Monday, August 15, 2016

Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menganut sistem demokrasi dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, pemilihan umum menjadi suatu kebutuhan yang perlu diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Melalui pemilihan umum, rakyat berdaulat berdasarkan pancasila untuk memilih wakil-wakilnya dan diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam suatu pemerintahan. Namun berdasarkan fenomena yang terjadi, tidak sedikit rakyat yang pada akhirnya tidak ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, alias golput.
Golongan muda yang merupakan bagian dari masyarakat ini pun menurut fenomena mengambil presentase terbanyak dalam jumlah golput, dimana di dalamnya terdapat mahasiswa yang merupakan bagian dari golongan muda. Mahasiswa yang sedianya merupakan bagian dari masyarakat ini memiliki kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki masyarakat pada umumnya. Kekhasan tersebut adalah tingkat intelektualitasnya yang relatif lebih tinggi karena telah memperoleh pendidikan tinggi sehingga memiliki wawasan yang lebih luas daripada generasi muda pada umumnya (Sanit, 1986, dalam Hartanti 2003). Namun dengan latar belakang yang demikian, fenomena golput di mahasiswa tetap terjadi. Bahkan presentase yang ada terus meningkat dan kecenderungan ini juga diperkirakan akan terjadi pada pemilu 2014 .
Untuk mengetahui gambaran mengenai kecenderungan terjadinya golput pada mahasiswa, peneliti tertarik untuk melihat gambaran tersebut dengan menggunakan teori intensi dari Ajzen (1988) dalam Theory of Planned Behavior. Hal tersebut didasari dari pernyataan Fisbein & Ajzen (1988) bahwa prediksi yang paling mendekati tingkah laku adalah dengan melihat terbentuknya intensi.
Menurut Ajzen (1988) dalam Theory of Planned Behavior menjelaskan intensi sebagai kecenderungan subjektif individu untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Dalam teori tersebut, intensi memiliki tiga determinan yang merupakan prediktor dari intensi itu sendiri, dimana salah satu dari determinan tersebut bersifat personal, sedangkan determinan yang lain bersifat sosial dan kontrol.
Determinan pertama adalah sikap individu terhadap suatu tingkah laku (attitude toward behavior), yaitu evaluasi positif atau negatif terhadap konsekuensi dari tampilnya suatu perilaku tertentu. Determinan kedua adalah subjective norm, yaitu keyakinan individu mengenai penerimaan atau penolakan orang-orang tertentu yang dinilai signifikan pada diri individu terhadap perilaku yang ditampilkan dari individu itu sendiri. Determinan ketiga adalah persepsi individu tentang adanya kontrol terhadap suatu tingkah laku, yaitu persepsi individu tentang mudah atau sulitnya menampilkan perilaku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi (perceived behavioral control). Ketiga determinan tersebut selanjutnya akan berinteraksi dan berkontribusi menentukan atensi individu dalam menampilkan perilakunya.
Determinan pertama merupakan attitude toward behavior yang dalam hal ini merupakan sikap terhadap perilaku golput dalam pemilu. Attitude atau sikap sendiri diartikan sebagai suatu derajat senang-tidak senang atau suka-tidak suka terhadap evaluasi atau penilaian suatu perilaku (Ajzen, 2005). Sikap terhadap perilaku ini berisi kepercayaan individu bahwa perilaku yang ditampilkan tersebut akan menghasilkan suatu konsekuensi baik menguntungkan atau merugikan maupun perasaan positif atau negatif. Sikap terhadap perilaku tidak memilih atau golput ini dipengaruhi oleh kepercayaan pada perilaku (behavioral belief) dan evaluasi terhadap kepercayaan atas perilaku tersebut.
Pada mahasiswa, sikap terhadap tingkah laku untuk tidak memilih (golput) terbentuk dari keyakinan mengenai konsekuensi dari perilaku tersebut dan evaluasi terhadap keyakinan tersebut. Keyakinan ini tentunya dipengaruhi oleh informasi dan pengetahuan yang didapat oleh individu, seperti informasi tentang prosedur pemilu, calon-calon yang akan dipilih.
Keyakinan tersebut dapat menjadi suatu keuntungan ataupun kerugian yang diperolehnya dari perilaku golput pada pemilu. Semakin besar keyakinan akan hasil yang menguntungkan dari perilaku golput maka akan cenderung semakin positif sikap terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya bila mahasiswa berkeyakinan bahwa ketika mereka melakukan tingkah laku tersebut akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh mereka, maka akan menimbulkan sikap yang cenderung negatif untuk berperilaku golput. Hal tersebutlah yang akan mempengaruhi intensi subyek menjadi positif atau negatif dalam hal berperilaku golput dalam pemilu 2014 .
Determinan kedua adalah subjective norm (norma subyektif) yang diartikan sebagai tekanan sosial yang dipersepsikan untuk menampilkan atau tidak menampilkan suatu perilaku. Hal ini terjadi karena orang lain yang berpengaruh pada diri individu (significant person) mengharapkan individu tersebut melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu serta pikiran significant person terhadap individu apakah suatu perilaku boleh atau tidak boleh untuk dilakukan (Ajzen, 2005). Subjective norm ini dipengaruhi oleh normative beliefs (kepercayaan normatif) yang dimana kepercayaan tersebut mempertimbangkan kemungkinan persetujuan atau ketidaksetujuan dari significant person. Norma subjektif ini juga dapat dikatakan sebagai tekanan sosial (social pressure) untuk menampilkan atau tidak menampilkan suatu perilaku. Selanjutnya, individu tersebut akan dihadapkan dengan motivation to comply, yaitu sejauh mana kesediaan individu untuk memenuhi keyakinannya akan harapan dari significant person tersebut. Hal ini terkait dengan nilai moral, kedekatan emosi, kedudukan orang lain, dan sebagainya.
Di dalam diri mahasiswa, yang umumnya berada pada masa peralihan remaja akhir dan dewasa awal, significant person yang ada dalam diri mahasiswa tersebut lebih cenderung pada peer group atau teman sebaya dan memiliki kebutuhan besar untuk dapat diterima dalam kelompoknya (Santrock, 2007). Namun, pada mahasiswa dalam tingkah laku ini diasumsikan bahwa significant person tidak hanya teman sebaya, melainkan juga orang-orang disekitarnya yang dianggap lebih senior dan memiliki pengalaman lebih banyak berpartisipasi dalam pemilu, seperti orang tua, dosen, maupun seniornya. Significant person inilah yang akhirnya diyakinimengharapkan atau bahkan mengizinkan mahasiswa menampilkan perilaku tertentu, yang dalam hal ini adalah berperilaku golput dalam pemilihan umum. Atas dasar keyakinan bahwa significant person mengharapkan mahasiswa melakukan hal tersebut, ia akan termotivasi untuk memenuhi harapan dari significant person itu. Sebaliknya, pada mahasiswa yang tidak melakukan hal tersebut meyakini bahwa significant person pada dirinya tidak mengharapkan ia melakukan golput, maka mahasiswa tersebut akan memiliki motivasi untuk memenuhi harapan dari significant person itu, yaitu tidak melakukan golput saat pemilu 2014

Determinan ketiga dalam pembentukan intensi adalah persepsi terhadap kontrol perilaku (perceived behavioral control), yaitu faktor yang menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya menampilkan perilaku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi. Kontrol perilaku ini dipengaruhi oleh control belief dan kemampuan yang dihayati individu untuk mengatasi faktor-faktor pendukung dan penghambat (perceived power). Control belief sendiri memiliki pengertian sebagai keyakinan individu tentang keterampilan, kemampuan, atau potensi dirinya yang akan menjadi sumber kesulitan atau kemudahan dalam menampilkan suatu perilaku tertentu (Ajzen, 2005).


0 comments: