Kesepakatan
Damai atau Nota Kesepahaman Perdamaian atau dikenal dengan Memorandum of Understanding
(MoU) antara pihak yang bertikai bukan berati segalanya selesai. Benar bahwa
MoU dijadikan momentum berakhirnya konflik, namun MoU hanya sebagai pintu
gerbang menuju perdamaian yang ‘sebenarnya’. Masih ada tugas yang sangat berat
pada masa pasca MoU (postconflict peacebuilding).
Bisa
jadi benar apa yang diungkapkan oleh seorang ahli strategi militer dari zaman
Presia, Carl Philip Gottfried von Clausewitz bahwa To secure peace is to
prepare for war. Perang dan damai merupakan pasangan abadi dari sebuah keping
mata uang. Keberadaan yang satu menyiratkan keberadaan yang lain di sisi sebaliknya. Sebuah perdamaian meski dianggap
bagai jembatan emas menuju kebahagiaan, mesti diwaspadai akan kerapuhannya yang
dapat berbalik menjadi pertikaian yang berdarah-darah.
Dengan
mengutip sejumlah sumber, Rizal Sukma melansir sebuah kenyataan yang kerap
mengganggu bagi mereka yang terlibat dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan
post-conflict peacebuilding. Menurut Rizal, fakta menyebutkan bahwa sekitar 50
persen konflik yang telah diselesaikan secara politik, terulang kembali dalam
kurun waktu sepuluh tahun. Sementara itu, berbagai hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa sekitar 30 persen konflik kembali terjadi dalam kurun waktu
lima tahun. Doyle dan Sambanis bahkan menemukan bahwa untuk periode 1945-1999,
sekitar 30 persen konflik kembali terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun.
Data demikian menunjukkan bahwa berakhirnya sebuah konflik tidak secara
otomatis melahirkan sebuah perdamaian.
Dalam
kajian lain, bahaya yang lebih besar mengancam jika perjanjian yang telah
dicapai tidak dapat dipertahankan, daripada jika ia tidak pernah dicapai sama
sekali. Konsekuensi kegagalan mungkin menyebabkan hilangnya kepercayaan dan
saling menyalahkan antar pihak-pihak yang ada. Kondisi seperti ini akan
mengacaubalaukan seluruh proses (implementasi).
Ancaman
kembalinya konflik kekerasan merupakan hantu yang amat menakutkan. Dalam
berbagai kajian disebutkan bahwa kembalinya konflik kekerasan (conflict
reemergence, conflict relapse) membawa konsekuensi yang kerap kali tak tertanggungkan. Selain
konsekuensi fisik, misalnya jatuhnya korban yang tidak perlu, kembalinya
konflik dipastikan memperkeruh suasana, menghapus kesalingpercayaan, dan kian
mengguratkan luka yang semakin dalam. Akumulasi dari sejunlah persoalan itu
menyebabkan konflik seringkali memasuki ruang baru yang lebih menjauhkan
tujuan-tujuan perdamaian jangka panjang.
Ted
Robert Gurr menegaskan bahwa kesepakatan damai biasanya mampu meredam konflik
bersenjata, namun pertikaian dapat terus berlangsung selama waktu implementasi
kesepakatan atau sampai beberapa tahun setelah itu. Konflik bersenjata dapat
terus berlangsung dan berkepanjangan bahkan setelah kesepakatan damai
ditandatangani.
Dalam
penelitian itu Gurr berkesimpulan konflik bersenjata bisa berlangsung dan
kembali terjadi pada 13 dari 30 negara yang mengalami konflik dimana para
tokoh/pihak yang bertikai menganggap mereka telah mencapai kesepahaman. Resiko
adanya pemberontakan baru akan semakin serius bilamana kesepakatan/perjanjian
damai yang baru dicapai tidak secara penuh diimplementasi.
Dalam
studinya, Dan Smith mengidentifikasikan empat penyebab utama pengulangan
konflik. Pertama, konflik terulang kembali karena tidaknya adanya kesungguhan
dari pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik. Kedua, karena
adanya kekecewaan dari salah satu atau lebih pihak yang bertikai ketika apa
yang diharapkannya dari perdamaian tidak tercapai. Misalnya, ada pihak yang bersedia
menandatangani penghentian konflik bersenjata karena yakin akan menang dalam
pemilu. Namun, ketika harapan itu tidak terwujud, maka pihak tersebut akan
kembali memulai konflik bersenjata. Alasan ketiga adalah perpecahan internal
dalam salah satu kelompok yang bertikai, yang kemudian melahirkan kelompok
sempalan, yang terus melanjutkan konflik bersenjata.
Alasan
keempat adalah tidak tertanganinya penyebab utama konflik yang bersifat struktural,
seperti ketidakadilan dan kemiskinan.
Ukuran
keberhasilan masa post-conflict masih menjadi perdebatan diantara para
pengamat. Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar 2-3 tahun
kerapkali dianggap tidak cukup untuk membuahkan perubahan sosial politik yang
kondusif untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Roland Paris
menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”, atau antara 8-10 tahun.
Dalam
analisis Kusnanto Anggoro, tak ada rentang waktu pasti tentang hal ini, kecuali
untuk sekedar ancangan dalam menyusun program-program kerja. Kurun waktu 3-7
tahun adalah periode yang ditetapkan sebagai masa yang cukup memadai untuk
menyelanggarakan post-conflict peacebuilding karena sejumlah alasan. Pertama,
pengalaman dari proses resolusi konflik kekerasan yang terjadi di berbagai
belahan dunia menunjukkan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling
rawan terhadap kemungkinan terjadinya kembali konflik kekerasan (conflict
relapse). Kedua, dari segi dinamika politik, tahun ke-3 dan tahun ke-7
merupakan median dari dua siklus pemerintahan yang berurutan; sehingga
memburuknya suasana, kalau terjadi, seharusnya dapat diantisipasi dengan
berbagai kebijakan politik. Pilihan apakah rejim postconflict peacebuilding
akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan politik harus
ditetapkan melalui proses itu.
Sejumlah
analisa yang dikemukakan diatas sangat relevan dengan apa yang terjadi di Aceh
saat ini. Baik tentang rentannya konflik berulang pasca-MoU terjadinya konflik
di internal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun prediksi waktu munculnya
konflik, yakni satu kali putaran pemilu, atau sekitar 6 (enam) tahun. Perang
‘statement’ antara dua kubu yang pro dan kontra calon perseorangan, antara
daerah (Aceh) dan pusat, munculnya gerakan adu kekuatan berupa penggalangan
massa, ancaman menginternasionalisasi konflik denga mengadukan ke Uni Eropa,
bahkan munculnya korban jiwa menjadi indikator jelas bahwa konflik (baru)
terjadi kembali.
Contoh
‘perang statement’ tersebut adalah mantan GAM mengatakan bahwa untuk kesekian
kalinya pemerintah pusat melakukan kebohongan (seperti halnya pada
konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di Aceh- pra Gerakan Aceh Merdeka 1976)
dan tidak berkomitmen terhadap kesepakatan damai MoU Helsinki. Disisi lain,
pemerintah pusat menganggap DPRA (yang didominasi oleh mantan GAM) tidak
menghormati konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mencermati
siklus konfik yang rentan terjadi di wilayah bekas konflik, maka dibutuhkan
proses negosiasi jika diantara pihak-pihak yang terlibat dalam mengisi
perdamaian masih terjadi perbedaan yang berujung pada munculnya konflik baru.
Pendekatan negosiasi secara tertutup dan rahasia menjadi salah satu solusinya.
0 comments:
Post a Comment