Politik
Internasional sampai dengan tahun 1990an masih didominasi oleh isu ekonomi.
Interaksi antar bangsa baik dalam bentuk kerjasama maupun konflik lebih banyak
didasarkan atas alasan ekonomi daripada politik. Pendekatan ekonomi sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari pendekatan politik sehingga muncul pendekatan baru
dalam politik internasional yaitu pendekatan ekonomi politik. Pendekatan
ekonomi politik ini menjelaskan hubungan timbal balik antara hubungan ekonomi
dan politik, yang tergambar dalam hubungan pasar dan negara. Di satu pihak,
politik menentukan kerangka aktivitas ekonomi dan mengarahkannya untuk melayani
kepentingan kelompok-kelompok dominan; dan penggunaan kekuasaan dalam berbagai bentuk
sangat menentukan hakikat sistem ekonomi. Di pihak lain, proses ekonomi itu
sendiri cenderung mendistribusikan kekuasaan dan kekayaan. Ekonomi membentuk
hubungan kekuasaan antar kelompok. Pada gilirannya hal ini akan merombak sistem
politik sekaligus membentuk struktur hubungan ekonomi yang baru. Jadi, dinamika
hubungan internasional jaman modern pada intinya merupakan fungsi interaksi
timbal balik antara ekonomi dan politik (Jones, 1993: 223-224).
Misalnya, semakin sering embargo ekonomi
diberlakukan dengan alasan politis dan tidak jarang pula kebijakan politik
dikeluarkan dengan alasan ekonomi. Amerika Serikat yang memberlakukan embargo
ekonomi terhadap Libya, Iran dan Irak lebih didasarkan pada alasan politis
daripada alasan ekonomi, ketika pemimpin di negara-negara ini menentang
keberadaan dan dominasi Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Sebaliknya,
kelompok bisnis Jepang mampu menekan pemerintahnya dan LDP sebagai partai yang
berkuasa untuk mengeluarkan kebijakan politik yang mengharuskan penyelesaian
kasus mobil nasional dengan Indonesia melalui forum WTO.
Contoh
lain adalah bagaimana krisis ekonomi di Asia sangat berimbas pada perpolitikan
domestik negara-negaranya. Di Indonesia, krisis ekonomi dan moneter yang
berkepanjangan telah menumbanngkan pemerintah yang berkuasa lebih dari 30
tahun. Meskipun ada hubungan timbal balik antara politik dan ekonomi, faktor
ekonomi memperlihatkan dominasinya atas faktor politik. Hubungan internasional
antara Barat – Timur, Utara – Selatan, negara-negara maju – negara-negara
berkembang – negara-negara miskin, semuanya lebih didasarkan pada alasan
ekonomi. Ekonomi telah menjadi kunci status dan peringkat negara-bangsa dalam
sistem global. Terdapat tanda-tanda pembagian, ada yang berdasarkan letak
geografis dan ada yang berdasarkan kapasitas ekonomi nasionalnya.
JP.
Pronk, menjelaskan bahwa negara-negara di dunia termasuk ke dalam 3 kategori,
yaitu front runners (pelari cepat), intermediate space(perantara) dan
stragglers (ketinggalan). Front runners adalah adalah negara-negara dengan
ekonomi yang ditandai oleh taraf tinggi inovasi teknis dalam produk
maupunmaupun proses produksi dan dalam metode organisasi yang lebih baik untuk
produksi, distribusi maupun pemasaran. Intermediate space adalah negara-negara
yang perekonomiannya tidak pasti dalam posisi memimpin, akan tetapi dalam
beberapa sektor relatif mempunyai keuntungan supaya sedikit banyak dapat
mengikuti front runners dan bahkan memperoleh manfaat dari kegiatan mereka.
Stragglers adalah negara-negara dengan ekonomi yang tidak dapat mengikuti
kecepatan yang lain (Pronk, 1993: 76).
Memasuki
tahun 1990-an, ada tiga kutub ekonomi yang paling menonjol yaitu Amerika
Serikat dan Kanada, Jepang dan Uni Eropa. Dengan kemampuan ekonomi yang
dimiliki ketiga negara ini maka mereka berada pada posisi yang menguntungkan
dalam politik internasional. Mereka mempunyai posisi tawar menawar yang tinggi
terhadap lawannya, mempunyai suara dan pengaruh dominan di forum internasional,
dan menjadikan lembaga-lembaga universal seperti PBB, WTO dan IMF sebagai
kepanjangan tangan mereka dalam rangka pengejaran kepentingan ekonomi nasional
, termasuk untuk mengeksploitasi negara-negara miskin. Selain itu, mereka
menjadi fungsi politik internasional yang dapat mengarahkan politik internasional
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Jepang
merupakan contoh ideal dari argumen ini. Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik
mengharuskan Jepang memenuhi keinginan Amerika Serikat untuk jangka waktu
tertentu, terutama yang berhubungan dengan kekuatan militer Jepang. Bahkan
pembuatan Konstitusi Jepang 1947 tidak terlepas dari campur tangan Amerika
Serikat. Akan tetapi keberhasilan ekonomi yang diraih Jepang membawa posisinya
sejajar dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Dengan kemajuan
ekonominya, Jepang tumbuh menjadi negara industri maju di dunia dan menjadi
mitra dagang utama bagi Amerika Serikat, Uni Eropa dan Asia.
Keberhasilan
yang diraih Uni Eropa juga merupakan suatu bukti dominasi paradigma ekonomi
dalam politik dan hubungan internasional. Penyatuan negara-negara Eropa Barat
yang sekarang berjalan ke arah unifikasi dengan Eropa Timur sangat mempengaruhi
ekonomi politik internasional. Kerjasama ekonomi Eropa yang sampai pada tahap
totally economic integration telah berimbas pada bidang politik dan pembentukan
Common Foreign and Security Policy yang berarti Uni Eropa telah mencapai tahap
integrasi politik. Tren integrasi Eropa ini ternyata semakin memperkuat
regionalisme yang telah tumbuh sejak tahun 1980-an di seluruh kawasan di dunia.
Kerjasama antar bangsa tidak lagi bersifat bilateral atau multilateral tetapi
perlahan beralih pada bentuk minilateral yaitu kerjasama antar blok perdagangan
regional seperti Uni Eropa – ASEAN, Uni Eropa – Africa Carribbean Pasifik, Uni
Eropa – NAFTA, NAFTA – LAFTA, dan sebagainya.
Akan
tetapi, yang sangat disayangkan dalam interaksi ekonomi internasional ini
adalah ketidakseimbangan antara Utara dan Selatan. Negara-negara miskin yang
secara geografis berada di belahan bumi selatan mempunyai ketergantungan yang
tinggi terhadap negara-negara maju yang berada di belahan bumi utara. Dalam
sistem kapitalisme yang diciptakan negara-negara Utara, negara-negara Selatan
diletakkan pada posisi yang tidak diuntungkan. Akibatnya, penetrasi ekonomi
negara-negara Utara terhadap negara-negara Selatan sering kali terjadi.
Meskipun
di era 1990-an, isu ekonomi sering menjadi isu perekat hubungan antar negara,
tidak jarang juga menjadi sumber konflik. Regionalisme yang bersifat protektif
dalam rangka melindungi pasar internalnya terhadap pasar global seringkali
merugikan negara yang menjadi mitra dagangnya. Ketika Pasar Tunggal Eropa
terbentuk 1993, Amerika Serikat dan Jepang sangat dirugikan karen ada banyak
hambatan untuk mengekspor barangnya ke pasar Eropa. Semakin banyaknya trade
diversion (pengalihan negara impor) oleh Uni Eropa juga telah merugikan
negara-negara ASEAN. Banyaknya konflik dagang yang terjadi antar negara
mengharuskan diciptakannya perangkat internasional yang mampu menjawab dan
menyelesaikan permasalahan dalam perdagangan global.
Selain
itu, perebutan sumber-sumber ekonomi yang langka dan terbatas menyebabkan
munculnya persaingan perluasan wilayah pengaruh antar kekuatan-kekuatan besar
dunia, seperti yang terjadi di Timur Tengah dan Asia Tengah antara Amerika
Serikat, Rusia, dan Cina yang terjadi sejak awal tahun 2000-an (PRI, 2012).
Awal
tahun 2000-an, isu ekonomi tidak hanya muncul untuk melandasi kerjasama ekonomi
perdagangan atau sumber konflik antar negara-bangsa tetapi juga dalam masalah
kesenjangan pembangunan sebagai akibat globalisasi ekonomi yang berbentuk
kemiskinan internasional. Di satu pihak, masuknya Cina dan Rusia menjadi
anggota WTO pada Desember 2001 dan Agustus 2012 merupakan peristiwa penting
dalam politik internasional dan tata dunia kontemporer. Hal ini menjadi salah
satu bukti bahwa kejayaan perjalanan panjang kapitalisme yang berhasil
melumpuhkan dua kekuatan ekonomi sosialis terbesar di dunia. Ketergantungan
ekonomi Cina dan Rusia dengan ekonomi global menyebabkan egoisme ideologi
politik dikalahkan dengan kebutuhan ekonomi nasional untuk mencari modal dan
perluasan pasar. Kebijakan ekonomi Cina mengalami evolusi dramatis dari
Komunisme Maois menjadi kapitalis, dan menjadikan Cina sebagai economic
superpower dan menjadi negara pesaing Amerika Serikat (Mansbach and Rafferty,
2008: 568). Begitu pula halnya dengan Rusia sejak kemerdekaannya tahun 1992.
Negara ini berusaha membangun perekonomiannya ke arah kapitalisme setelah
menjadi pewaris Uni Soviet yang menjalankan kebijakan ekonomi Sosialisme Lenin
dan Stalin.
Di
pihak yang lain, masih dalam konteks saling ketergantungan ekonomi global,
kemiskinan muncul di negara-negara yang tidak mampu bersaing dalam liberalisasi
perdagangan internasional. Meskipun ada upaya negara-negara maju baik secara
bilateral maupun multilateral atau melalui organisasi internasional seperti
IBRD, IMF, dan lembaga-lembaga PBB lainnya untuk mengatasi masalah kemiskinan
dan ketertinggalan di negara-negara berkembang dan miskin seperti di Asia
Selatan, Amerika Latin dan Selatan, Afrika dan Eropa Timur, pengintegrasian
perekonomian mereka ke dalam ekonomi global terus menggerus kedaulatan
ekonominya sehingga yang terjadi adalah kemiskinan yang tanpa ujung, dan
memberi warna baru dalam masalah keamanan manusia.
0 comments:
Post a Comment