Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sadar adalah insaf, merasa, tahu dan mengerti.
Kesadaran adalah keinsafan, keadaan mengerti. Sedangkan kesadaran politik
adalah kesadaran dan pengetahuan orang mengenai kekuatan politik di masyarakat.
Menurut
Surbakti (2007: 144), kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa
warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan
(Budiardjo, 1985:22) dalam Chandu (2012). Menurut Drs. M. Taophan, kesadaran
politik adalah suatu proses batin yang menampakkan keinsyafan dari setiap warga
negara akan urgensi urusan kenegaraan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Menurut
Soekanto (1982) terdapat empat indikator kesadaran yang masing-masing merupakan
suatu tahapan bagi tahapan berikutnya dan menunjuk pada tingkat kesadaran
tertentu, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, antara lain:
pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (tindakan). Pengetahuan adalah
hasil dari proses mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Orang tahu harus bisa mendefenisikan materi atau objek tersebut. Pemahaman
adalah hasil dari kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang
dikatahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar
(Notoadmojo, 2003). Menurut Newcomb, sikap adalah kesediaan atau kesiapan untuk
bertindak yang terdiri dari menerima, merespon, menghargai dan bertanggung
jawab terhadap suatu objek. Sedangkan tindakan adalah sesuatu yang dilakukan
atau perbuatan (www.artikata.com).
Kesadaran
politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap
lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14) dalam Chandu (2012). Kesadaran
politik atau keinsyafan bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan,
mengingat tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks. Karena itu tanpa
dukungan positif dari seluruh warga masyarakat akan banyak tugas negara yang
terbengkalai (Idshvoong, 2011).
Jeffry
M. Paige dalam Surbakti (2007: 144) menyebutkan aspek kesadaran politik
seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum,
hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam
sistem politik, kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya.
Menurut
Soekanto dalam Wardhani (2008: 8) bahwa tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi
4 yaitu pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (tindakan). Kesadaran
politik yang rendah dapat dilihat apabila berada pada level pengetahuan dan
pemahaman, sedang pada level sikap dan tinggi pada level pola
perilaku/tindakan.
Ritzer
menyatakan bahwa partisipasi politik dari seorang warga negara berkaitan erat
dengan kesadaran politiknya. Kesadaran politik yaitu fakta sosial politik yang
terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial yang menjadi objek studi
paradigma fakta sosial serta sesuatu yang terjadi dalam pemikiran manusia
berupa tanggapan kreatif terhadap sesuatu rangsangan atau stimulasi dari luar
dirinya (Munasyaroh, 2011). Dengan demikian kesadaran politik dapat diartikan
sebagai suatu paradigma perilaku dalam menyikapi peristiwa-peristiwa sosial dan
politik.
Secara
etimologis, konsep partisipasi dapat ditelusuri akar katanya dari bahasa
Inggris, yaitu kata “part” yang berarti bagian. Jika kata “part” dikembangkan
menjadi kata kerja, maka kata ini menjadi “to participate”, yang bermakna turut
ambil bagian.
Politik
berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota, negara kota. Dari
polis berkembang konsep “polites” yang bermakna warga negara dan konsep
“politikos” yang berarti kewarganegaraan. Dari penjelasan etimologis tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara
warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa
Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau dilanjutkan pemahaman
etimologis dari dua akar kata bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris
maupun Yunani, maka politik dapat dipahami sebagai suatu proses dan sistem
penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam
negara (kota) (Damsar, 2010: 10).
Huntington
dan Nelson (1994:16-17) menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang
berbeda, yaitu:
a.
Kegiatan
pemilihan
b.
Lobbying
c.
Kegiatan
organisasi
d.
Mencari
koneksi (contacting)
e.
Tindak
kekerasan (violence)
Dalam
penelitian ini, salah satu bentuk partisipasi politik yang dipakai adalah
kegiatan pemilihan atau dalam hal ini adalah kegiatan pemilukada 2010. Kegiatan
adalah aktivitas, usaha, pekerjaan (www.artikata.com). Dimana menurut
Huntington dan Nelson, kegiatan pemilihan mencakup suara, juga sumbangansumbangan
untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang
calon, atau setiap tindakan yang bertujuan memengaruhi hasil proses pemilihan.
Jeffry
M. Paige dalam Surbakti (2007: 144) menyebutkan dua variabel penting yang
mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama
adalah aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak
dan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak
mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan
kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam sistem politik, kewajiban kehidupan
sosial, dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut bagaimanakah penilaian dan
apresiasinya terhadap pemerintah, baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah
dan pelaksanaan pemerintahannya.
Berdasarkan
kedua hal tersebut di atas, Jeffry M. Paige (1971) membedakan tipe partisipasi
masyarakat ke dalam 4 macam, yaitu:
a.
Partisipasi
Aktif
Kegiatan
warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap
berbagai tahapan kebijakan pemerintah atau dengan kata lain apabila seseorang
memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka
partisipasi politik cenderung aktif.
b.
Partisipasi
Militan-Radikal
Kegiatan
warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap
berbagai kebijakan pemerintah. Namun berbeda dari partisipasi aktif, yang
cenderung mengutamakan cara-cara konvensional, partisipasi ini cenderung
mengutamakan cara-cara non konvensional, termasuk di dalamnya cara-cara
kekerasan atau dengan kata lain apabila kesadaran politik tinggi tetapi
kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, maka akan melahirkan militan
radikal.
c.
Partisipasi
Pasif
Kegiatan
warga negara yang menerima/menaati begitu saja segala kebijakan pemerintah.
Jadi, partisipasi pasif cenderung tidak mempersoalkan apapun kebijakan politik
yang dibuat pemerintah atau dengan kata lain apabila kesadaran politik sangat
rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan
partisipasi yang tidak aktif (pasif).
d.
Partisipasi
Apatis
Kegiatan
warga negara yang tidak mau tahu dengan apapun kebijakan publik yang dibuat
oleh pemerintah. Umumnya, warga masyarakat bertindak demikian karena merasa
kecewa dengan pemerintah dan sistem politik yang ada atau dengan kata lain
apabila seseorang tingkat kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah
rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis).
0 comments:
Post a Comment