Wednesday, August 10, 2016

Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Reformasi Institusi Pertahanan



Sejak adanya keterbukaan politik pada tahun 1998, sebagai hasil dari tuntutan reformasi. Maka ruang keterbukaan politik ini berupaya dimanfaatkan kalangan masyarakat sipil secara maksimal. Selama lebih dari sepuluh tahun ini, reformasi di bidang militer dan pertahanan dapat dikatakan lebih maju secara normatif. Reformasi di bidang pertahanan dan militer telah menghasilkan dua Undang-undang yaitu UU No. 3/2002 dan UU No. 34/2004. Un­dang-undang ini, walaupun belum sempurna, tetapi patut dikemukakan disini bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan RUU TNI sejak 2003 cukup menonjol.27 Kotak dibawah ini dapat menjelaskan peran organisasi masyarakat sipil (OMS) secara umum dalam proses reformasi sektor keamanan, sehingga kita dapat menempatkan OMS sesuai dengan peran dan fungsinya dalam tatanan demokrasi khususnya di Indonesia.
OMS yang banyak terlibat dalam menangani reformasi pertahanan (dan Keamanan) dikategorikan sebagai OMS Reformasi Sektor Keamanan (RSK) oleh seorang akademisi dari UI.28 OMS tersebut antara lain, Propatria Insti­tute, Pacivis UI, Ridep Institute, Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) dan LOGOS.OMS tersebut dimasukkan dalam kategori sebagi kelompok pemikir (think tank) yang melakukan kegiatan akade­mik berupa penelitian, lokakarya, seminar dan berbagai pelatihan berkaitan dengan isu RSK melalui pendekatan interkoneksi yang holistik atau menyeluruh.30 Artinya konsep dibahas akan saling terkait, artinya satu masalah tidak bisa ditangani secara terpisah. UU No. 34 tahun 2004 adalah bukti dari pergulatan pemikiran tersebut yang berproses dalam lembaga politik seperti DPR dan Departmen Pertahanan. OMS tipe kedua adalah yang berbasis isu seperti Imparsial, Kontras, YLBHI, dll. Sebagian besar adalah OMS yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM), yang mana kerjanya cenderung ingin mempromosikan nilai-nilai HAM dalam reformasi sektor keaman­an.
Sejak tahun 2003, Dephan telah menyusun RUU Pertahanan Keamanan Negara (Hankamneg) yang kemudian disebut RUU Keamanan Nasional (Kamnas). Propatria adalah OMS yang paling intens terlibat dalam membahas RUU ini, bahkan telah menghasilkan buku bunga rampai hasil berbagai diskusi pada tahun 2006. Dilain pihak or­ganisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu HAM seperti Imparsial, KontraS, Elsam, HRWG dan YLBHI, men­ganggap beberapa pasal dalam RUU ini dapat mencederai hak asasi manusia terutama dalam pasal 56 soal peran TNI dalam menangani aksi terorisme dan juga menyoroti soal peran TNI yang terlalu besar, padahal semestinya RUU ini mengatur peran, fungsi dan kedudukan para aktor keamanan yang ada secara proporsional.
Pada awal 2007, pembahasan RUU Kamnas mandek di Dephan setelah Polri menolak untuk melanjutkan pem­bicaraan dengan Dephan berkaitan dengan isu penempatan Polri dibawah suatu lembaga negara atau dalam arti Polri harus tunduk pada otoritas politik sebagaimana posisi TNI yang akan berada dalam Dephan.32 Sebenarnya pemerintah dapat mengabaikan keberatan Polri, karena pemerintah seharusnya dapat bersikap tegas dalam men­dorong RUU Kamnas. Tapi nampaknya kebutuhan politis Presiden SBY untuk mendapat dukungan Polri lebih kuat dari pada meneruskan RUU ini.33 Hingga kini RUU ini masih ditangani oleh Menkopolhukam sebagai sek­tor penjuru dalam pembahasan RUU pasca polemik antara Dephan dan Polri.
Aktivitas OMS dalam lima tahun terakhir terkait dengan reformasi bidang pertahanan cukup beragam. Seperti Propatria dan Pacivis UI lebih banyak terlibat dalam menyusun kebijakan dan sejumlah RUU yang berkaitan den­gan pertahanan dan keamanan dan kadang-kadang bekerja sama dengan Dephan. Sedangkan Lesperssi dan Ridep Institute lebih banyak menyoroti isu-isu kebijakan pertahanan seperti komando teritorial dan bisnis TNI. Selama ini Dephan mengikutsertakan Propatria dan Pacivis UI dalam pembahasan RUU kamnas untuk memberikan in­put berkaitan substansi RUU itu.
mengikutsertakan Propatria dan Pacivis UI dalam pembahasan RUU kamnas untuk memberikan input berkaitan substansi RUU itu.34
Sedangkan Imparsial menyoroti sejumlah RUU yang dibahas Dephan yaitu RUU rahasia negara dan komponen cadangan (Komcad). Imparsial secara tegas menolak RUU Komponen Cadangan engan alasan bahwa peningkatan profesionalisme TNI dalam bentuk revisi strategi, ukuran dan sistem pertahanan masih belum selesai dan juga RUU ini berpotensi untuk disalahgunakan terutama komponen cadangan dapat digunakan untuk operasi militer selain perang—separatisme—yang dapat menghadapkan antara komcad dengan rakyat.35 Menurut Imparsial, RUU ini semestinya tidak jadi prioritas pembahasan saat ini dan apabila tetap disahkan, maka harus mengadopsi prinsip penolakan ikut serta berdasarkan alasan moral dan agama (bahasa Inggris disebut conscientious objector).
Sementara IDSPS pernah menerbitkan kajian kritis tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Kajian ini memberikan rekomendasi kebijakan alternatif terkait dengan kebijakan pertahanan. Selain itu IDSPS (Institute for Defense, Security and Peace Studies) juga melakukan advokasi RUU Rahasia Negara, walaupun RUU ini bukanlah isu pertahanan secara langsung, tapi Dephan merupakan pihak penjuru dalam pembahasan RUU ini.

Melihat reformasi pertahanan selama ini, paling tidak ada sejumlah isu dan permasalahan menonjol berkaitan dengan reformasi pertahanan dan militer yaitu RUU Kamnas, komando teritorial, bisnis militer, anggaran pertahanan, kendali otoritas sipil terhadap TNI,36 serta kebijakan pertahanan (postur pertahanan dan Buku Putih). Dengan beragamnya isu atau masalahnya dan dihadapkan dengan terbatasnya komunitas keamanan di masyarakat sipil, agaknya diperlukan stamina yang tinggi dari pihak OMS untuk membahas itu semua secara konsisten dan berkelanjutan.37 Sementara itu, OMS RSK yang sebagian besar berbasis di Ibukota sebaiknya membangun jaringan dengan OMS-OMS (LSM) di daerah untuk menyebarluaskan wacana dan dukungan dari masyarakat di daerah berkaitan dengan isu sektor keamanan.

0 comments: