahasiswa yang masih bertahan sampai sekarang, dan setelah itu mulailah
muncul lembaga-lembaga pusat studi lingkungan hidup, kemudian pada tahun
1970-an dan 1980-an muncullah ormas-ormas baru, seperti WALHI (Wahana
Lingkungan hidup Indonesia) , FISKA (Forum Indonesia untuk swadaya di Bidang
Kependudukan), HKTI (Himpunan Kerukunan ’Tani Indonesia), Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HNS), KNPI (komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain
sebagainya (http://wwwlingkungan-wahyu.blogspot.com/2011/06/1.html diakses pada
Sabtu 09 Mei 2015 pukul 13:13 WIB).
Gerakan lingkungan hidup (environmental movement) dikenal
juga dengan berbagai nama, seperti environmentalisme dan environmental
activism. Ketiga istilah yang tampak sejenis tersebut digunakan secara
berbeda dari satu wacana ke wacana yang lain, namun pada hakekatnya menggambarkan
satu fenomena yang sama, yakni gerakan sosial yang fokus bergerak dibidang
perlindungan, pelestarian, dan keadilanlingkungan hidup. Meskipun berada dalam
satu wadah besar terdapat beragam aliran pemikiran dalam gerakan lingkungan.
Keragaman tersebut tercermin pula pada pilihan-pilihan aksi, praksis, ataupun
metode gerakan mereka sendiri, sebuah kondisi yang membuat aktivisme lingkungan
bisa mewujud dalam beragam nada dan warna.
Gerakan lingkungan hidup bisa dilihat sebagai bagian dari perilaku
bersama (collective behavior) yang secara formal mewujud dalam bentuk
berbagai kelompok dan organisasi lingkungan. Mekanisme collective action yang
bekerja mampu mempengaruhi faktor-faktor cost and benefits yang membuat
seseorang memutuskan untuk bergabung dan terus terlibat dalam gerakan
lingkungan. Faktor-faktor pendorong tersebut penting untuk dipahami karena
kelompok dan organisasi lingkungan hidup pada dasarnya tergolong sebagai
organisasi sukarela (voluntary organizations), yakni kelompok-kelompok
formal yang anggotanya berasal dari individu-individu yang bergabung secara
sukarela; tanpa paksaan, tanpa alasan-alasan komersial; untuk memajukan
sejumlah tujuan bersama. Definisi diatas sejalan dengan pembahasan definisi
gerakan sosial, yakni menekankan perbedaan organisasi-organisasi dalam gerakan
lingkungan dengan organisasi komersial http://www.scribd.com/doc/37766063/Penggunaan-Internet-Oleh-Aktivis-Lingkungan Di-Indonesia
diakses pada Sabtu 09 Mei 2015 pukul 11:00 WIB).
Adapun dalam teori gerakan sosial, gerakan sosial terjadi apabila
sekelompok individu terlibat dalam suatu usaha yang terorganisir baik untuk
merubah ataupun mempertahankan unsur tertentu dari masyarakat yang lebih luas.
Adapun karakteristik dari gerakan sosial yakni adanya pengenalan sasaran,
rencana-rencana untuk mencapai sasaran, dan adanya ideologi. Gerakan sosial
pada umumnya memiliki rangkaian sasaran yang luas yang ditetapkan dengan jelas.
Gerakan sosial yang bertujuan memperbaiki kondisi hidup satu kelompok
masyarakat harus merumuskan semua tujuannya secara terperinci dan sarana yang
tersedia untuk mencapai tujuan itu sangat bervariasi. Ideologi gerakan sosial
adalah sesuatu yang dapat mempersatukan para anggotanya.
Pandangan menyeluruh tentang elemen-elemen dalam gerakan
lingkungan yakni ada tiga komponen gerakan lingkungan yaitu (1) “aktivis
lingkungan publik”, yaitu sebagian besar orang yang concerned untuk
memperbaiki kondisi lingkungan disekitar mereka (2) aktivis lingkungan
terorganisir atau sukarela seperti WALHI dan Greenpeace, (3) organisasi gerakan
lingkungan institusional”, yaitu birokrasi publik yang memiliki yurisdiksi
terhadap kebijakan lingkungan. Istilah “gerakan lingkungan” melihat bahwa
gerakan lingkungan terdiri dari dua elemen, yaitu (1), kelompok-kelompok
lingkungan, sebagai perwujudan organisasional dari gerakan lingkungan; dan (2) attentive
public, orang-orang yang meski tidak bergabung ke salah satu kelompok
lingkungan, tapi sama-sama mempercayai dan mempraktekkan nilai-nilai
environmentalisme. Orang-orang “awam” ini bisa siapa saja, mereka adalah
orang-orang yang mengekspresikan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup
melalui pandangan pribadi mereka, perilaku dan gaya hidup mereka.
Dalam sudut pandang sosiologis atau perspektif gerakan sosial
melihat kemunculan gerakan atau kelompok lingkungan berhubungan erat dengan
perubahan nilai-nilai dan struktur sosial dalam masyarakat. Keduanya melihat
kemunculangerakan lingkungan hidup memiliki kemiripan dengan latar belakang
kemunculan gerakan sosial, yakni lahir dari ketidakpuasan terhadap sejumlah
nilai- nilai yang selama ini dianut masyarakat dan mewakili upaya-upaya
kolektif untuk menginstitusionalkan nilai-nilai alternatif. Ketidakpuasan
masyarakat misalnya adalah keprihatinan akan hilangnya tempat-tempat alami,
kekecewaan terhadap pengaruh industrialisme pada kehidupan perkotaan, keinginan
untuk menjauh dari kota dan kembali ke suasana pedesaan, dan pandangan terhadap
alam sebagai sumber pencerahan spiritual, moral, dan estetis. Selain itu,
meluasnya nilai-nilai prolingkungan diduga ikut didorong faktor-faktor seperti
pertumbuhan kelompok pekerjaan yang dekat dan sering bersentuhan dengan isu-isu
lingkungan serta adanya peningkatan standar kehidupan –yang tampaknya telah
memungkinkan sebagian orang untuk mulai berpikir tentang nilai-nilai dan
hal-hal non-material
(http://www.scribd.com/doc/37766063/Penggunaan-Internet-Oleh-AktivisLingkungan-Di-Indonesia
diakses pada sabtu 09 Mei 2015 pukul
11:35 WIB).
3. Teori
Tindakan Sosial ( Social Action )
Weber dalam buku Sunarto, 2004:12 sebagai pengemuka dari paradigma
ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan
sosial. Inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu, yang
dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang
tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada
benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang
lain maka itu bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melemparkan
batu ke dalam sungai bukan tindakan sosial. Akan tetapi, tindakan tersebut dapat
berubah menjadi tindakan sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut
dimaksudkan untuk menimbulkan reaksi dari orang lain.
Menurut Marx Weber, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap
sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial
apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain
dan berorientasi pada perilaku orang lain. Dan suatu tindakan ialah perilaku
manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya ( Sunarto, 2004: 12 ).
Dalam pembahasan tindakan sosial, tidak selalu dan semua perilaku
dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Menurut Marx Weber,
metode yang bisa dipergunakan untuk memahami arti-arti subjektif tindakan
sosial seseorang adalah dengan verstehen. Istilah ini tidak hanya
merupakan introspeksi diri sendiri, bukan tindakan subjektif orang lain.
Sebaliknya, apa yang dimaksud Weber dengan verstehen adalah kemampuan
untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir
orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya
mau dilihat menurut perspektif itu ( Narwoko, 2008: 18 ).
Suatu tindakan adalah
perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi
bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai
arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif
bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna,
yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan
dirinya ditempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya
(http://socius3.wordpress.com/2008/03/07/konsep-dasar-sosiologisimmel-serta-max-weber/
diakses pada tanggal Jumat 08 Mei 2015
pukul 15: 40 WIB).
Marx Weber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial yang
mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat ( Narwoko, 2008: 19 ).
Keempat jenis tindakan sosial itu adalah :
a. Rasionalitas
Instrumental. Disini tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas
pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan
ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
b. Rasionalitas
Orientasi Nilai. Dalam tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada hanya
merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya
sudah ada didalam hubungannya dengan nilainilai individu yang bersifat absolut.
Artinya, nilai itu merupakan nilai akhir bagi individu yang bersangkutan dan
bersifat nonrasional, sehingga tidak memperhitungkan alternatif.
c. Tindakan
Tradisional. Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku
tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang
sadar atau perencanaan.
d. Tindakan
Afektif. Tipe ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual
atau perancanaan sadar. Tindakan afektif ini sifatnya spontan, tidak rasional,
dan merupakan ekspresi emosional dari individu.
Marx Weber mengakui bahwa empat jenis tindakan sosial yang
diutarakan adalah merupakan tipe ideal dan jarang bisa ditemukan dalam
kenyataan. Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, apa yang hendak
disampaikan Weber adalah bahwa tindakan sosial apa pun wujudnya hanya dapat
dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan
dengan itu. Untuk mengetahui arti subjektif dan motivasi individu yang
bertindak, yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati pada peranan orang
lain.
Bagi Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial. Manusia
melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya dan ditujukan
untuk mencapai apa yang mereka inginkan/kehendaki. Setelah memilih sasaran,
mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan. Perhatian Weber pada
teoriteori tindakan berorientasi tujuan dan motivasi pelaku, tidak berarti
bahwa ia hanya tertarik pada kelompok kecil, dalam hal ini interaksi spesifik
antar individu. Weber berpendapat bahwa bisa membandingkan struktur beberapa
masyarakat dengan memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut
bertindak, kejadian historis (masa lalu) yang mempengaruhi karakter mereka, dan
memahami tindakan para pelakunya yang hidup dimasa kini, tetapi tidak mungkin
menggeneralisasi semua masyarakat atau semua struktur sosial.
http://ilhamfadli.blogspot.com/2009/02/paradigma-sosiologi-teori-sosiologi.html
diakses pada tanggal 08 Mei 2015, Jumat pukul 16:08 WIB.
4.
Respon
Terhadap Krisis Ekologi
Dalam merespon krisis ekologi, paling tidak terdapat dua aliran
yang masingmasing berbeda kalau tidak disebut berseberangan. Aliran pertama
yaitu modernisasi ekologi (ecological modernization) dengan tokoh
antara lain Joseph Huber (Adiwibowo, 2007), dan aliran kedua
adalah aliran hijau (green response). Aliran pertama menekankan kepada caracara
menghadapi krisis ekologi dengan cara diisolasi, dipecahkan secara spesifik,
bersifat diskrit dan linier, ciri berikutnya yaitu memandang krisis ekologi
dipandang dapatdipecahkan melalui atau mengandalkan pada inovasi teknologi
tanpa harus merubah tatanan atau struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada.
Sedangkan aliran hijau (green response) menganggap krisis ekologi
harus diatasi melalui perubahan (struktural) sosial, ekonomi dan politik secara
holistik, konsekuensi dari pendekatan ini bahwa pakar ilmu sosial, ekonomi,
politik dan budayawan serta kearifan lokal masyarakat harus menjadi garda
terdepan dalam memecahkan krisis ekologi. Pemecahan krisis ekologi yang melulu
mengandalkan pada teknologi dan kepakaran di bidang ilmu-ilmu fisika hanya
memecahkan masalah pada tingkatan symptom. Pendekatan baru yang digunakan untuk
meneliti perubahan sumber daya alam dan lingkungan antara lain beranggapan
bahwa degradasi lingkungan muncul sebagai akibat pertarungan kepentingan
ekonomi-politik para pihak seperti negara, masyarakat, LSM,perusahaan.
Sementara untuk kasus Indonesia, krisis ekologi terlebih dahulu
harus diketahui beberapa hal, antara lain:
a. Krisis
ekologi umumnya dipandang sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan,
pendidikan, kesadaran lingkungan dan pendapatan masyarakat serta masalah
demografi.
b. Fakta-fakta
menunjukkan krisis ekologi di Indonesia sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh
masalah-masalah struktural seperti kebijakan ekonomi yang eksploitatif,
sektoral dan tidak bersifat partisipatif, hak penguasaan sumberdaya alam oleh
negara, market failures dan maraknya praktek korupsi, kolusi dannepotisme
(KKN).
c. Ketidak
seimbangan relasi kekuasaan (unequal power relations) antara aktor
lokal, nasional, regional, dan internasional dalam akses dan kontrol
sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
d. Lemahnya
tata-pengaturan (weak governance),
tidak jelasnya rejim penguasaan sumberdaya alam publik (unclear common
proverty regimes) dan ketidakpastian hak-hak kepemilikan (insecure
property rights).
5. Kelompok
Pecinta Alam
Kelompok pecinta alam merupakan salah satu kelompok yang mempunyai
bentuk kegiatan dalam rangka membina anggota atau masyarakat untuk lebih
mencintai alam dan lingkungannya. Disamping itu, kelompok pecinta alam juga
berfungsi sebagai media untuk menyebarkan informasi, penyegaran dan pembahasan
masalah-masalah yang berkaitan dengan upaya-upaya konservasi sumber daya alam.
Selama ini kelompok atau perkumpulan pecinta alam lebih dikenal
dalam lingkungan pemuda, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Melalui wadah
tersebut mereka melakukan kegiatan rekreasi serta mencari tantangan atau
petualangan di alam bebas, kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada hari-hari
libur atau liburan semester. Kelompok pecinta alam tersebut sebagian besar
anggotanya dari unsur generasi muda yang biasanya tumbuh dan berkembang secara
swadaya dengan aktivitas yang berbeda-beda, sampai saat ini belum ada ketentuan
yang mengatur organisasi pecinta alam baik mengenai kriteria organisasi maupun
syarat-syarat pembentukannya. Karena itu organisasi pecinta alam menjadi sangat
bervariasi dan kadang-kadang mudah sekali memudar atau tidak aktif sehingga
pemerintah sulit untuk mengadakan monitoring dan pembinaan secara maksimal (http://esapala19.blogspot.com/diakses
pada Kamis, 07 Mei 2015
pukul 20:56 WIB).
Pecinta alam di Indonesia saat ini belum dirasakan sebagai salah
satu akar gerakan lingkungan, terbukti dalam korelasinya saat ini dengan
banyaknya kelompok pecinta alam seiring pula dengan kerusakan yang tidak
terkendali. Dimanakah letak penyimpangan ini karena keberadaan pecinta alam
dalam tataran yang ideal dapat menumbuhkembangkan generasi yang peduli
lingkungan. Ini patut dikembangkan baik dalam pola gerakan maupun pengembangan
organisasinya. Model gerakan lingkungan yang berasal dari pecinta alam pada
periode kelahirannya lebih menekankan pada kecintaan terhadap alam yang
diwujudkan dengan naik gunung, camping, pelatihan konservasi, dan penghijauan
di lereng-lereng gunung
(http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/22/pecinta-alam-dan-paradigma-gerakanlingkungan/
Kamis 07 Mei 2015 pukul 21.36 WIB).
Ketika kita menoleh kebelakang melihat sejarah asal mula
terbentuknya organsasi ini di Indonesia maka dapat dikatakan bahwa pecinta alam
Indonesia ini berawal dari sekedar aktifitas untuk menghilangkan kepenatan dan
kejenuhan dalam menghadapi suatu kondisi masyarakat pada saat itu yang kurang
beruntung dari kebijakan pemerintah. Sekelompok pemuda dari kalangan kampus
(Universitas Indonesia) yang aktif menyuarakan aspirasi masyarakat, disaat
mereka lelah dengan aktifitas kemahasiswaan (demonstrasi, diskusi politik dan
lain-lain) mereka melakukan kegiatan mendaki gunung, berawal dari sini sehingga
mereka membentuk organisasi mahasiswa pecinta alam.
Dalam hal ini Kompas USU adalah organisasi yang bergerak dibidang
pecinta alam dan studi lingkungan hidup. Sebuah organisasi yang potensial dalam
membangun dan menjaga lingkungan hidup yang kini semakin rusak. Dengan adanya
organisasi tersebut, sebenarnya penglibatan para pecinta lingkungan dalam
menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup sangat ideal, oleh karena itu
perlu disadari dan menjadi catatan bersama bahwa penglibatan pecinta lingkungan
dalam melestarikan alam sejak dini sangat penting dan sangat besar pengaruhnya
bagi perkembangan lingkungan, sekarang dan yang akan datang.
Peranan pemuda juga sangat
penting sebagai generasi penerus yang akan mewarisi lingkungan hidup yang baik.
Diharapkan masyarakat akan mendorong adanya kader-kader perintis dalam
lingkungan hidup yang lahir dari kalangan generasi muda sehingga pembangunan
yang berkelanjutan ini sejalan pula dengan terpeliharanya kelestarian
lingkungan, misalnya dengan kegiatan karya wisata di alam bebas merupakan salah
satu program yang mendekatkan generasi muda dengan lingkungan hidup.
Salah satu cara yang ditempuh untuk melibatkan peranan pemuda
yaitu melalui pecinta alam dan lingkungan dalam kegiatan-kegiatan yang mengarah
pada studi lingkungan hidup. Melibatkan pecinta lingkungan dalam kegiatan
sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Mulai dari
langkah-langkah untuk menjaga kebersihan, tata cara pelestarian serta
manfaat-manfaat dari lingkungan yang bersih, dan ini juga bisa dilakukan
melalui berbagai kegiatankegiatan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup.
Dengan melakukan berbagai
kegiatan-kegiatan yang bertujuan menjaga kelestarian lingkungan hidup, maka
kebiasaan ini mulai terinternalisasi kedalam diri individu atau pecinta
lingkungan tersebut. Untuk berpartisipasi lebih jauh lagi mungkin dengan
melakukan sosialisasi tentang kesadaran akan lingkungan hidup dan kepedulian
terhadap kondisi lingkungan yang sudah sangat memprihatin kan saat ini kepada
masyarakat.
Isu gerakan lingkungan
dalam tubuh pecinta alam baik itu mapala (mahasiswa pecinta alam), sispala
(siswa pecinta alam), atau organisasi pecinta alam umum lainnya belum
memperlihatkan sebuah sinergi gerakan lingkungan yang dinamis. Saat ini lebih
banyak pada kegiatan-kegiatan alam terbuka seperti pendakian gunung, pemanjatan
tebing, pengarungan sungai dan beragam kegiatan lainnya yang lebih memperlihatkan
corak penggiat alam terbuka.
Dalam konteks gerakan lingkungan pecinta alam sebenarnya mempunyai
peran yang sangat penting terutama untuk pembinaan dan usaha menumbuhkembangkan
generasi yang peduli lingkungan serta tangguh dalam setiap kondisi alam, hal
ini bisa dipupuk dalam kegiatan pendidikan dasar pecinta alam.
George Junus Aditjondro dalam bukunya Pola-Pola Gerakan
Lingkungan mengatakan, terdapat tiga komponen gerakan lingkungan yaitu
pertama, aktivis lingkungan publik yaitu orang yang concerned untuk
memperbaiki kondisi lingkungan disekitar mereka. Kedua, aktifis lingkungan
terorganisir atau sukarela yaitu organisasi seperti Sierra Club atau Enviromental
Defense Fund di Amerika Serikat atau WALHI dan SKEPHI di Indonesia. Ketiga,
organisasi lingkungan institusional yaitu birokrasi publik ynag menangani
yurisdiksi terhadap kebijakan sosial lingkungan atau yang terkait dengan
lingkungan seperti kantor menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup (http://www.geocities.ws/opyanfaithful/pala.htm
diakses pada 01 mei 2015 Jumat pukul 16:
32 WIB).
Pecinta alam sebagai organisasi yang bergerak dalam dunia
lingkungan dan alam pada hakikatnya berada dalam gerakan enviromentalisme
(wawasan lingkungan) yang dalam pengertian lebih luas lagi adalah suatu paham
yang menempatkan lingkungan hidup sebagai pola dan gerakannya. Akar gerakan
lingkungan dalam pecinta alam sebagai organisasi sukarela dengan pembinaan yang
ketat bagi anggota barunya dapat menumbuhkan sikap yang kritis dari setiap
anggota anggotanya.
Dampak pendidikan dasar dari kelompok – kelompok pecinta alam ini
hanya terbatas pada anggotanya sendiri, sementara perubahan kearah kepedulian
yang lebih radikal terhadap lingkungan belum menyentuh ke masyarakat luas
walaupun banyak LSM yang berperan di dalamnya, akan tetapi tidak jarang juga
pecinta alam yang terjun langsung memberikan penyadaran lingkungan seperti aksi
bersih sungai, penanaman pohon, dan lain sebagainya (http://www.geocities.ws/opyanfaithful/pala.htmdiakses
pada 01 Mei 2015 pukul 16.39 WIB ).
6. Tentang
Lingkungan
a. Theory
of Communicative Action: Asal
usul, Konteks dan Argumen
Terdapat tiga tema dalam tulisan Habermas tentang teori tersebut.
Pertama, analisis linguistik dan rasionalitas (logika) yang terkandung dalam communicative
action. Kedua, cara bagaimana hal yang disebut terakhir tersebut berperan
dalam menjelaskan pemahaman mengenai satu sisi atau perkembangan patologis dari
modernitas. Hal ini diupayakan dari pandangan filsafat moral dalam perbincangan
filosofis dari modernitas serta dikaji secara sosiologis di dalam The Theory
of Communicative Action berkaitan dengan teori Weber mengenai
rasionalisasi. Akhirnya, bagaimana dalam melacak teori sosial dalam Communication
and Evolution of Society dan teori kritis mengenai kapitalisme mutakhir
dalam legitimation Crisis, Habermas telah berusaha menjelaskan
isu isu yang muncul secara spontan dalam upayanya ketika membaca Weber.
b. Analisis
Linguistik dan Theory of Communicative Action
Habermas menekankan pentingnya filsafat bahasa, yang memiliki dua
macam peran, yaitu tempat bagi bahasa dalam suatu teori Sosiologis dari
tindakan, dan berupaya menunjukkan bahwa struktur dan fungsi bahasa manusia
menyediakan dasar bagi etika universalistik dan demokratik. Habermas
berargumentasi bahwa analisis linguistik, yang dilengkapi dengan teori
bicara-tindakan (theory of communication action), dapat (melalui
rekonstruksi rasional) mengungkapkan
perkiraan yang tidak bisa dihindari dan bersifat universal mengenai bahasa
sehari hari. Karena itu, semua tindakan berbicara akan memunculkan serangkaian
klaim keabsahan. Klaim keabsahan tertentu, bila dimunculkan dapat secara
rasional dibenarkan melalui pembicaraan argumentatif. Bahwa tindakan manusia
dapat diorientasikan ke banyak tujuan, tetapi tindakan linguistik, yang pada
dasarnya bisa direkonstruksi, diorientasikan kepada koordinasi tindakan yang
dicapai melaluipemahaman timbal balik. Habermas menspesifikasikan tiga dunia,
yaitu:
a. dunia
eksternal obyek fisik,
b. dunia
sosial, dan
c. dunia dalam yang bersifat pribadi.
Karena itu, dia secara konseptual dapat membedakan antara tindakan
komunikatif
(tindakan yang diorientasikan terhadap pemahaman timbal balik dalam dunia sosial), tindakan instrumental (diorientasikan kearah keberhasilan di dunia eksternal), dan tindakan strategis (diorientasikan kearah keberhasilan di dunia sosial). Menurut Habermas, dalam mengucapkan tindakan bicara yang berkaitan dengan salah satu dari dunia ini (eksternal, sosial, internal) para pembicara menggunakan suatu tipe khusus tindakan bicara (constative, regulative, ekspressive)1dan memunculkan suatu kumpulan klaim keabsahan yang khusus dan tepat (kebenaran, ketepatan, dan ketulusan).
(tindakan yang diorientasikan terhadap pemahaman timbal balik dalam dunia sosial), tindakan instrumental (diorientasikan kearah keberhasilan di dunia eksternal), dan tindakan strategis (diorientasikan kearah keberhasilan di dunia sosial). Menurut Habermas, dalam mengucapkan tindakan bicara yang berkaitan dengan salah satu dari dunia ini (eksternal, sosial, internal) para pembicara menggunakan suatu tipe khusus tindakan bicara (constative, regulative, ekspressive)1dan memunculkan suatu kumpulan klaim keabsahan yang khusus dan tepat (kebenaran, ketepatan, dan ketulusan).
Klaim klaim keabsahan ini bisa dinilai dengan dibandingkan
terhadap bentuk bentuk rasionalitas tertentu (cognitiveinstrumental,
moral-praktical, aestheticexpressive) melalui cara-cara argumentasin yang
tepat dimana rasionalitas dipahami sebagai keterbukaan terhadap penilaian
obyektif, dan argumentasi dianggap sah pada kondisi situasi bicara yang ideal.
c. Habermas
dan Weber tentang Modernitas
Bila The Theory of Communication Action adalah
sebuah upaya untuk memahami modernitas secara Sosiologis, maka perbincangan
filosofis tentang modernitas melakukan pendekatan terhadap subyek yang sama
dari sudut pandang filsafat. Dalam melacak jalannya filsafat Barat Pasca
pencerahan, Habermas mengidentifikasi suatu paradoks moral yang berlangsung
lama. Paradoks ini, yang menandai perbincangan filosofis mengenai modernitas,
memang sejak awal memberi tanda akan kehadirannya, dan merupakan pengakuan
bahwa pemahamannya terhadap dirinya sendiri hanya bisa dimungkinkan dengan
memisahkan diri dari tradisi. Apakah modernitas punya kemampuan untuk
memecahkan masalah paradoks moralnya sendiri?. Habermas menawarkan suatu
jawaban terhadap paradoks normatif modernitas. Rasionalisasi life world yang
memunculkan masyarakat modern dan subsistem-subsistemnya yang terpisah yang
dikendalikan oleh media, secara bersama sama sama menyediakan kriteria normatif
yang bisa digunakan untuk menilai perkembangan selanjutnya.
7. Marxisme
dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik, menyediakan
kerangka yang lebih luas dan ”matang” ketimbang ekologi sosial. Karena itu,
keduanya lebih berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia alam, dan
memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan politik. Dua aspek dari
teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu
tentang ekologi serta lingkungan adalah materialism dialektik dan teori
akumulasi.
Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan
menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara
kita memahami alam. Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis
profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu yang selalu sama,
sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan
ukuran biosfernya, alam tidak berada dalam keseimbangan” , tidak juga berada
dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat
memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies
dari komunitas-komunitas. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk memahami
karakteristik dan proses-proses tersebut adalah materialisme dialektik, yang
“tesis utamanya adalah pendapat bahwa alam mengandung kontradiksi- kontradiksi,
bahwa ada kesatuan dan interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif tak
saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu pengetahuan adalah kajian
tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.”
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus menjadi
Marxis terlebih dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan
kontradiksi dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun Levins dan
Lewontin memberi alasan kuat—dengan didukung oleh contoh-contoh ekologi
populasi dan komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak cukup sekadar
menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus menggunakan pendekatan
materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk akal.
Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan penelitian
atas sistem yang kompleks secara intrinsik. Teori tersebut menjelaskan
kebutuhan kekuatan-kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan
sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban masyarakat dalam jumlah besar,
termasuk biaya “cuci tangan”—(berupa) insentif tetap bagi aktivitas produksi
dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah; dan ekspansi internasional
kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru, sumber daya baru dan,
lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.
Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan
rasionalitas ekologis. Seperti yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan
buruk (di bidang lingkungan) kapitalisme disebabkan oleh sifat bawaannya yang
mengusung proses akumulasi modal yang tak terkendali. Sistem tersebut tak
memiliki mekanisme pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala;
satuan-satuan individual yang menyusunnya—modal yang terpisah-pisah— harus
tanggap terhadap peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau
tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai
dengan suatu perencanaan jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi
pelaksanaan sebuah program ekologi yang efektif. Karena dipaksa oleh
permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan padapemenuhan kebutuhan berbentuk
komoditi, melibatkan penciptaan “kebutuhankebutuhan” yang diindividualkan dalam
semua jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis menekankan konsumsi
kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama,
penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy
dan Magdoff, negeri-negeri sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa
kemajuan signifikan menuju produksi yang rasional secara ekologis. Kendati
demikian, negerinegeri dengan kebijakan-kebijakan sosialis secara umum memiliki
catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena keadaan
tempat pemerintahan sosialis itu berada— relatif miskin, mendapat serangan-serangan
dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional.
tempat pemerintahan sosialis itu berada— relatif miskin, mendapat serangan-serangan
dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional.
Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang limbah dan
sampah (ke lingkungan) adalah konsekuensi dari syarat pertumbuhannya, kita
tidak boleh “meragukan kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya untuk
menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan oleh Andre Gorz dalam Ecology in
Politics Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas bahwa kapitalisme bisa menerima
keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya bisa dikomoditikan. Jika masyarakat akan puas
dengan air minum yang bersih – sementara sungai dan air
tanah berpolusi—maka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mepertimbangkan sumbersumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.
tanah berpolusi—maka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mepertimbangkan sumbersumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.
BAB
III
PENUTUP
Dalam kerangka analisis Habermas dan Marx, kondisi pengelolaan
sumber daya alam termasuk pengelolaan kehutanan dipicu oleh terlalu dominannya
rezim negara dalam mengelola dan mengendalikan sektor kehutanan. Permasalahan-
permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa masalah-masalah
sumber daya alam, termasuk kehutanan, dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh
kesenjangan- kesenjangan kontrol dan kekuatan politik di antara
kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa. Hal ini perlu mendapat perhatian serius
dari stakeholder khususnya pemerintah, karena jika terus dalam kondisi seperti
ini, potensi konflik antar masyarakat yang berada di kawasan hutan dengan pihak
pemerintah dan swasta yang diberi hak mengelola hutan akan mencuat ke
permukaan. Kondisi di atas sejalan dengan faktafakta yang menunjukkan bahwa
krisis ekologi di Indonesia sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh : a)
masalah-masalah struktural seperti kebijakan ekonomi yang eksploitatif,
sektoral dan tidak bersifat partisipatif, hak penguasaan sumberdaya alam oleh
negara, market failures dan maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Selain itu, adanya ketidakseimbangan relasi kekuasaan (unequal power
relations) antara aktor lokal, nasional, regional, dan internasional dalam
akses dan kontrol terhadap sumber sumber daya alam dan lingkungan hidup dan
diperparah dengan lemahnya tata pengaturan (weak governance), tidak
jelasnya rejim penguasaan sumber daya alam publik (unclear common proverty
regimes) dan ketidakpastian hak-hak kepemilikan (insecure property
rights).
DAFTAR PUSTAKA
Budi
Widianarko, Donny Danardono, Paulus Wiryono, Herudjati Purwoko (Editor). 2004. Menelusuri
Jejak CAPRA. Menemukan Integrasi Sains, Filsafat, Agama.
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
bekerjasama dengan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata
bekerjasama dengan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata
Soeryo Adiwibowo. 2007. Teori Sosial, Degradasi
Lingkungan, dan Politik Lingkungan. Materi Kuliah Teori Sosial Hijau
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.
0 comments:
Post a Comment