Pilar-pilar penyangga
arsitektur demokrasi kini tampak kian keropos bukan karena kekuatan eksternal,
tetapi oleh parasit internal elite politik. Simbiosis antara mesin politik dan
mesin media yang semula diharapkan dapat memperkokoh konstruksi bangunan
demokrasi, kini justru menjadi virus perusak nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri.
Dalam simbiosis itu, para elite justru disibukkan oleh hasrat publisitas, popularitas,
dan selebriti sehingga melupakan tanggung jawab politik.
Demokratisasi di atas tubuh
bangsa ini diuntungkan oleh? pers bebas? Energentik produk reformasi yang
memungkinkan? pasar bebas? ide dan gagasan politik. Sebagaimana dikatakan
Robert M Entman di dalam Democracy Without Citizens (1989), kebebasan
media mestinya mendorong demokrasi dengan menstimulasi kepentingan politik
warga melalui suplai informasi cerdas dan kritis untuk menjaga akuntabilitas
pemerintah.
Akan tetapi, selera rendah
politik (political kitsch) yang terbangun dalam simbiosis elite politik
dan media justru menggiring wacana politik pada watak banalitas politik hampa
pengetahuan, pencerdasan, dan pencerahan.
Pengetahuan, kompetensi, dan
perilaku elite-elite politik nyatanya kian memburuk. Tindak politik yang sama
sekali terlepas dari virtue? yang mestinya memberikan efek? kebaikan? (goodness),?
kemuliaan?, keluhuran?, honour,? pencerahan?, dan keotentikan (authenticity)?
kini justru menunjukkan watak banalitas, kedangkalan, manipulasi, dan penipuan
massa (mass deception). Ruang publik politik tanpa virtue dirayakan oleh
para oportunis, narsis, dan selebriti politik, sebagai tempat mendongkrak fame.
Demokrasi kini menjadi? demokrasi narsisistik? (narcissistic democracy),
yang di dalamnya para elite politik (wakil rakyat) disibukkan mengatur penampilan
dan citra diri di depan kamera televisi ketimbang mengasah pisau nalar memikirkan
rakyat.
Sebagaimana dikatakan
Christopher Lach di dalam The Culture of Narcissism (1979), para narsis
politik membangun kemuliaan diri melalui selebriti, polularitas, dan karisma
diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan pemirsa, bukan dari kekuatan pikiran,
pengetahuan, dan kompetensi.
Alih-alih menjadi subyek
politik yang punya kuasa dan otoritas mengubah struktur wacana demokrasi (discourse
of democracy), dengan memperkaya nilai dan maknanya, para elite politik
justru menjadi obyek wacana?, yaitu individu yang tunduk pada hukum, logika,
dan strategi wacana media (televisi) sendiri. Subyek politik larut dalam skema
hasrat, fantasi, dan mitos-mitos yang dibangun media, tunduk pada logika citra,
fetisisme, dan tontonannya, yang menawarkan dunia gemerlap selebriti.
0 comments:
Post a Comment