Monday, August 22, 2016

HAKIKAT STRATEGI DALAM KOMUNIKASI PARTAI POLITIK


            Hakikat stratedi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional pada saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan politik pada masa depan ( Arifin, 2003: 145). Ada bebrapa indikator dalam strategi komunikasi politik yang dianggao penting, yakitu (1) keberadaan pemimpin politik; (2) merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan; (3) menciptakan kebersamaan; (4) negosiasi; dan (5) membangun konsensur (Anwar Arifin dalam Ardial, 2009: 73).
            Pertama, keadaan pemimpin politik. Eksistensi pemimpin politik dalam suatu partai dianggap penting karena keberadaannya sangat dibutuhkan disetiap aktivitas kegiatan komunikasi politik. Ketika komunikasi politik berlangsung, justru yang berpengaruh bukan saja peran politik, melainkan siapa tokoh politik (politikus) atau tokoh aktivis dan profesional, serta berasal dari lembaga mana yang meyampaikan informasi atau pesan politik itu. Dengan kata lain, ketokohan seorang komunikator dan latar belakang lembaga politik yang mendukungnya, sangat menentukan berhasil atau tidaknya komunikasi politik dalam mencapai sasaran dan tujuannya. Dalam masyarakat, terdapat stratifikasi kekuasaan yang dimiliki, yang memiliki kekuasaan disebut elit (pemimpin politik), sedangkan yang tidak memiliki kekuasaan disebut massa atau rakyat. Oleh karena itu, menurut Pareto dalam Surbakti (1999 : 134), pemimpin atau eliti politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat,seperti prestise, kekayaan, atau kewenangan.
            Kedua, merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan. Artinya, ketokohan politikus dan kemantapan lembaga politiknya dala masyarakat akan memiliki pengaruh tersendiri dalam berkomunikasi politik. Selain itu, juga diperlukan kemampuan dan dukungan lembaga dalam menyusun pesan politik, menetapkan metode, dan memilih media politik yang tepat. Ketokohan adalah orang yang memiliki kredibilitas (al Amin), daya tarik, dan kekuasaan. Rakhmat (1999:256) menyebutkan sebagai ethos.  Dengan demikian, ketokohan sama dengan ethos, yaitu gabungan antara kredibilitaas, akraksi, daj kekuasaa. Dimensi ethos yang paling relevn disini adalah kredibilitas, yaitu keahlian komunikator (pemimpin politik) atau kepercayaan kita kepada pemimpin politik.
            Ketiga, menciptakan kebersamaan. Mencoiptakan kebersamaan antara politikus dengan khalayak (rakyat) dengan cara mengenal khalayak dan menyusun pesan yang homofilis  ( Arifin, 2003 : 154) agar komunikator politik dapat berempati. Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homifilis  daeripada heterofili (Rakhmat, 1996: 262). Suasana ho,ofilis  yang harus diciptakan adalah persamaan bahasa (simbol komunikasi), busana, kepentingan dengan khalayak, terutama mengenai pesan politik, metode, dan media politik. Namun yang sangat penting, strategi ini juga yang harus dilakukan oleh partai atau politikus adalah siapa tokoh yang melakukan komunikasi kepada khalayak. Artinya, politikus telah memiliki banyak persamaan dengan khalayak pada level melakukan penjajakan, seperti bagaimana memahami khalayak, menyusun pesan persuasif, menetapkan metode, dan memilih media.
            Keempat,  negosiasi. Proses komunikasi bisa mudah dan bisa juga sulit, tergantung pada orang yang mengomunikasikan sesuatu. Da;am kehidupan komunikasi politik negosiasi merupakan bagian yang selalu muncul  sehingga negosiasi bisa dijadikan sebagai salah satu strategi komunikasi politik. Menurut Oxford Dictionartu dalam Ludlow & Panton (1996: 141), begosiasi adalah pembicaraan dengan orang lain untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau mengemukakan. Pada tataran komunikasi politik dalam partai politik, negosiasi digunakan untuk melobi guna mencapai suatu kesepahaman atau kesepakatan dalam proses pencapaian tujuan politik.
            Kelima, membangun konsensus. Strategi komunikasi politik terakhir yang harus dilakukan oleh partai untuk mencapai tujuan komunikasi politiknya adalah membangun konsensus, baik antara para politikus dalam satu paratai mauapun atara politikus dari partai yang berbeda (Arifin, 2003: 182). Pada umumnya, hal itu terjadi dalam rapat dan persidangan maupun dalam lobi, dengan menggunakan model komunikasi efektif sesuai dengan paradigma interaksional.
            Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam membangun kosensus, antara lain (1) seni berkompromi, yaitu para politikus harus memiliki kemampuan berkompromi yang merupakan seni tersendiri. Pada umumnya, seni atau kiat berkompromi itu merupakan bakat atau bawaan lahir dan pasti dimiliki oleh politikus. Konsensus atau kesepakatan dicapai setelah ada konflik atau perbedaan pendapat terhadap suatu masalah (Arifin, 2003: 183). Hal ini terjadi dalam rapat, persidangan, atau musyawarah untuk penyusunan undang-undang atau peraturan-peraturan, penentuan program, kebijakan, dan pelaksanaan, serta penetapan atau pemilihan pucuk pimpinan seperti pemilihan presiden dan wakil presiden; (2) bersedia membuka diri. Pada politikus yang akan melakukan lobi untuk mencari solusi dengan membangun konsensus harus siap membuka diri sesuai dengan konsep diri yang ada pada tiap-tiap politikus yang berbeda pendapat (Arifin, 2003: 142). Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi politik interaksional.  Suksesnya komunikasi interaksional, terutama lobi, banyak sekali bertgantung pada kualitas konsep diri yang positik. Politikus yang memiliki konsep diri yang positik adalah orang yang transparan ( tembus pandang) atau terbuka bagi orang lain (Jorurard, 1971).
            Salah satu inti dari demokratisasi adalah bagaiamana membangun intitusi-intitusi politik demokratis, seperti partai politik, bekerja atas dasar prinsip akuntabilitas. Partai politik sebagai institusi demokrasi diharapkan dapat berperan sebagai agen yang dapat menjamin tumbuh dan berkembangnya praktik demikrasi dimasyarakat. Peran tersebut tentu menuntut partai politik terlebih dahulu menerapkan nilai dan praktik-praktik demokrasi dalam dirnya sendiri ketika melaksanakan fungsi-fungsi imput sistem politik, seperti fungsi komunikasi politik.
            Di Indonesia, proses demokratisasi politik yang terus berlangsung pasca Orde Baru setidaknya telah mengarahkan sistem kepartaian dan pemilu yang dapat memberi peluag bagi perluasan partisipasi politik warga negara. Proses ini setidaknya telah menghasilkan sistem multipartai yang relatif otonom yang tidak hanya memberi ruang bagi munculnya sejumlah partai politik baru, tetapi juga sistem kompetisi yang sangat ketat untuk merebut dukungan politik yang lebih besar dari konstituen.
            Sekalipun sistem ini terasa lebih demokratis dibanding sebelumnya, tetapi tetap saja merupakan ancama bagi eksistensi partai politik sebab ruang kompetisi yang diciptakan semakin tajam dan terbuka. Sistem ini dapat membuat partai politik gulung tikar bila partai politik tersebut tidak dapat berkompetisi dan beradaptasi dengan lingkungan politik yang sedang dan akan terus berubah serta berkembang, terutama dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik dengan efektif dan berhasil. Sistem ini sudah tentu membawa dilema demokrasi karena pada satu sisi aspirasi politik masyarakat yang terus berkembang menuntut partai politik dan pemerintah yang didukungnya harus menjadi adaptif; pada lain sisi, partai politik dan pemerintah yang didukungnya juga memiliki sejumlah keterbatasan. Arena politik yang ada akan menjadi tempat pembataian bagi partai politik yang tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi input susten politik, sekaligus merupakan medan yang menguntungkan bagi partai politik lain yang suap beradaptasi dan berkomperisi secara fair  untuk memperoleh dukungan politik secara luas dari masyarakat/rakyat melalui pembentukan opini dan pencitraan partai politik.
            Pada batas-batas tertentu, sebuah partai politik dihadapkan pada suatu tuntutan untuk mengoptimalkan pesannya sebagao sarana partisipasi politik masyarakat. Jika dilihat dari ketidakberhasilan sebuah partai politik dalam pemilu, hal ini disebabkan: pertama, aktivis dan politikus partai belum memhamai betul fungsi komunikasi politik dalam partai. Mereka yang menjadi aktivis partai belum termasuk orang-orang yang oleh Sigmund Neumann disebut sebagai mereka yang memusatkan perhatiannya untuk menguasai pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat. Kedua, mereka yang terlibat dalam partai bukan orang-orang yang bertujuan memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanaka kebijakan-kebijakan partai. Tujuan partai politik menurut Miriam Budiardjo adalah memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.


0 comments: