Wednesday, August 03, 2016

Partisipasi Sosial: Keterlibatan Beneficiary dalam Proyek Pembangunan



Disamping tradisi partisipasi politik, terutama sejak tahun 1970-an, telah berkembang konsep partisipasi yang berorientasi pada perencanaan dan implementasi pembangunan. Dalam konteks pembangunan Stiefel dan wolfe mengartikan ‘partisipasi’ sebagai “…upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dalam fungsi pengawasan”.( Steifel M dan Wolf M, 1994) Dalam pengertian ini partisipasi ditempatkan di luar negara atau lembaga-lembaga formal pemerintahan.
Karena sifatnya yang berada di luar lembaga negara atau lembaga formal pemerintahan, konsep ini dapat kita sebut sebagai partisipasi sosial. Partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai ‘beneficiary’ pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan evaluasi program.

Partisipasi Warga: Pengambilan Keputusan Langsung dalam Kebijakan Publik

Diskusi yang lebih luas mengenai partisipasi telah menempatkan “partisipasi warga” baik sebagai konsep maupun praktek yang niscaya. Berbeda dengan partisipasi politik yang lebih menekankan ‘representasi’ dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi ‘diluar’ lembaga kepemerintahan, partisipasi warga menekankan pada ‘partisipasi langsung’ warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan Valderama, menegaskan bahwa partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalampembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”.(Gaventa op.cit).
Ada beberapa perkembangan konsep dan asumsi dasar yang menjadi dasar bagi meluasnya gagasan dan praktek partisipasi warga. Pertama, partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya. Kedua, partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik di lembaga-lembaga formal dapat untuk menutupi kegagalan demokrasi perwakilan. Ketiga, menjadikan partisipasi menjadi lebih bermakna. Keempat, partisipasi harus dilakukan secara sistemik bukan hal yang insidental. Kelima, semakin diterimanya desentralisasi sebagai instrumen untuk mendorong tata pemerintahan yang baik (good governance)Keenam, partisipasi warga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan lembaga pemerintahan, Ketujuh, dalam konteks Indonesia, kita perlu mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik secara langsung. Hal ini disebabkan selama 32 tahun masa Pemerintahan Rezim Orde baru, masyarakat Indonesia ada dalam tatanan sistem pemerintahan yang – meminjam istilah O’ Donnel, Mochtar Mas’ud, dan A.S. Hikam- birokratis dan korporatis (Muhammad A.S Hikam, 1996; Mohtar Mas’ud, 1998; K.D. Jackson, 1978.). Dalam tatanan ini seluruh kekuatan masyarakat ada dalam kontrol negara. Melalui kontrol yang sistemis terhadap kekuatan masyarakat sampai ke arus bawah, negara tampil sebagai kekuatan politik yang dominan. Negara memainkan peran kunci dan selalu mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya untuk mengatur hubungan sosial, menekan masyarakat, dan memiliki hak prerogatif untuk mengelola sumber daya. Negara dalam sistem birokratik otoriter dan korporatis menginvasi organisasi sosial formal maupun non-formal, sehingga masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem, birokrasi negara menjadi pemangsa kekuatan sosial di masyarakat. Kekuatan, kemandirian, dan kemajemukan masyarakatpun lumpuh. Untuk mengimbangi kekuatan birokrasi negara kita memerlukan organisasi rakyat yang mandiri, cerdas, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam konteks ini, partisipasi warga dapat dipandang sebagai salah satu instrumen ‘pemberdayaan’ warga untuk mengimbangi dominasi kekuatan negara. Yang perlu digarisbawahi dari ketiga tradisi partisipasi yang dikemukakan di atas adalah bahwa ketiga konsep partisipasi –partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi wargabukanlah konsep yang saling bertentangan dan bersifat ‘trade of’. Ketiga konsep partisipasi merupakan konsep yang saling berkitan dan niscaya untuk berkembang. Ketiga konsep partisipasi juga perlu didukung oleh strategi dan metode yang berbeda.
Bila dilihat lebih jauh partisipasi politik masyarakat dalam rencana pembangunan harus sudah dimulai sejak saat perencanaan kemudian pelaksanaan dan seterusnya pemeliharaan. Surbakti (1992:16), Kegiatan masyarakat yang disebut partisipasi politik adalah perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, perilaku politik masyarakat (individu/kelompok) yang berhak mempengaruhi lembaga dan pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan politik, karena menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam perspektif politik, Huntington (1993:270), partisipasi politik masyarakat merupakan ciri khas modernisasi politik dalam pembangunan, kemajuan demokrasi dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat. (Tjokroamidjojo, 1991:113), pertama, partisipasi politik aktif masyarakat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan; kedua, keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan.
Alexander Abe (2001:110), Partisipasi politik masyarakat merupakan hal terpenting dalam pembangunan nagari, yaitu akan menjadi wahana political education yang sangat baik. Sedangkan menurut Conyers(1994:154), Pertama, partisipasi politik masyarakat sebagai alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat yang tanpa kehadirannya program pembangunan nagari serta proyek akan gagal; kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan dinagari, jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan pengambilan keputusan terhadap prioritas pembangunan yang sesuai kebutuhan masyarakat, karena akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek; dan ketiga, yang mendorong partisipasi umum dibanyak negara karena timbul anggapan bahwa hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat.” Katz (165:100), partisipasi politik masyarakat diwujudkan melalui partisipasi politik dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi.
Partisipasi politik dapat dianggap sebagai tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan nagari. Jika masyarakat nagari, tidak berkesempatan untuk berpartisipasi politik dalam pembangunan suatu proyek dinagarinya. Proyek tersebut pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan nagari (Ndraha, 1990:103). Partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan nagari bertujuan untuk menjamin agar pemerintah selalu tanggap terhadap masyarakat atau perilaku demokratisnya. Dan itu juga berarti bahwa metode yang digunakan dalam pembangunan nagari harus sesuai dengan kondisi fisiologis sosial dan ekonomi serta lingkungan kebudayaan dinagari. (Bharracharyya,J, 1972:20)
Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy. Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat.


0 comments: