Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang menganut sistem demokrasi dimana
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, pemilihan umum menjadi suatu kebutuhan
yang perlu diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Melalui pemilihan umum,
rakyat berdaulat berdasarkan pancasila untuk memilih wakil-wakilnya dan diharapkan
dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam suatu pemerintahan.
Namun berdasarkan fenomena yang terjadi, tidak sedikit rakyat yang pada
akhirnya tidak ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, alias golput.
Golongan
muda yang merupakan bagian dari masyarakat ini pun menurut fenomena mengambil
presentase terbanyak dalam jumlah golput, dimana di dalamnya terdapat mahasiswa
yang merupakan bagian dari golongan muda. Mahasiswa yang sedianya merupakan
bagian dari masyarakat ini memiliki kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki
masyarakat pada umumnya. Kekhasan tersebut adalah tingkat intelektualitasnya
yang relatif lebih tinggi karena telah memperoleh pendidikan tinggi sehingga
memiliki wawasan yang lebih luas daripada generasi muda pada umumnya (Sanit,
1986, dalam Hartanti 2003). Namun dengan latar belakang yang demikian, fenomena
golput di mahasiswa tetap terjadi. Bahkan presentase yang ada terus meningkat
dan kecenderungan ini juga diperkirakan akan terjadi pada pemilu 2014 .
Untuk
mengetahui gambaran mengenai kecenderungan terjadinya golput pada mahasiswa,
peneliti tertarik untuk melihat gambaran tersebut dengan menggunakan teori
intensi dari Ajzen (1988) dalam Theory of Planned Behavior. Hal tersebut didasari
dari pernyataan Fisbein & Ajzen (1988) bahwa prediksi yang paling mendekati
tingkah laku adalah dengan melihat terbentuknya intensi.
Menurut
Ajzen (1988) dalam Theory of Planned Behavior menjelaskan intensi sebagai
kecenderungan subjektif individu untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Dalam
teori tersebut, intensi memiliki tiga determinan yang merupakan prediktor dari
intensi itu sendiri, dimana salah satu dari determinan tersebut bersifat personal,
sedangkan determinan yang lain bersifat sosial dan kontrol.
Determinan
pertama adalah sikap individu terhadap suatu tingkah laku (attitude toward
behavior), yaitu evaluasi positif atau negatif terhadap konsekuensi dari
tampilnya suatu perilaku tertentu. Determinan kedua adalah subjective norm, yaitu
keyakinan individu mengenai penerimaan atau penolakan orang-orang tertentu yang
dinilai signifikan pada diri individu terhadap perilaku yang ditampilkan dari individu
itu sendiri. Determinan ketiga adalah persepsi individu tentang adanya kontrol
terhadap suatu tingkah laku, yaitu persepsi individu tentang mudah atau sulitnya
menampilkan perilaku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman
masa lalu dan hambatan yang diantisipasi (perceived behavioral control). Ketiga
determinan tersebut selanjutnya akan berinteraksi dan berkontribusi menentukan
atensi individu dalam menampilkan perilakunya.
Determinan
pertama merupakan attitude toward behavior yang dalam hal ini merupakan sikap
terhadap perilaku golput dalam pemilu. Attitude atau sikap sendiri diartikan
sebagai suatu derajat senang-tidak senang atau suka-tidak suka terhadap evaluasi
atau penilaian suatu perilaku (Ajzen, 2005). Sikap terhadap perilaku ini berisi
kepercayaan individu bahwa perilaku yang ditampilkan tersebut akan menghasilkan
suatu konsekuensi baik menguntungkan atau merugikan maupun perasaan positif
atau negatif. Sikap terhadap perilaku tidak memilih atau golput ini dipengaruhi
oleh kepercayaan pada perilaku (behavioral belief) dan evaluasi terhadap kepercayaan
atas perilaku tersebut.
Pada
mahasiswa, sikap terhadap tingkah laku untuk tidak memilih (golput) terbentuk
dari keyakinan mengenai konsekuensi dari perilaku tersebut dan evaluasi terhadap
keyakinan tersebut. Keyakinan ini tentunya dipengaruhi oleh informasi dan pengetahuan
yang didapat oleh individu, seperti informasi tentang prosedur pemilu, calon-calon
yang akan dipilih.
Keyakinan
tersebut dapat menjadi suatu keuntungan ataupun kerugian yang diperolehnya dari
perilaku golput pada pemilu. Semakin besar keyakinan akan hasil yang
menguntungkan dari perilaku golput maka akan cenderung semakin positif sikap
terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya bila mahasiswa berkeyakinan bahwa ketika
mereka melakukan tingkah laku tersebut akan berdampak pada kerugian yang dirasakan
oleh mereka, maka akan menimbulkan sikap yang cenderung negatif untuk berperilaku
golput. Hal tersebutlah yang akan mempengaruhi intensi subyek menjadi positif
atau negatif dalam hal berperilaku golput dalam pemilu 2014 .
Determinan
kedua adalah subjective norm (norma subyektif) yang diartikan sebagai tekanan
sosial yang dipersepsikan untuk menampilkan atau tidak menampilkan suatu
perilaku. Hal ini terjadi karena orang lain yang berpengaruh pada diri individu
(significant person) mengharapkan individu tersebut melakukan atau tidak
melakukan perilaku tertentu serta pikiran significant person terhadap individu apakah
suatu perilaku boleh atau tidak boleh untuk dilakukan (Ajzen, 2005). Subjective
norm ini dipengaruhi oleh normative beliefs (kepercayaan normatif) yang dimana
kepercayaan tersebut mempertimbangkan kemungkinan persetujuan atau ketidaksetujuan
dari significant person. Norma subjektif ini juga dapat dikatakan sebagai
tekanan sosial (social pressure) untuk menampilkan atau tidak menampilkan suatu
perilaku. Selanjutnya, individu tersebut akan dihadapkan dengan motivation to comply,
yaitu sejauh mana kesediaan individu untuk memenuhi keyakinannya akan harapan
dari significant person tersebut. Hal ini terkait dengan nilai moral, kedekatan
emosi, kedudukan orang lain, dan sebagainya.
Di
dalam diri mahasiswa, yang umumnya berada pada masa peralihan remaja akhir dan
dewasa awal, significant person yang ada dalam diri mahasiswa tersebut lebih
cenderung pada peer group atau teman sebaya dan memiliki kebutuhan besar untuk
dapat diterima dalam kelompoknya (Santrock, 2007). Namun, pada mahasiswa dalam
tingkah laku ini diasumsikan bahwa significant person tidak hanya teman sebaya,
melainkan juga orang-orang disekitarnya yang dianggap lebih senior dan memiliki
pengalaman lebih banyak berpartisipasi dalam pemilu, seperti orang tua, dosen,
maupun seniornya. Significant person inilah yang akhirnya diyakinimengharapkan
atau bahkan mengizinkan mahasiswa menampilkan perilaku tertentu, yang dalam hal
ini adalah berperilaku golput dalam pemilihan umum. Atas dasar keyakinan bahwa
significant person mengharapkan mahasiswa melakukan hal tersebut, ia akan
termotivasi untuk memenuhi harapan dari significant person itu. Sebaliknya,
pada mahasiswa yang tidak melakukan hal tersebut meyakini bahwa significant
person pada dirinya tidak mengharapkan ia melakukan golput, maka mahasiswa
tersebut akan memiliki motivasi untuk memenuhi harapan dari significant person
itu, yaitu tidak melakukan golput saat pemilu 2014
Determinan
ketiga dalam pembentukan intensi adalah persepsi terhadap kontrol perilaku (perceived
behavioral control), yaitu faktor yang menggambarkan persepsi individu mengenai
mudah atau sulitnya menampilkan perilaku tertentu yang diasumsikan sebagai
refleksi dari pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi. Kontrol
perilaku ini dipengaruhi oleh control belief dan kemampuan yang dihayati
individu untuk mengatasi faktor-faktor pendukung dan penghambat (perceived
power). Control belief sendiri memiliki pengertian sebagai keyakinan individu
tentang keterampilan, kemampuan, atau potensi dirinya yang akan menjadi sumber
kesulitan atau kemudahan dalam menampilkan suatu perilaku tertentu (Ajzen, 2005).
0 comments:
Post a Comment