Pasca penandatanganan MoU, situasi Aceh relatif lebih
aman dibandingkan dengan sebelumnya. Kondisi ini merupakan udara segar bagi
masyarakat Aceh untuk melakukan aktivitasnya, tidak merasa tertekan dan terus
mengalami ketegangan yang berkelanjutan. Situasi ini juga mempengaruhi
kehidupan politik masyarakat. Ruang demokrasi dan kebebasan dalam menyampaikan
aspirasi menjadi semakin terbuka. Tidak ada lagi tekanan-tekanan dari
pihak-pihak tertentu. Masyarakat seakan disadarkan akan pentingnya kedamaian
politik dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan. Konflik yang terjadi hanyalah
penghambat perdamaian di masyarakat. MoU juga meminimalisir konflik yang
terjadi. Implikasinya, banyak pasukan GAM yang menyerahkan senjata dan
penarikan mundur pasukan TNI dari bumi Aceh. Dengan demikian, keamanan di Aceh
semakin bisa terkendali. Kontak fisik dapat ditekan, meskipun tidak seluruhnya
bisa dikendalikan. Namun secara umum, pasca penandatanganan MoU, Aceh mulai
menampakkan kedamaian dan udara kebebasan dari konflik. Para tahanan GAM juga
mulai dibebaskan. Tidak ada lagi kata GAM. GAM sendiri adalah bagian dari
masyarakat Aceh, sedangkan TNI bukan pembunuh melainkan pelindung masyarakat.
Setelah keadaan aman, tentu saja masyarakat tidak boleh tinggal diam. Masih banyak yang harus dikerjakan di masa yang akan datang. Apalagi bencana tsunami masih menyisakan puing-puing kehidupan yang harus ditata kembali. Maka pembenahan juga perlu dengan menghidupkan kembali perpolitikan yang demokratis di Aceh. Kehidupan yang demokratis sendiri menurut Urofsky (2002;31) ditandai dengan adanya pemilihan pemimpin secara bebas oleh warga negara dengan cara terbuka dan jujur. Oleh karena itu, pilkada langsung Aceh selain membawa angin demokrasi bagi masyarkat Aceh, juga menambah pengalaman politik luar biasa yang bisa dicapai setelah sekian lama hidup dalam konflik.
Pilkada Aceh merupakan wujud demokratisasi di Aceh. Lihat saja latar belakang para calon Gubernur Aceh. Gazali Abbas Adhan yang dulunya berasal dari Fraksi Persatuan Pembangunan dan mantan Anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah juga turut menyemarakkan pilkada. Ibrahim Hasyim berasal dari praktisi bidang perminyakan yang dipasangkan dengan Cut Idawani, seorang dokter wanita yang pernah mengepalai Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh juga mencalonkan diri meskipun akhirnya tidak mengikuti pemilihan. Humam Hamid berasal dari FPP seorang akademisi yang menggandeng pasangan Hasbi Abdullah seorang tokoh tua GAM. Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria diusung dari Partai Golkar, P Demokrat, PDI-P, dan PKPI. Iskandar Husain – M Saleh Manaf dijagokan oleh partai PBB, PPDK, Patriot Pancasila, PP Daerah, PKPB, PNI Marhaenisme, PBSD dan P Merdeka. Azwar Abubakar yang pernah menjadi Wakil Gubernur NAD dan menggantikan Abudllah Puteh menjadi Pejabat Gubernur NAD juga mencalonkan diri. (Arif;2006)
Salah satu nuansa iklim politik damai di masyarakat Aceh
adalah juga munculnya partai politik lokal. Otonomi khusus yang disandang oleh
Provinsi Naggroe Aceh Darrusalam membuat sistem perpolitikan agak berbeda.
Dengan UU no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka sangat dimungkinkan
bahwa akan ada partai politik lokal di Aceh. Ini adalah landasan hukum/yuridis
keberadaan partai politik. Selain itu, keberadaan partai politik lokal di NAD
juga dikuatkan dari hasil penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan GAM di Helsinski tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu.Munculnya
partai politik di Aceh juga bisa jadi hal yang negatif. Keberadaan partai
politik lokal di Aceh bisa dimanfaatkan oleh pihak GAM untuk kepentingan
politik dan melakukan aksi melepaskan NAD dari NKRI. Keputusan dari munculnya
partai politik lokal adalah perundingan alot antara Pemerintah RI dan GAM. Bisa
jadi, munculnya partai politik lokal ini merupakan taktik dari GAM untuk
mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat Aceh. (Muradi;2005) Setelah
menghimpun banyak suara dan mendapatkan batuan secara finansial. Bisa jadi
partai politik ini berupaya untuk lepas dari NKRI. Bahaya-bahaya seperti ini
memang sudah dimonitor oleh pemerintah Indonesia saat perundingan. Namun, hal
seperti ini tak perlu menjadi kekhawatiran yang mendalam, karena siapa saja
yang memang tidak menepati MoU bisa diberikan sanksi. Termasuk juga jika
terjadi konflik.
Perlu dipahami juga, munculnya partai politik lokal merupakan upaya yang efektif dalam menaikkan makna demokrasi di Indonesia. Dengan adanya partai politik lokal, maka suara-suara masyarakat bisa terkumpul dan tersalurkan dengan baik. Oleh karena itu, partai politik lokal jutsru menjadi jembatan politik antara pemerintah dan masyarakat. Dan dengan demikian, partai politik bukan lagi sebagai pemicu konflik tapi jutsru sebagai peredam konflik bagi mereka yang bisa menyurakan ide dan gagasan politiknya. Partai politik lokal nantinya juga menjadi tempat pendidikan politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bisa menduduki pemerintahannya sendiri.
Perlu dipahami juga, munculnya partai politik lokal merupakan upaya yang efektif dalam menaikkan makna demokrasi di Indonesia. Dengan adanya partai politik lokal, maka suara-suara masyarakat bisa terkumpul dan tersalurkan dengan baik. Oleh karena itu, partai politik lokal jutsru menjadi jembatan politik antara pemerintah dan masyarakat. Dan dengan demikian, partai politik bukan lagi sebagai pemicu konflik tapi jutsru sebagai peredam konflik bagi mereka yang bisa menyurakan ide dan gagasan politiknya. Partai politik lokal nantinya juga menjadi tempat pendidikan politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bisa menduduki pemerintahannya sendiri.
Untuk itu peran partai politik bagi masyarakat Aceh. Partai politik lokal harus mengemas diri secara menarik dan mampu menarik aspirasi dari akar bawah. Partai politik perlu menerapkan suatu manajemen komunikasi politik yang etis, demokratis dan dilakukan secara profesional. Dengan demikian, antar partai politik menjadi sarana dialog dari berbagai macam kepentingan. (Setio;2002) Jangan sampai partai politik hanya ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Partai politik lokal juga harus fokus terhadap permasalahan masyarakat lokal. Hakekatnya, partai politik lokal tumbuh dan berkembang dari wilayah lokal masyarakat Aceh. Maka, sangat aneh jika partai politik lokal tidak mengerti dan paham akan permasalahan yang dihadapi wilayahnya sendiri. Dengan demikian, partai politik lokal akan banyak mendapatkan simpati dari masyarakat lokal pula. Simpati ini hendaknya juga dibarengi dengan realisasi janji yang diberikan. Pertumbuhan dan perkembangan partai politik lokal juga hendaknya dipahami secara kultural dan historis. Melalui MoU dan UU Pemerintahan Aceh, partai politik lokal diberikan kebebasan untuk berkembang. Keberadaannya semata-mata bukan untuk menyaingi keberadaan partai nasional yang sudah lama ada. Namun, keberadaan partai politik lokal adalah usaha untuk menciptakan damai di Aceh. MoU adalah sebuah usaha negosiasi damai. MoU menghasilkan kesepakatan yang memungkinkan munculnya partai politik lokal. Oleh karenanya, secara historis, partai politik lokal juga harus menjaga kedamaian politik. Keberadaannya merupakan bagian tak terpisahkan dari transisi Aceh menuju perdamaian, bukan hanya untuk kepentingan politik semata.
0 comments:
Post a Comment