Sunday, August 07, 2016

Negosiasi pada era ‘post-conflict’ Di Aceh


Kesepakatan Damai atau Nota Kesepahaman Perdamaian atau dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak yang bertikai bukan berati segalanya selesai. Benar bahwa MoU dijadikan momentum berakhirnya konflik, namun MoU hanya sebagai pintu gerbang menuju perdamaian yang ‘sebenarnya’. Masih ada tugas yang sangat berat pada masa pasca MoU (postconflict peacebuilding).

Bisa jadi benar apa yang diungkapkan oleh seorang ahli strategi militer dari zaman Presia, Carl Philip Gottfried von Clausewitz bahwa To secure peace is to prepare for war. Perang dan damai merupakan pasangan abadi dari sebuah keping mata uang. Keberadaan yang satu menyiratkan keberadaan yang lain di sisi  sebaliknya. Sebuah perdamaian meski dianggap bagai jembatan emas menuju kebahagiaan, mesti diwaspadai akan kerapuhannya yang dapat berbalik menjadi pertikaian yang berdarah-darah.

Dengan mengutip sejumlah sumber, Rizal Sukma melansir sebuah kenyataan yang kerap mengganggu bagi mereka yang terlibat dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan post-conflict peacebuilding. Menurut Rizal, fakta menyebutkan bahwa sekitar 50 persen konflik yang telah diselesaikan secara politik, terulang kembali dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sementara itu, berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 30 persen konflik kembali terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Doyle dan Sambanis bahkan menemukan bahwa untuk periode 1945-1999, sekitar 30 persen konflik kembali terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun. Data demikian menunjukkan bahwa berakhirnya sebuah konflik tidak secara otomatis melahirkan sebuah perdamaian.

Dalam kajian lain, bahaya yang lebih besar mengancam jika perjanjian yang telah dicapai tidak dapat dipertahankan, daripada jika ia tidak pernah dicapai sama sekali. Konsekuensi kegagalan mungkin menyebabkan hilangnya kepercayaan dan saling menyalahkan antar pihak-pihak yang ada. Kondisi seperti ini akan mengacaubalaukan seluruh proses (implementasi).

Ancaman kembalinya konflik kekerasan merupakan hantu yang amat menakutkan. Dalam berbagai kajian disebutkan bahwa kembalinya konflik kekerasan (conflict reemergence, conflict relapse) membawa konsekuensi yang  kerap kali tak tertanggungkan. Selain konsekuensi fisik, misalnya jatuhnya korban yang tidak perlu, kembalinya konflik dipastikan memperkeruh suasana, menghapus kesalingpercayaan, dan kian mengguratkan luka yang semakin dalam. Akumulasi dari sejunlah persoalan itu menyebabkan konflik seringkali memasuki ruang baru yang lebih menjauhkan tujuan-tujuan perdamaian jangka panjang.

Ted Robert Gurr menegaskan bahwa kesepakatan damai biasanya mampu meredam konflik bersenjata, namun pertikaian dapat terus berlangsung selama waktu implementasi kesepakatan atau sampai beberapa tahun setelah itu. Konflik bersenjata dapat terus berlangsung dan berkepanjangan bahkan setelah kesepakatan damai ditandatangani.



Dalam penelitian itu Gurr berkesimpulan konflik bersenjata bisa berlangsung dan kembali terjadi pada 13 dari 30 negara yang mengalami konflik dimana para tokoh/pihak yang bertikai menganggap mereka telah mencapai kesepahaman. Resiko adanya pemberontakan baru akan semakin serius bilamana kesepakatan/perjanjian damai yang baru dicapai tidak secara penuh diimplementasi.

Dalam studinya, Dan Smith mengidentifikasikan empat penyebab utama pengulangan konflik. Pertama, konflik terulang kembali karena tidaknya adanya kesungguhan dari pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik. Kedua, karena adanya kekecewaan dari salah satu atau lebih pihak yang bertikai ketika apa yang diharapkannya dari perdamaian tidak tercapai. Misalnya, ada pihak yang bersedia menandatangani penghentian konflik bersenjata karena yakin akan menang dalam pemilu. Namun, ketika harapan itu tidak terwujud, maka pihak tersebut akan kembali memulai konflik bersenjata. Alasan ketiga adalah perpecahan internal dalam salah satu kelompok yang bertikai, yang kemudian melahirkan kelompok sempalan, yang terus melanjutkan konflik bersenjata.

Alasan keempat adalah tidak tertanganinya penyebab utama konflik yang bersifat struktural, seperti ketidakadilan dan kemiskinan.

Ukuran keberhasilan masa post-conflict masih menjadi perdebatan diantara para pengamat. Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar 2-3 tahun kerapkali dianggap tidak cukup untuk membuahkan perubahan sosial politik yang kondusif untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Roland Paris menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”, atau antara 8-10 tahun.

Dalam analisis Kusnanto Anggoro, tak ada rentang waktu pasti tentang hal ini, kecuali untuk sekedar ancangan dalam menyusun program-program kerja. Kurun waktu 3-7 tahun adalah periode yang ditetapkan sebagai masa yang cukup memadai untuk menyelanggarakan post-conflict peacebuilding karena sejumlah alasan. Pertama, pengalaman dari proses resolusi konflik kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling rawan terhadap kemungkinan terjadinya kembali konflik kekerasan (conflict relapse). Kedua, dari segi dinamika politik, tahun ke-3 dan tahun ke-7 merupakan median dari dua siklus pemerintahan yang berurutan; sehingga memburuknya suasana, kalau terjadi, seharusnya dapat diantisipasi dengan berbagai kebijakan politik. Pilihan apakah rejim postconflict peacebuilding akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan politik harus ditetapkan melalui proses itu.

Sejumlah analisa yang dikemukakan diatas sangat relevan dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini. Baik tentang rentannya konflik berulang pasca-MoU terjadinya konflik di internal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun prediksi waktu munculnya konflik, yakni satu kali putaran pemilu, atau sekitar 6 (enam) tahun. Perang ‘statement’ antara dua kubu yang pro dan kontra calon perseorangan, antara daerah (Aceh) dan pusat, munculnya gerakan adu kekuatan berupa penggalangan massa, ancaman menginternasionalisasi konflik denga mengadukan ke Uni Eropa, bahkan munculnya korban jiwa menjadi indikator jelas bahwa konflik (baru) terjadi kembali.

Contoh ‘perang statement’ tersebut adalah mantan GAM mengatakan bahwa untuk kesekian kalinya pemerintah pusat melakukan kebohongan (seperti halnya pada konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di Aceh- pra Gerakan Aceh Merdeka 1976) dan tidak berkomitmen terhadap kesepakatan damai MoU Helsinki. Disisi lain, pemerintah pusat menganggap DPRA (yang didominasi oleh mantan GAM) tidak menghormati konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mencermati siklus konfik yang rentan terjadi di wilayah bekas konflik, maka dibutuhkan proses negosiasi jika diantara pihak-pihak yang terlibat dalam mengisi perdamaian masih terjadi perbedaan yang berujung pada munculnya konflik baru. Pendekatan negosiasi secara tertutup dan rahasia menjadi salah satu solusinya.



0 comments: