Hakikat
stratedi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional pada
saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan politik
pada masa depan ( Arifin, 2003: 145). Ada bebrapa indikator dalam strategi
komunikasi politik yang dianggao penting, yakitu (1) keberadaan pemimpin
politik; (2) merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan; (3) menciptakan
kebersamaan; (4) negosiasi; dan (5) membangun konsensur (Anwar Arifin dalam
Ardial, 2009: 73).
Pertama, keadaan
pemimpin politik. Eksistensi pemimpin politik dalam suatu partai dianggap
penting karena keberadaannya sangat dibutuhkan disetiap aktivitas kegiatan
komunikasi politik. Ketika komunikasi politik berlangsung, justru yang
berpengaruh bukan saja peran politik, melainkan siapa tokoh politik (politikus)
atau tokoh aktivis dan profesional, serta berasal dari lembaga mana yang
meyampaikan informasi atau pesan politik itu. Dengan kata lain, ketokohan
seorang komunikator dan latar belakang lembaga politik yang mendukungnya,
sangat menentukan berhasil atau tidaknya komunikasi politik dalam mencapai
sasaran dan tujuannya. Dalam masyarakat, terdapat stratifikasi kekuasaan yang
dimiliki, yang memiliki kekuasaan disebut elit
(pemimpin politik), sedangkan yang tidak memiliki kekuasaan disebut massa
atau rakyat. Oleh karena itu, menurut Pareto dalam Surbakti (1999 : 134),
pemimpin atau eliti politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang
paling dinilai tinggi dalam masyarakat,seperti prestise, kekayaan, atau
kewenangan.
Kedua,
merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan. Artinya, ketokohan politikus
dan kemantapan lembaga politiknya dala masyarakat akan memiliki pengaruh
tersendiri dalam berkomunikasi politik. Selain itu, juga diperlukan kemampuan
dan dukungan lembaga dalam menyusun pesan politik, menetapkan metode, dan
memilih media politik yang tepat. Ketokohan adalah orang yang memiliki
kredibilitas (al Amin), daya tarik,
dan kekuasaan. Rakhmat (1999:256) menyebutkan sebagai ethos. Dengan demikian,
ketokohan sama dengan ethos, yaitu
gabungan antara kredibilitaas, akraksi, daj kekuasaa. Dimensi ethos yang paling relevn disini adalah
kredibilitas, yaitu keahlian komunikator (pemimpin politik) atau kepercayaan
kita kepada pemimpin politik.
Ketiga,
menciptakan kebersamaan. Mencoiptakan kebersamaan antara politikus dengan
khalayak (rakyat) dengan cara mengenal khalayak dan menyusun pesan yang homofilis ( Arifin, 2003 : 154) agar komunikator politik
dapat berempati. Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homifilis daeripada heterofili
(Rakhmat, 1996: 262). Suasana ho,ofilis
yang harus diciptakan adalah
persamaan bahasa (simbol komunikasi), busana, kepentingan dengan khalayak,
terutama mengenai pesan politik, metode, dan media politik. Namun yang sangat
penting, strategi ini juga yang harus dilakukan oleh partai atau politikus
adalah siapa tokoh yang melakukan komunikasi kepada khalayak. Artinya,
politikus telah memiliki banyak persamaan dengan khalayak pada level melakukan
penjajakan, seperti bagaimana memahami khalayak, menyusun pesan persuasif,
menetapkan metode, dan memilih media.
Keempat,
negosiasi. Proses komunikasi bisa
mudah dan bisa juga sulit, tergantung pada orang yang mengomunikasikan sesuatu.
Da;am kehidupan komunikasi politik negosiasi merupakan bagian yang selalu
muncul sehingga negosiasi bisa dijadikan
sebagai salah satu strategi komunikasi politik. Menurut Oxford Dictionartu
dalam Ludlow & Panton (1996: 141), begosiasi adalah pembicaraan dengan
orang lain untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau
mengemukakan. Pada tataran komunikasi politik dalam partai politik, negosiasi
digunakan untuk melobi guna mencapai suatu kesepahaman atau kesepakatan dalam
proses pencapaian tujuan politik.
Kelima,
membangun konsensus. Strategi komunikasi politik terakhir yang harus dilakukan
oleh partai untuk mencapai tujuan komunikasi politiknya adalah membangun
konsensus, baik antara para politikus dalam satu paratai mauapun atara
politikus dari partai yang berbeda (Arifin, 2003: 182). Pada umumnya, hal itu
terjadi dalam rapat dan persidangan maupun dalam lobi, dengan menggunakan model
komunikasi efektif sesuai dengan paradigma interaksional.
Ada dua hal yang harus diperhatikan
dalam membangun kosensus, antara lain (1) seni berkompromi, yaitu para
politikus harus memiliki kemampuan berkompromi yang merupakan seni tersendiri.
Pada umumnya, seni atau kiat berkompromi itu merupakan bakat atau bawaan lahir
dan pasti dimiliki oleh politikus. Konsensus atau kesepakatan dicapai setelah
ada konflik atau perbedaan pendapat terhadap suatu masalah (Arifin, 2003: 183).
Hal ini terjadi dalam rapat, persidangan, atau musyawarah untuk penyusunan
undang-undang atau peraturan-peraturan, penentuan program, kebijakan, dan pelaksanaan,
serta penetapan atau pemilihan pucuk pimpinan seperti pemilihan presiden dan
wakil presiden; (2) bersedia membuka diri. Pada politikus yang akan melakukan
lobi untuk mencari solusi dengan membangun konsensus harus siap membuka diri
sesuai dengan konsep diri yang ada pada tiap-tiap politikus yang berbeda
pendapat (Arifin, 2003: 142). Konsep diri merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam komunikasi politik interaksional. Suksesnya komunikasi interaksional, terutama
lobi, banyak sekali bertgantung pada kualitas konsep diri yang positik.
Politikus yang memiliki konsep diri yang positik adalah orang yang transparan (
tembus pandang) atau terbuka bagi orang lain (Jorurard, 1971).
Salah satu inti dari demokratisasi
adalah bagaiamana membangun intitusi-intitusi politik demokratis, seperti
partai politik, bekerja atas dasar prinsip akuntabilitas. Partai politik
sebagai institusi demokrasi diharapkan dapat berperan sebagai agen yang dapat
menjamin tumbuh dan berkembangnya praktik demikrasi dimasyarakat. Peran
tersebut tentu menuntut partai politik terlebih dahulu menerapkan nilai dan
praktik-praktik demokrasi dalam dirnya sendiri ketika melaksanakan
fungsi-fungsi imput sistem politik,
seperti fungsi komunikasi politik.
Di Indonesia, proses demokratisasi politik
yang terus berlangsung pasca Orde Baru setidaknya telah mengarahkan sistem
kepartaian dan pemilu yang dapat memberi peluag bagi perluasan partisipasi
politik warga negara. Proses ini setidaknya telah menghasilkan sistem
multipartai yang relatif otonom yang tidak hanya memberi ruang bagi munculnya
sejumlah partai politik baru, tetapi juga sistem kompetisi yang sangat ketat
untuk merebut dukungan politik yang lebih besar dari konstituen.
Sekalipun sistem ini terasa lebih
demokratis dibanding sebelumnya, tetapi tetap saja merupakan ancama bagi
eksistensi partai politik sebab ruang kompetisi yang diciptakan semakin tajam
dan terbuka. Sistem ini dapat membuat partai politik gulung tikar bila partai
politik tersebut tidak dapat berkompetisi dan beradaptasi dengan lingkungan
politik yang sedang dan akan terus berubah serta berkembang, terutama dalam
melaksanakan fungsi komunikasi politik dengan efektif dan berhasil. Sistem ini
sudah tentu membawa dilema demokrasi karena pada satu sisi aspirasi politik masyarakat
yang terus berkembang menuntut partai politik dan pemerintah yang didukungnya
harus menjadi adaptif; pada lain sisi, partai politik dan pemerintah yang
didukungnya juga memiliki sejumlah keterbatasan. Arena politik yang ada akan
menjadi tempat pembataian bagi partai politik yang tidak mampu melaksanakan
fungsi-fungsi input susten politik, sekaligus merupakan medan yang
menguntungkan bagi partai politik lain yang suap beradaptasi dan berkomperisi
secara fair untuk memperoleh dukungan politik secara luas
dari masyarakat/rakyat melalui pembentukan opini dan pencitraan partai politik.
Pada batas-batas tertentu, sebuah
partai politik dihadapkan pada suatu tuntutan untuk mengoptimalkan pesannya
sebagao sarana partisipasi politik masyarakat. Jika dilihat dari
ketidakberhasilan sebuah partai politik dalam pemilu, hal ini disebabkan: pertama, aktivis dan politikus partai
belum memhamai betul fungsi komunikasi politik dalam partai. Mereka yang
menjadi aktivis partai belum termasuk orang-orang yang oleh Sigmund Neumann
disebut sebagai mereka yang memusatkan perhatiannya untuk menguasai
pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat. Kedua, mereka yang terlibat dalam partai
bukan orang-orang yang bertujuan memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanaka
kebijakan-kebijakan partai. Tujuan partai politik menurut Miriam Budiardjo
adalah memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
0 comments:
Post a Comment