Wednesday, August 10, 2016

Kontrol Dephan terhadap TNI


Saat ini kedudukan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI adalah sejajar dan tentunya hal ini mengakibatkan komplikasi hubungan antara dua lembaga tersebut. Komplikasi hubungan antara keduanya dijelaskan dibawah ini yakni,19 Pertama, karena UU No. 3/2002 menyatakan Menteri Pertahanan adalah pembantu presiden di bidang pertahanan dan juga UU ini menyatakan Panglima TNI bertanggungjawab langsung kepada Presiden dalam penggunaan dan pengerahan TNI. UU ini tentunya tidak begitu saja menyatakan Panglima TNI di bawah Presiden, karena UU mengikuti aturan yang lebih tinggi yakni TAP MPR VII/2000 yaitu pasal 3 ayat 2 tentang kedudukan TNI dibawah Presiden. Sehingga pengaturan ini sejak awal membuat kedudukan keduanya menjadi rancu. Kedua, Panglima TNI selalu diikutsertakan dalam rapat kabinet yang membicarakan urusan politik dan pemerintahan, sehingga Panglima TNI masih dipersepsikan sebagai jabatan pemegang kebijakan yang akhirnya memberi kesan jabatan Menhan sekedar urusan administrasi. Artinya kerancuan-kerancuan ini, membuat hubungan kedua lembaga ini terjadi tarik menarik terutama berkaitan dengan penyiapan sumber daya pertahanan.20 Tetapi, dalam isu pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, Dephan tampaknya cenderung defensif dalam membela purnawirawan TNI yang diduga melanggar HAM. Sehingga banyak tuduhan pada Dephan, yang masih menggunakan paradigma masa lalu dalam menyikapi isu HAM ini.
Dalam UU No.3/2002 dan UU No. 34/2004 secara tegas menyatakan bahwa peran dan fungsi Dephan dalam penyusunan kebijakan strategis dan Mabes TNI merupakan fungsi penggunaan kekuatan TNI dalam operasi militer. Pada masa pemerintahan presiden sebelum SBY, dalamnya prakteknya banyak kewenangan Dephan yang dilakukan pula oleh Mabes TNI. Contoh pertama; adalah soal pembelian pesawat Sukhoi SU27 dan SU30 yang dilakukan tanpa melalui Dephan, bahkan Dephan tidak dikutsertakan dalam tim teknis ke Rusia. Diketahui bahwa, kontrak pembelian ditandatangani oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono S. dan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo. Hal ini jelas melanggar UU No.3/2002 terutama pasal 16 ayat 6 soal pengadaan alutsista yang merupakan kewenangan Dephan. Contoh kedua adalah pengembangan sejumlah batalyon Raiders di bawah Kodam, juga tanpa kajian yang mendalam dan tanpa persetujuan Dephan sebagai otoritas politik. Disini Dephan tidak dapat berbuat apapun, karena Mabes TNI melakukan fait accompli terhadap Dephan. Contoh yang lain adalah kaitannya dengan pelaksanaan operasi darurat militer di Aceh 2003-2004. Pelaksanaan darurat militer di mana setelah operasi berakhir tidak ada akuntabilitas dari pihak Mabes TNI pada pemerintah. Dan pemerintah saat itu lebih nyaman dengan tidak menanyakan pertanggungjawabannya. Pemerintah di masa Presiden Megawati berupaya menjaga hubungan yang harmonis dengan TNI.
Persoalan-persoalan tersebut bisa muncul selama mabes TNI masih berdiri sendiri. Karena mengacu pada UU No.34/2004 terutama pasal 4 (2) bahwa, Kerancuan ini timbul, karena sejak awal kemerdekaan, di mana hubungan sipil militer mengalami pasang surut yang diwarnai 19 ketidakpercayaan TNI pada pemerintahan sipil. Hal ini tercermin ketika, dwitunggal Soekarno – Hatta tertangkap di Jogjakarta dalam agresi ke dua Belanda ke Republik Indonesia. Panglima TNI Jenderal Soedirman kecewa karena, Presiden Soekarno tidak ikut bergerilya seperti yang ia pernah janjikan. Sebelumnya, pemerintah yang dipimpin PM Sutan Sjahrir lebih mengutamakan jalur diplomasi dibandingkan jalur militer untuk menghadapi Belanda yang berupaya merebut kembali Indonesia. Artinya sejak kemerdekaan, bibit ketidakpercayaan kepada poltisi sipil sudah ada, dengan puncaknya yakni keluarnya dekrit tahun 1959, yang didukung TNI AD, yang mana dekrit memutuskan parlemen hasi lpemilu 1955 dibekukan dan Presiden Soekarno memerintah dengan dukungan TNI AD dan PKI, PNI, NU yang tergabung dalam Dewan Nasional.
Dalam Buku Putih Pertahanan 2008, dinyatakan personil TNI tidak akan ditambah (zero), namun disisi lain Mabes AD bahkan ingin 20 menambah pasukan koter di tingkat kodim dan koramil. Pasal ini menjelaskan di masa depan institusi TNI harus berada di dalam Departemen Pertahanan. Sehingga pasal ini merupakan pasal 21 yang patut diperjelas melalui peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Bahkan narasumber penulis dari Dephan, menyatakan pasal ini sudah sangat jelas karena UU ini merupakan landasan hukum tertinggi, sehingga secara praktis perpres tidak diperlukan.
Wawancara dilakukan pada tanggal 16-17 April 2009, dengan 2 personel Dephan (1 PNS dan 1 pamen TNI). 22
“dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan”. Tapi pasal ini tidak memiliki kejelasan tentang pengertian “di bawah Dephan” dan bagaimana koordinasi tersebut dilakukan. Tanpa ada penjelasan yang memadai maupun kerangka aturan yang lebih detail mengenai ini, dapat dipastikan Mabes TNI secara faktual memang tidak bisa dikontrol secara day to day oleh otoritas Dephan. Di satu sisi aturan legal ini tidak tegas menyatakan hubungan antara Dephan dan TNI terutama dalam akuntabilitas administrasi dan operasional. Dalam UU No. 3/2002 dan UU No.34/2004 ada aturan umum yang mengatur hubungan TNI dengan Dephan yang makin diperkuat dengan penjelasan pasal 3 (2) UU No. 34/2004,21 yang mengintruksikan di masa depan TNI harus berada di dalam Dephan. Memang persoalannya lebih pada ketegasan dari pihak eksekutif untuk mengatur TNI lewat sejumlah peraturan menteri ataupun peraturan pemerintah.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah personel Dephan,22 mereka menyatakan jajaran Dephan sudah berusaha menempatkan diri sebagai otoritas politik yang berwenang mengontrol TNI baik dalam aspek kebijakan, administrasi dan pengadaan alutsista. Beberapa indikatornya yakni; pertama, adanya Permen/06/M/IX/2007 yang mengatur soal pengadaan alat komunikasi di lingkungan Dephan dan TNI yang isinya Dephan sebagai pemegang otoritas tinggi; Kedua, Kepmen No.1/2005 dan Permen No.7/2006 soal pengadaan barang dan jasa Dephan dan TNI dimana menyatakan proses pengadaan harus melalui satu pintu yang diketuai Sekjen Dephan; Ketiga, berkaitan dengan fungsi TNI, maka Dephan pada tahun 2007 menyatakan dimasa depan TNI tidak bisa memutuskan kebijakan lagi berkaitan dengan pengembangan organisasi. Sehingga dari indikasi ini sebenarnya perwujudan supremasi sipil dalam mengkontrol TNI dari sisi organisasi, anggaran dan pengadaan sudah mulai berjalan walaupun belum optimal. Yang pasti, saat ini Mabes TNI tidak bisa lagi berbicara soal pembahasan suatu RUU ataupun mewakili menteri untuk berbicara soal hukum di depan DPR RI. Sebagai perbandingan soal praktek-praktek terbaik dari hubungan otoritas sipil dan militer, maka penjelasan berikut tentang struktur organisasi pertahanan di Australia bisa menjadi suatu contoh;

0 comments: