Saat ini kedudukan Menteri Pertahanan dan Panglima
TNI adalah sejajar dan tentunya hal ini mengakibatkan komplikasi hubungan
antara dua lembaga tersebut. Komplikasi hubungan antara keduanya dijelaskan
dibawah ini yakni,19 Pertama, karena UU No. 3/2002 menyatakan Menteri
Pertahanan adalah pembantu presiden di bidang pertahanan dan juga UU ini
menyatakan Panglima TNI bertanggungjawab langsung kepada Presiden dalam
penggunaan dan pengerahan TNI. UU ini tentunya tidak begitu saja menyatakan
Panglima TNI di bawah Presiden, karena UU mengikuti aturan yang lebih tinggi
yakni TAP MPR VII/2000 yaitu pasal 3 ayat 2 tentang kedudukan TNI dibawah
Presiden. Sehingga pengaturan ini sejak awal membuat kedudukan keduanya menjadi
rancu. Kedua, Panglima TNI selalu diikutsertakan dalam rapat kabinet yang
membicarakan urusan politik dan pemerintahan, sehingga Panglima TNI masih
dipersepsikan sebagai jabatan pemegang kebijakan yang akhirnya memberi kesan
jabatan Menhan sekedar urusan administrasi. Artinya kerancuan-kerancuan ini,
membuat hubungan kedua lembaga ini terjadi tarik menarik terutama berkaitan
dengan penyiapan sumber daya pertahanan.20 Tetapi, dalam isu pelanggaran hak
asasi manusia di masa lalu, Dephan tampaknya cenderung defensif dalam membela
purnawirawan TNI yang diduga melanggar HAM. Sehingga banyak tuduhan pada
Dephan, yang masih menggunakan paradigma masa lalu dalam menyikapi isu HAM ini.
Dalam UU No.3/2002 dan UU No. 34/2004 secara tegas
menyatakan bahwa peran dan fungsi Dephan dalam penyusunan kebijakan strategis
dan Mabes TNI merupakan fungsi penggunaan kekuatan TNI dalam operasi militer.
Pada masa pemerintahan presiden sebelum SBY, dalamnya prakteknya banyak
kewenangan Dephan yang dilakukan pula oleh Mabes TNI. Contoh pertama; adalah
soal pembelian pesawat Sukhoi SU27 dan SU30 yang dilakukan tanpa melalui
Dephan, bahkan Dephan tidak dikutsertakan dalam tim teknis ke Rusia. Diketahui
bahwa, kontrak pembelian ditandatangani oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono
S. dan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo. Hal ini jelas melanggar UU No.3/2002
terutama pasal 16 ayat 6 soal pengadaan alutsista yang merupakan kewenangan
Dephan. Contoh kedua adalah pengembangan sejumlah batalyon Raiders di bawah
Kodam, juga tanpa kajian yang mendalam dan tanpa persetujuan Dephan sebagai
otoritas politik. Disini Dephan tidak dapat berbuat apapun, karena Mabes TNI
melakukan fait accompli terhadap Dephan. Contoh yang lain adalah kaitannya
dengan pelaksanaan operasi darurat militer di Aceh 2003-2004. Pelaksanaan
darurat militer di mana setelah operasi berakhir tidak ada akuntabilitas dari
pihak Mabes TNI pada pemerintah. Dan pemerintah saat itu lebih nyaman dengan
tidak menanyakan pertanggungjawabannya. Pemerintah di masa Presiden Megawati
berupaya menjaga hubungan yang harmonis dengan TNI.
Persoalan-persoalan tersebut bisa muncul selama
mabes TNI masih berdiri sendiri. Karena mengacu pada UU No.34/2004 terutama
pasal 4 (2) bahwa, Kerancuan ini timbul, karena sejak awal kemerdekaan, di mana
hubungan sipil militer mengalami pasang surut yang diwarnai 19 ketidakpercayaan
TNI pada pemerintahan sipil. Hal ini tercermin ketika, dwitunggal Soekarno –
Hatta tertangkap di Jogjakarta dalam agresi ke dua Belanda ke Republik
Indonesia. Panglima TNI Jenderal Soedirman kecewa karena, Presiden Soekarno
tidak ikut bergerilya seperti yang ia pernah janjikan. Sebelumnya, pemerintah
yang dipimpin PM Sutan Sjahrir lebih mengutamakan jalur diplomasi dibandingkan
jalur militer untuk menghadapi Belanda yang berupaya merebut kembali Indonesia.
Artinya sejak kemerdekaan, bibit ketidakpercayaan kepada poltisi sipil sudah
ada, dengan puncaknya yakni keluarnya dekrit tahun 1959, yang didukung TNI AD,
yang mana dekrit memutuskan parlemen hasi lpemilu 1955 dibekukan dan Presiden
Soekarno memerintah dengan dukungan TNI AD dan PKI, PNI, NU yang tergabung
dalam Dewan Nasional.
Dalam Buku Putih Pertahanan 2008, dinyatakan
personil TNI tidak akan ditambah (zero), namun disisi lain Mabes AD bahkan
ingin 20 menambah pasukan koter di tingkat kodim dan koramil. Pasal ini
menjelaskan di masa depan institusi TNI harus berada di dalam Departemen
Pertahanan. Sehingga pasal ini merupakan pasal 21 yang patut diperjelas melalui
peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Bahkan narasumber penulis dari
Dephan, menyatakan pasal ini sudah sangat jelas karena UU ini merupakan
landasan hukum tertinggi, sehingga secara praktis perpres tidak diperlukan.
Wawancara dilakukan pada tanggal 16-17 April 2009,
dengan 2 personel Dephan (1 PNS dan 1 pamen TNI). 22
“dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta
dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan”. Tapi
pasal ini tidak memiliki kejelasan tentang pengertian “di bawah Dephan” dan
bagaimana koordinasi tersebut dilakukan. Tanpa ada penjelasan yang memadai
maupun kerangka aturan yang lebih detail mengenai ini, dapat dipastikan Mabes
TNI secara faktual memang tidak bisa dikontrol secara day to day oleh otoritas
Dephan. Di satu sisi aturan legal ini tidak tegas menyatakan hubungan antara
Dephan dan TNI terutama dalam akuntabilitas administrasi dan operasional. Dalam
UU No. 3/2002 dan UU No.34/2004 ada aturan umum yang mengatur hubungan TNI
dengan Dephan yang makin diperkuat dengan penjelasan pasal 3 (2) UU No.
34/2004,21 yang mengintruksikan di masa depan TNI harus berada di dalam Dephan.
Memang persoalannya lebih pada ketegasan dari pihak eksekutif untuk mengatur
TNI lewat sejumlah peraturan menteri ataupun peraturan pemerintah.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah personel
Dephan,22 mereka menyatakan jajaran Dephan sudah berusaha menempatkan diri
sebagai otoritas politik yang berwenang mengontrol TNI baik dalam aspek
kebijakan, administrasi dan pengadaan alutsista. Beberapa indikatornya yakni;
pertama, adanya Permen/06/M/IX/2007 yang mengatur soal pengadaan alat
komunikasi di lingkungan Dephan dan TNI yang isinya Dephan sebagai pemegang
otoritas tinggi; Kedua, Kepmen No.1/2005 dan Permen No.7/2006 soal pengadaan
barang dan jasa Dephan dan TNI dimana menyatakan proses pengadaan harus melalui
satu pintu yang diketuai Sekjen Dephan; Ketiga, berkaitan dengan
fungsi TNI, maka Dephan pada tahun 2007 menyatakan dimasa depan TNI tidak bisa
memutuskan kebijakan lagi berkaitan dengan pengembangan organisasi. Sehingga
dari indikasi ini sebenarnya perwujudan supremasi sipil dalam mengkontrol TNI
dari sisi organisasi, anggaran dan pengadaan sudah mulai berjalan walaupun
belum optimal. Yang pasti, saat ini Mabes TNI tidak bisa lagi berbicara soal
pembahasan suatu RUU ataupun mewakili menteri untuk berbicara soal hukum di depan
DPR RI. Sebagai perbandingan soal praktek-praktek terbaik dari hubungan
otoritas sipil dan militer, maka penjelasan berikut tentang struktur organisasi
pertahanan di Australia bisa menjadi suatu contoh;
0 comments:
Post a Comment