Sunday, August 07, 2016

TEORI KESADARAN POLITIK


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sadar adalah insaf, merasa, tahu dan mengerti. Kesadaran adalah keinsafan, keadaan mengerti. Sedangkan kesadaran politik adalah kesadaran dan pengetahuan orang mengenai kekuatan politik di masyarakat.

Menurut Surbakti (2007: 144), kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiardjo, 1985:22) dalam Chandu (2012). Menurut Drs. M. Taophan, kesadaran politik adalah suatu proses batin yang menampakkan keinsyafan dari setiap warga negara akan urgensi urusan kenegaraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Menurut Soekanto (1982) terdapat empat indikator kesadaran yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya dan menunjuk pada tingkat kesadaran tertentu, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, antara lain: pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (tindakan). Pengetahuan adalah hasil dari proses mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Orang tahu harus bisa mendefenisikan materi atau objek tersebut. Pemahaman adalah hasil dari kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang dikatahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar (Notoadmojo, 2003). Menurut Newcomb, sikap adalah kesediaan atau kesiapan untuk bertindak yang terdiri dari menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab terhadap suatu objek. Sedangkan tindakan adalah sesuatu yang dilakukan atau perbuatan (www.artikata.com).

Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14) dalam Chandu (2012). Kesadaran politik atau keinsyafan bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan, mengingat tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks. Karena itu tanpa dukungan positif dari seluruh warga masyarakat akan banyak tugas negara yang terbengkalai (Idshvoong, 2011).

Jeffry M. Paige dalam Surbakti (2007: 144) menyebutkan aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya.

Menurut Soekanto dalam Wardhani (2008: 8) bahwa tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi 4 yaitu pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (tindakan). Kesadaran politik yang rendah dapat dilihat apabila berada pada level pengetahuan dan pemahaman, sedang pada level sikap dan tinggi pada level pola perilaku/tindakan.

Ritzer menyatakan bahwa partisipasi politik dari seorang warga negara berkaitan erat dengan kesadaran politiknya. Kesadaran politik yaitu fakta sosial politik yang terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial yang menjadi objek studi paradigma fakta sosial serta sesuatu yang terjadi dalam pemikiran manusia berupa tanggapan kreatif terhadap sesuatu rangsangan atau stimulasi dari luar dirinya (Munasyaroh, 2011). Dengan demikian kesadaran politik dapat diartikan sebagai suatu paradigma perilaku dalam menyikapi peristiwa-peristiwa sosial dan politik.

Secara etimologis, konsep partisipasi dapat ditelusuri akar katanya dari bahasa Inggris, yaitu kata “part” yang berarti bagian. Jika kata “part” dikembangkan menjadi kata kerja, maka kata ini menjadi “to participate”, yang bermakna turut ambil bagian.

Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota, negara kota. Dari polis berkembang konsep “polites” yang bermakna warga negara dan konsep “politikos” yang berarti kewarganegaraan. Dari penjelasan etimologis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau dilanjutkan pemahaman etimologis dari dua akar kata bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun Yunani, maka politik dapat dipahami sebagai suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam negara (kota) (Damsar, 2010: 10).

Huntington dan Nelson (1994:16-17) menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda, yaitu:

a.       Kegiatan pemilihan
b.      Lobbying
c.       Kegiatan organisasi
d.      Mencari koneksi (contacting)
e.       Tindak kekerasan (violence)

Dalam penelitian ini, salah satu bentuk partisipasi politik yang dipakai adalah kegiatan pemilihan atau dalam hal ini adalah kegiatan pemilukada 2010. Kegiatan adalah aktivitas, usaha, pekerjaan (www.artikata.com). Dimana menurut Huntington dan Nelson, kegiatan pemilihan mencakup suara, juga sumbangansumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan memengaruhi hasil proses pemilihan.

           
Jeffry M. Paige dalam Surbakti (2007: 144) menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama adalah aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.

Berdasarkan kedua hal tersebut di atas, Jeffry M. Paige (1971) membedakan tipe partisipasi masyarakat ke dalam 4 macam, yaitu:

a.       Partisipasi Aktif
Kegiatan warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap berbagai tahapan kebijakan pemerintah atau dengan kata lain apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif.


b.      Partisipasi Militan-Radikal

Kegiatan warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Namun berbeda dari partisipasi aktif, yang cenderung mengutamakan cara-cara konvensional, partisipasi ini cenderung mengutamakan cara-cara non konvensional, termasuk di dalamnya cara-cara kekerasan atau dengan kata lain apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, maka akan melahirkan militan radikal.

c.       Partisipasi Pasif

Kegiatan warga negara yang menerima/menaati begitu saja segala kebijakan pemerintah. Jadi, partisipasi pasif cenderung tidak mempersoalkan apapun kebijakan politik yang dibuat pemerintah atau dengan kata lain apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan partisipasi yang tidak aktif (pasif).

d.      Partisipasi Apatis


Kegiatan warga negara yang tidak mau tahu dengan apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Umumnya, warga masyarakat bertindak demikian karena merasa kecewa dengan pemerintah dan sistem politik yang ada atau dengan kata lain apabila seseorang tingkat kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis).

0 comments: