Friday, August 05, 2016

Narsisisme demokrasi


Pilar-pilar penyangga arsitektur demokrasi kini tampak kian keropos bukan karena kekuatan eksternal, tetapi oleh parasit internal elite politik. Simbiosis antara mesin politik dan mesin media yang semula diharapkan dapat memperkokoh konstruksi bangunan demokrasi, kini justru menjadi virus perusak nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri. Dalam simbiosis itu, para elite justru disibukkan oleh hasrat publisitas, popularitas, dan selebriti sehingga melupakan tanggung jawab politik.
Demokratisasi di atas tubuh bangsa ini diuntungkan oleh? pers bebas? Energentik produk reformasi yang memungkinkan? pasar bebas? ide dan gagasan politik. Sebagaimana dikatakan Robert M Entman di dalam Democracy Without Citizens (1989), kebebasan media mestinya mendorong demokrasi dengan menstimulasi kepentingan politik warga melalui suplai informasi cerdas dan kritis untuk menjaga akuntabilitas pemerintah.
Akan tetapi, selera rendah politik (political kitsch) yang terbangun dalam simbiosis elite politik dan media justru menggiring wacana politik pada watak banalitas politik hampa pengetahuan, pencerdasan, dan pencerahan.
Pengetahuan, kompetensi, dan perilaku elite-elite politik nyatanya kian memburuk. Tindak politik yang sama sekali terlepas dari virtue? yang mestinya memberikan efek? kebaikan? (goodness),? kemuliaan?, keluhuran?, honour,? pencerahan?, dan keotentikan (authenticity)? kini justru menunjukkan watak banalitas, kedangkalan, manipulasi, dan penipuan massa (mass deception). Ruang publik politik tanpa virtue dirayakan oleh para oportunis, narsis, dan selebriti politik, sebagai tempat mendongkrak fame. Demokrasi kini menjadi? demokrasi narsisistik? (narcissistic democracy), yang di dalamnya para elite politik (wakil rakyat) disibukkan mengatur penampilan dan citra diri di depan kamera televisi ketimbang mengasah pisau nalar memikirkan rakyat.

Sebagaimana dikatakan Christopher Lach di dalam The Culture of Narcissism (1979), para narsis politik membangun kemuliaan diri melalui selebriti, polularitas, dan karisma diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan pemirsa, bukan dari kekuatan pikiran, pengetahuan, dan kompetensi.


Alih-alih menjadi subyek politik yang punya kuasa dan otoritas mengubah struktur wacana demokrasi (discourse of democracy), dengan memperkaya nilai dan maknanya, para elite politik justru menjadi obyek wacana?, yaitu individu yang tunduk pada hukum, logika, dan strategi wacana media (televisi) sendiri. Subyek politik larut dalam skema hasrat, fantasi, dan mitos-mitos yang dibangun media, tunduk pada logika citra, fetisisme, dan tontonannya, yang menawarkan dunia gemerlap selebriti.

0 comments: