Wednesday, August 31, 2016

MEDIA SEBAGAI INSTRUMEN PROPAGANDA

MEDIA SEBAGAI INSTRUMEN PROPAGANDA
Herman (1998:200-201) mengemukakan bahwa perubahan dramatik di bidang ekonomi, industri komunikasi, dan juga politik dalam satu dekade belakangan adalah kecenderungan mulai diterapkannya model propaganda. Dua filter yang paling pokok bagi berlangsungnya proses ini adalah pengaruh kepemilikan dan periklanan yang semakin meningkat. Di era globalisasi sekarang ini, terdapat trend bahwa media dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok masyarakat. Akibatnya, liputan media menjadi cenderung menguntungkan pemilik modal dan demi dukungan periklanan yang lebih besar. Filter ketiga dan keempat adalah -sourcing and flak-yang telah pula memperkuat pengaruh elit dalam kehidupan politik. Hiperkomersialisasi telah memunculkan gejala baru dalam bentuk pendangkalan laporan jurnalisme sebagai akibat efisiensi. Laporan jurnalisme investigatif dikurangi, demikian juga dengan biaya untuk pelatihan jurnalis. Media hanya mengandalkan liputan-liputan yang berorientasi ke atas dengan mengandalkan sumber-sumber elit politik dan ekonomi. Filter kelima adalah ideologi antikomunis. Hancurnya Uni Soviet telah membuat keyakinan terhadap “keajaiban pasar” (miracle of the market) semakin kuat. Keyakinan ini berujung pada “pentasbihan” ideologi pasar sebagai satu-satunya mekanisme yang diyakini paling efisien dalam mengelola sumber-sumber ekonomi. Dalam kehidupan media, berkuasanya ideologi pasar ini telah menciptakan market-driven journalism, telah mendorong media yang semata berorientasi pada kepentingan pasar/profit dibandingkan dengan melayani warga negara dan sistem politik demokrasi.
Dalam politik internasional, propaganda telah memainkan peranan yang menentukan dalam upayanya suatu negara untuk meraih tujuan-tujuan politik yang sudah ditetapkan (Holsti, 1983). Peranan semacam ini akan semakin kuat dalam masyarakat demokratis. Edward L. Bernays mengemukakan bahwa manipulasi kesadaran yang diorganisasikan dalam kebiasaan dan opini massa merupakan ciri-ciri paling utama masyarakat demokrasi. Suatu esensi demokrasi yang juga merupakan cara untuk memelihara struktur kekuasaan, struktur otoritas, kesejahteraan, dan lain sebagainya (Dikutip dari Chomsky, 1998:181). Dalam kaitan ini, propaganda digunakan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri dan sikap-sikap masyarakat yang menjadi target. Perkembangan teknologi komunikasi dan beroperasinya media-media lintas batas negara bangsa yang telah menstransformasi politik internasional membuat aktor-aktor propaganda tidak lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga warga negara (lihat gambar 1), dan dalam konteks tersebut media berperan dalam menyebarluaskan pesan-pesan propaganda melalui berita dan pesan-pesan lain ke target.
Realitas Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 menjadi contoh konkret bagaimana media menjadi agen propaganda yang efektif dalam membangun dukungan domestik untuk merencanakan perang besar. Bahkan, dalam konteks Perang Teluk, media terlibat dalam skandal ‘penipuan’ yang dilakukan oleh Pentagon melalui penyesatan informasi (Kellner, 1992). Kellner (1992:6) mengemukakan “the tv networks, by contrast, tended merely to reproduce what they were told or shown by US government and military”. Liputan media-media mainstream dan terutama televisi telah memengaruhi cara pandang orang tentang perang. Dalam hal ini, dukungan dan antipati sangat ditentukan oleh bagaimana media menyiarkan perang tersebut. Kondisi ini berulang ketika AS melakukan invasi ke Iraq guna menjatuhkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Di sini, media berperan besar dalam memobilisasi dukungan terhadap Perang Iraq dengan hanya menampilkan opini Gedung Putih (Chomsky, 2006). Media gagal memberikan konteks, dan karenanya gagal pula dalam memberikan informasi kepada warga negara AS secara lengkap. Seperti dikemukakan Dennet (2006: 80), dalam kasus Perang Iraq dan Terorisme, salah satu kelemahan besar laporan media arus utama (di AS) adalah kegagalan menempatkan konteks, dan ironisnya sekolah-sekolah dan universitas di Amerika juga mengidap kekurangan ini. Konteks yang dimaksud Dennet adalah apa sebenarnya motif dan latar belakang perang AS di Timur Tengah. Menurutnya, perang tersebut bukan karena motif perang melawan terorisme, tetapi dalam kajian sejarah yang panjang perang tersebut sebenarnya berkenaan dengan minyak. Media gagal menghadirkan informasi ini dan hanya mengandalkan apa yang disampaikan para pejabat Gedung Putih. Akibatnya, masyarakatAS mendukung invasi pemerintahan Bush secara keliru karena informasi yang disampaikan kepada mereka juga keliru.
Menurut Dennet (2006:80), hal ini menjelaskan mengapa orang Amerika tampak naif tidak ketulungan, bahkan bodoh. Padahal, tidaklah demikian. Orang-orang Amerika, sebagaimana dikemukakan Dennet, hanya memerlukan konteks, yang gagal dipenuhi oleh media mainstream. Faktor penyebabnya, salah satunya, adalah komersialisasi produk mediaatau bahkan hiperkomersialisasi. Merujuk pendapat para senior di CNN, Borjesson (2006:17) mengemukakan bahwa dalam kasus Perang Iraq, audiens hanya memerlukan pemandu sorak dan bukannya liputan kritis. Oleh karenanya, menyediakan peliputan yang sedikit atau tidak ada peminatnya buruk buat rating dan buruk buat bisnis. Oleh karena itu, di saat-saat kritis semacam itu, CNN sebagai “Nama Terpercaya untuk Berita” sengaja mengorbankan integritas jurnalistik demi memberikan khalayak pemirsa apa yang mereka inginkan.
Dimensi lain dari persoalan globalisasi media adalah konsentrasi kepemilikan media-media tersebut di tangan segelintir orang, dan sebagian besar beroperasi di negara maju. Dalam suatu struktur yang monopolistik dan oligopolistik, orientasi media akan cenderung menguntungkan elit politik, yang akhirnya mengerucut ke dalam elit-elit transnasional. Media global akan lebih menyerukan kepentingan negara-negara besar dibandingkan dengan sebaliknya. Sayangnya, banyak penonton televisi yang tidak mengetahui hal ini. Menurut Hacten (1993:57), berita-berita asing di televisi ditunjang oleh dua agen berita televisi yang didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris. Kondisi semacam ini, tentunya, tidak begitu mengherankan karena media-media AS dan Inggris memonopoli siaran-siaran nasional dan dunia. Seperti dicatat Chalaby (2003:457), saluran-saluran televisi transnasional telah mempunyai dampak-dampak yang berbeda pada pasar-pasar media dan juga meningkatkan isu-isu penting globalisasi. Saluran-saluran televisi transnasional ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan saluran-saluran nasional.
Media bukanlah kekuatan netral dan tidak akan pernah menjadi kekuatan netral. Meskipun para akademisi dan wartawan dengan gigih menyerukan pentingnya jurnalisme yang mengabdi pada kebenaran, obyektivitas, dan orientasi pada kepentingan warga negara (Kovach dan Rosenthiel, 2004), tetapi pada kenyataannya jurnalisme dan media selalu berpihak pada kelompok elit. Edward S. Herman dan Noam Chomsky (2002, xi) dengan tegas mengemukakan bahwa di luar fungsi-fungsi lainnya media melayani dan mempropagandakan kepentingan-kepentingan kelompok sosial yang mengontrol dan membiayainya.
Dalam artikel yang berjudul “Paternalisme Baru: Membentuk Opini Publik”, John Dewey (1918) mengemukakan bahwa “demokrasi dikontrol melalui opini mereka (baca jurnalis), opini yang dibentuk atas dasar materi yang mereka peroleh, dan bahwa propaganda disamarkan sebagai distribusi berita melalui cara yang termurah dan terefektif untuk mengembangkan perasaan publik yang paling diinginkan (dikutip dari Combs dan Nimmo, 1993:56). Selanjutnya, Dewey mengkritik lebih jauh dengan mengatakan bahwa para penguasa selalu menggunakan pengaruh terhadap opini, dan ketika penemuan media massa telah mulai menyebar dan menarik perhatian membuat propaganda menjadi suatu pengaruh komunikasi lebih besar pada era modern.


0 comments: