Saturday, August 20, 2016

Perkembangan Pendekatan Ekonomi dalam Politik Internasional


Politik Internasional sampai dengan tahun 1990an masih didominasi oleh isu ekonomi. Interaksi antar bangsa baik dalam bentuk kerjasama maupun konflik lebih banyak didasarkan atas alasan ekonomi daripada politik. Pendekatan ekonomi sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pendekatan politik sehingga muncul pendekatan baru dalam politik internasional yaitu pendekatan ekonomi politik. Pendekatan ekonomi politik ini menjelaskan hubungan timbal balik antara hubungan ekonomi dan politik, yang tergambar dalam hubungan pasar dan negara. Di satu pihak, politik menentukan kerangka aktivitas ekonomi dan mengarahkannya untuk melayani kepentingan kelompok-kelompok dominan; dan penggunaan kekuasaan dalam berbagai bentuk sangat menentukan hakikat sistem ekonomi. Di pihak lain, proses ekonomi itu sendiri cenderung mendistribusikan kekuasaan dan kekayaan. Ekonomi membentuk hubungan kekuasaan antar kelompok. Pada gilirannya hal ini akan merombak sistem politik sekaligus membentuk struktur hubungan ekonomi yang baru. Jadi, dinamika hubungan internasional jaman modern pada intinya merupakan fungsi interaksi timbal balik antara ekonomi dan politik (Jones, 1993: 223-224).
 Misalnya, semakin sering embargo ekonomi diberlakukan dengan alasan politis dan tidak jarang pula kebijakan politik dikeluarkan dengan alasan ekonomi. Amerika Serikat yang memberlakukan embargo ekonomi terhadap Libya, Iran dan Irak lebih didasarkan pada alasan politis daripada alasan ekonomi, ketika pemimpin di negara-negara ini menentang keberadaan dan dominasi Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Sebaliknya, kelompok bisnis Jepang mampu menekan pemerintahnya dan LDP sebagai partai yang berkuasa untuk mengeluarkan kebijakan politik yang mengharuskan penyelesaian kasus mobil nasional dengan Indonesia melalui forum WTO.
Contoh lain adalah bagaimana krisis ekonomi di Asia sangat berimbas pada perpolitikan domestik negara-negaranya. Di Indonesia, krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan telah menumbanngkan pemerintah yang berkuasa lebih dari 30 tahun. Meskipun ada hubungan timbal balik antara politik dan ekonomi, faktor ekonomi memperlihatkan dominasinya atas faktor politik. Hubungan internasional antara Barat – Timur, Utara – Selatan, negara-negara maju – negara-negara berkembang – negara-negara miskin, semuanya lebih didasarkan pada alasan ekonomi. Ekonomi telah menjadi kunci status dan peringkat negara-bangsa dalam sistem global. Terdapat tanda-tanda pembagian, ada yang berdasarkan letak geografis dan ada yang berdasarkan kapasitas ekonomi nasionalnya.
JP. Pronk, menjelaskan bahwa negara-negara di dunia termasuk ke dalam 3 kategori, yaitu front runners (pelari cepat), intermediate space(perantara) dan stragglers (ketinggalan). Front runners adalah adalah negara-negara dengan ekonomi yang ditandai oleh taraf tinggi inovasi teknis dalam produk maupunmaupun proses produksi dan dalam metode organisasi yang lebih baik untuk produksi, distribusi maupun pemasaran. Intermediate space adalah negara-negara yang perekonomiannya tidak pasti dalam posisi memimpin, akan tetapi dalam beberapa sektor relatif mempunyai keuntungan supaya sedikit banyak dapat mengikuti front runners dan bahkan memperoleh manfaat dari kegiatan mereka. Stragglers adalah negara-negara dengan ekonomi yang tidak dapat mengikuti kecepatan yang lain (Pronk, 1993: 76).
Memasuki tahun 1990-an, ada tiga kutub ekonomi yang paling menonjol yaitu Amerika Serikat dan Kanada, Jepang dan Uni Eropa. Dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki ketiga negara ini maka mereka berada pada posisi yang menguntungkan dalam politik internasional. Mereka mempunyai posisi tawar menawar yang tinggi terhadap lawannya, mempunyai suara dan pengaruh dominan di forum internasional, dan menjadikan lembaga-lembaga universal seperti PBB, WTO dan IMF sebagai kepanjangan tangan mereka dalam rangka pengejaran kepentingan ekonomi nasional , termasuk untuk mengeksploitasi negara-negara miskin. Selain itu, mereka menjadi fungsi politik internasional yang dapat mengarahkan politik internasional sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Jepang merupakan contoh ideal dari argumen ini. Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik mengharuskan Jepang memenuhi keinginan Amerika Serikat untuk jangka waktu tertentu, terutama yang berhubungan dengan kekuatan militer Jepang. Bahkan pembuatan Konstitusi Jepang 1947 tidak terlepas dari campur tangan Amerika Serikat. Akan tetapi keberhasilan ekonomi yang diraih Jepang membawa posisinya sejajar dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Dengan kemajuan ekonominya, Jepang tumbuh menjadi negara industri maju di dunia dan menjadi mitra dagang utama bagi Amerika Serikat, Uni Eropa dan Asia.
Keberhasilan yang diraih Uni Eropa juga merupakan suatu bukti dominasi paradigma ekonomi dalam politik dan hubungan internasional. Penyatuan negara-negara Eropa Barat yang sekarang berjalan ke arah unifikasi dengan Eropa Timur sangat mempengaruhi ekonomi politik internasional. Kerjasama ekonomi Eropa yang sampai pada tahap totally economic integration telah berimbas pada bidang politik dan pembentukan Common Foreign and Security Policy yang berarti Uni Eropa telah mencapai tahap integrasi politik. Tren integrasi Eropa ini ternyata semakin memperkuat regionalisme yang telah tumbuh sejak tahun 1980-an di seluruh kawasan di dunia. Kerjasama antar bangsa tidak lagi bersifat bilateral atau multilateral tetapi perlahan beralih pada bentuk minilateral yaitu kerjasama antar blok perdagangan regional seperti Uni Eropa – ASEAN, Uni Eropa – Africa Carribbean Pasifik, Uni Eropa – NAFTA, NAFTA – LAFTA, dan sebagainya.
Akan tetapi, yang sangat disayangkan dalam interaksi ekonomi internasional ini adalah ketidakseimbangan antara Utara dan Selatan. Negara-negara miskin yang secara geografis berada di belahan bumi selatan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap negara-negara maju yang berada di belahan bumi utara. Dalam sistem kapitalisme yang diciptakan negara-negara Utara, negara-negara Selatan diletakkan pada posisi yang tidak diuntungkan. Akibatnya, penetrasi ekonomi negara-negara Utara terhadap negara-negara Selatan sering kali terjadi.
Meskipun di era 1990-an, isu ekonomi sering menjadi isu perekat hubungan antar negara, tidak jarang juga menjadi sumber konflik. Regionalisme yang bersifat protektif dalam rangka melindungi pasar internalnya terhadap pasar global seringkali merugikan negara yang menjadi mitra dagangnya. Ketika Pasar Tunggal Eropa terbentuk 1993, Amerika Serikat dan Jepang sangat dirugikan karen ada banyak hambatan untuk mengekspor barangnya ke pasar Eropa. Semakin banyaknya trade diversion (pengalihan negara impor) oleh Uni Eropa juga telah merugikan negara-negara ASEAN. Banyaknya konflik dagang yang terjadi antar negara mengharuskan diciptakannya perangkat internasional yang mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan dalam perdagangan global.
Selain itu, perebutan sumber-sumber ekonomi yang langka dan terbatas menyebabkan munculnya persaingan perluasan wilayah pengaruh antar kekuatan-kekuatan besar dunia, seperti yang terjadi di Timur Tengah dan Asia Tengah antara Amerika Serikat, Rusia, dan Cina yang terjadi sejak awal tahun 2000-an (PRI, 2012).
Awal tahun 2000-an, isu ekonomi tidak hanya muncul untuk melandasi kerjasama ekonomi perdagangan atau sumber konflik antar negara-bangsa tetapi juga dalam masalah kesenjangan pembangunan sebagai akibat globalisasi ekonomi yang berbentuk kemiskinan internasional. Di satu pihak, masuknya Cina dan Rusia menjadi anggota WTO pada Desember 2001 dan Agustus 2012 merupakan peristiwa penting dalam politik internasional dan tata dunia kontemporer. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa kejayaan perjalanan panjang kapitalisme yang berhasil melumpuhkan dua kekuatan ekonomi sosialis terbesar di dunia. Ketergantungan ekonomi Cina dan Rusia dengan ekonomi global menyebabkan egoisme ideologi politik dikalahkan dengan kebutuhan ekonomi nasional untuk mencari modal dan perluasan pasar. Kebijakan ekonomi Cina mengalami evolusi dramatis dari Komunisme Maois menjadi kapitalis, dan menjadikan Cina sebagai economic superpower dan menjadi negara pesaing Amerika Serikat (Mansbach and Rafferty, 2008: 568). Begitu pula halnya dengan Rusia sejak kemerdekaannya tahun 1992. Negara ini berusaha membangun perekonomiannya ke arah kapitalisme setelah menjadi pewaris Uni Soviet yang menjalankan kebijakan ekonomi Sosialisme Lenin dan Stalin.

Di pihak yang lain, masih dalam konteks saling ketergantungan ekonomi global, kemiskinan muncul di negara-negara yang tidak mampu bersaing dalam liberalisasi perdagangan internasional. Meskipun ada upaya negara-negara maju baik secara bilateral maupun multilateral atau melalui organisasi internasional seperti IBRD, IMF, dan lembaga-lembaga PBB lainnya untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketertinggalan di negara-negara berkembang dan miskin seperti di Asia Selatan, Amerika Latin dan Selatan, Afrika dan Eropa Timur, pengintegrasian perekonomian mereka ke dalam ekonomi global terus menggerus kedaulatan ekonominya sehingga yang terjadi adalah kemiskinan yang tanpa ujung, dan memberi warna baru dalam masalah keamanan manusia.

0 comments: