Disamping tradisi partisipasi politik,
terutama sejak tahun 1970-an, telah berkembang konsep partisipasi yang
berorientasi pada perencanaan dan implementasi pembangunan. Dalam konteks
pembangunan Stiefel dan wolfe mengartikan ‘partisipasi’ sebagai “…upaya terorganisasi
untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam
keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang
dikesampingkan dalam fungsi pengawasan”.( Steifel M dan Wolf M, 1994) Dalam
pengertian ini partisipasi ditempatkan di luar negara atau lembaga-lembaga
formal pemerintahan.
Karena sifatnya yang berada di luar
lembaga negara atau lembaga formal pemerintahan, konsep ini dapat kita sebut
sebagai partisipasi sosial. Partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan
masyarakat terutama yang dipandang sebagai ‘beneficiary’ pembangunan
dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek
pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencaan, pelaksanaan, sampai pemantauan
dan evaluasi program.
Partisipasi Warga: Pengambilan Keputusan Langsung
dalam Kebijakan Publik
Diskusi yang lebih luas mengenai
partisipasi telah menempatkan “partisipasi warga” baik sebagai konsep maupun
praktek yang niscaya. Berbeda dengan partisipasi politik yang lebih menekankan
‘representasi’ dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi ‘diluar’
lembaga kepemerintahan, partisipasi warga menekankan pada ‘partisipasi
langsung’ warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses
kepemerintahan. Gaventa dan Valderama, menegaskan bahwa partisipasi warga telah
mengalihkan konsep partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima
derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan pelbagai bentuk
keikutsertaan warga dalampembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di
berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”.(Gaventa op.cit).
Ada beberapa perkembangan konsep dan
asumsi dasar yang menjadi dasar bagi meluasnya gagasan dan praktek partisipasi
warga. Pertama, partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada
warga sebagaimana hak politik lainnya. Kedua, partisipasi
langsung dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik di
lembaga-lembaga formal dapat untuk menutupi kegagalan demokrasi perwakilan. Ketiga,
menjadikan partisipasi menjadi lebih bermakna. Keempat, partisipasi
harus dilakukan secara sistemik bukan hal yang insidental. Kelima,
semakin diterimanya desentralisasi sebagai instrumen untuk mendorong tata
pemerintahan yang baik (good governance). Keenam, partisipasi
warga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan lembaga
pemerintahan, Ketujuh, dalam konteks Indonesia, kita perlu
mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kebijakan publik secara langsung. Hal ini disebabkan selama 32 tahun masa
Pemerintahan Rezim Orde baru, masyarakat Indonesia ada dalam tatanan sistem
pemerintahan yang – meminjam istilah O’ Donnel, Mochtar Mas’ud, dan A.S. Hikam-
birokratis dan korporatis (Muhammad A.S Hikam, 1996; Mohtar Mas’ud, 1998; K.D.
Jackson, 1978.). Dalam tatanan ini seluruh kekuatan masyarakat ada dalam
kontrol negara. Melalui kontrol yang sistemis terhadap kekuatan masyarakat
sampai ke arus bawah, negara tampil sebagai kekuatan politik yang dominan.
Negara memainkan peran kunci dan selalu mengoptimalkan kemampuan yang
dimilikinya untuk mengatur hubungan sosial, menekan masyarakat, dan memiliki
hak prerogatif untuk mengelola sumber daya. Negara dalam sistem birokratik
otoriter dan korporatis menginvasi organisasi sosial formal maupun non-formal,
sehingga masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi. Dalam ungkapan
yang lebih ekstrem, birokrasi negara menjadi pemangsa kekuatan sosial di
masyarakat. Kekuatan, kemandirian, dan kemajemukan masyarakatpun lumpuh. Untuk
mengimbangi kekuatan birokrasi negara kita memerlukan organisasi rakyat yang
mandiri, cerdas, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam konteks ini,
partisipasi warga dapat dipandang sebagai salah satu instrumen ‘pemberdayaan’
warga untuk mengimbangi dominasi kekuatan negara. Yang perlu digarisbawahi dari
ketiga tradisi partisipasi yang dikemukakan di atas adalah bahwa ketiga konsep
partisipasi –partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi
wargabukanlah konsep yang saling bertentangan dan bersifat ‘trade of’.
Ketiga konsep partisipasi merupakan konsep yang saling berkitan dan niscaya
untuk berkembang. Ketiga konsep partisipasi juga perlu didukung oleh strategi
dan metode yang berbeda.
Bila dilihat lebih jauh partisipasi
politik masyarakat dalam rencana pembangunan harus sudah dimulai sejak saat
perencanaan kemudian pelaksanaan dan seterusnya pemeliharaan. Surbakti
(1992:16), Kegiatan masyarakat yang disebut partisipasi politik adalah perilaku
politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab membuat,
melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, perilaku politik masyarakat
(individu/kelompok) yang berhak mempengaruhi lembaga dan pejabat pemerintah
dalam pengambilan keputusan politik, karena menyangkut kehidupan masyarakat.
Dalam perspektif politik, Huntington (1993:270), partisipasi politik masyarakat
merupakan ciri khas modernisasi politik dalam pembangunan, kemajuan demokrasi
dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat.
(Tjokroamidjojo, 1991:113), pertama, partisipasi politik aktif masyarakat
berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan;
kedua, keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara
berkeadilan.
Alexander Abe (2001:110), Partisipasi
politik masyarakat merupakan hal terpenting dalam pembangunan nagari, yaitu
akan menjadi wahana political education yang sangat baik.
Sedangkan menurut Conyers(1994:154), “Pertama,
partisipasi politik masyarakat sebagai alat guna memperoleh suatu informasi
mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat yang tanpa kehadirannya
program pembangunan nagari serta proyek akan gagal; kedua, masyarakat
akan lebih mempercayai program pembangunan dinagari, jika merasa dilibatkan
dalam proses persiapan dan perencanaannya dan pengambilan keputusan terhadap
prioritas pembangunan yang sesuai kebutuhan masyarakat, karena akan lebih
mengetahui seluk-beluk proyek dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek; dan
ketiga, yang mendorong partisipasi umum dibanyak negara karena timbul
anggapan bahwa hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan
masyarakat.” Katz (165:100), partisipasi politik masyarakat
diwujudkan melalui partisipasi politik dalam proses pembuatan keputusan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi.
Partisipasi politik dapat dianggap sebagai
tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek
pembangunan nagari. Jika masyarakat nagari, tidak berkesempatan untuk
berpartisipasi politik dalam pembangunan suatu proyek dinagarinya. Proyek tersebut
pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan nagari (Ndraha, 1990:103). Partisipasi
politik masyarakat dalam pembangunan nagari bertujuan untuk menjamin agar
pemerintah selalu tanggap terhadap masyarakat atau perilaku demokratisnya. Dan
itu juga berarti bahwa metode yang digunakan dalam pembangunan nagari harus
sesuai dengan kondisi fisiologis sosial dan ekonomi serta lingkungan kebudayaan
dinagari. (Bharracharyya,J, 1972:20)
Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat
dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap
proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan
penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh
warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy.
Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam
keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat.
0 comments:
Post a Comment