Saturday, August 20, 2016

Persepsi Tentang Konflik


Secara sosiologis, konflik dipercaya memiliki dua fungsi, yakni fungsional dan tidak fungsional. Dalam pandangan struktural fungsional, konflik justru akan dapat menciptakan kreasi dan kemajuan masyarakat bahkan mampu mendewasakannya (Hale:2003), akan mampu mengintegrasikan masyarakat serta sebagai sumber perubahan (Surbakti, 1992:150).
Terdapat berbagai tipologi persepsi anggota masyarakat tentang konflik (Yuliyanto, 2004:3). Pertama, konflik sebagai sesuatu yang ditabukan. Kedua, konflik sebagai sesuatu yang menakutkan. Ketiga, konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Keempat, konflik sebagai sesuatu yang harus dicegah.
Berkaitan dengan konflik ini ada dua pandangan yang berbeda dalam memahami konflik yang terjadi, yaitu pandangan lama dan baru, seperti yang dijelaskan oleh Stepphen P. Robbin dalam bukunya Managing Organizational Conflic, New York, Prentice-Hall Englewood Cliffts: 1974 (Urbaningrum, 1998:17).

Pandangan Lama
Pandangan Baru
- Konflik tidak dapat dihindarkan
- Konflik disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manajemen dalam perencanaan dan pengelolaan organisasi atau oleh pengacau
- Konflik mengganggu organisasi dan menghalangi pelaksanaannya secara optimal
- Tugas manajemen (pemimpin)
adalah menghilangkan konflik
- Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan penghapusan konflik.
- Konflik dapat dihindarkan
- Konflik timbul karena banyak sebab, perbedaan tujuan yang tak dapat dihindarkan, perbedaan persepsi nilai-nilai pribadi, dan sebagainya
- Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan organisasi (masyarakat) dalam berbagai derajat
- Tugas manajemen (pemimpin) adalah mengelola tingkat konflik dan penyelesainnya
- Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan tingkat konflik yang moderat.

Sumber : Stephen P. Robbins (1974) Managing Organizational Conflict, dalam Anas Urbaningrum (1998), Ranjau-Ranjau Reformasi: Potret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik itu bersifat positif atau negatif bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama pada sikap masyarakat secara umum terhadap sistem politik yanng berlaku. Dalam hal ini yang menjadi sandaran untuk menentukan suatu konflik bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi sistem politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat terhadap sistem politik itu sendiri.

Pengelolaan Konflik Politik
Dalam konteks demokrasi ada perubahan pemahaman mengenai konflik politik, dimana konflik tidak lagi dipahami sebagai aktifitas yang negatif, buruk, dan merusak, tetapi sebaliknya konflik merupakan aktifitas yang positif dan dinamis. Hal ini berlanjut pada perubahan konsepsi penyelesaian konflik menjadi pengelolaan konflik (management conflict). Ini sebuah perbedaan sangat penting. Pertama, penyelesaian konflik menunjuk pada penghentian atau penghilangan suatu konflik, dengan demikian implikasinya adalah konflik merupakan sesuatu yang negatif, yang bisa diselesaikan, diakhiri, bahkan dihapuskan. Kedua, berbeda dengan penyelesaian konflik, pengelolan konflik lebih memberi pemahaman bahwa konflik bisa positif, bisa juga negatif. Meskipun makna istilah-istilah tadi tentu masih menjadi perdebatan (debatable) hal ini menunjukkan bahwa persoalan konflik memiliki berbagai pendekatan termasuk istilah-istilahnya.
Ada beberapa pendekatan untuk menangani konflik, yang terkadang juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses. Fisher, dkk (2001:6-7) menggambarkan sebagai berikut. Pertama, istilah pencegahan konflik yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. Kedua, penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetjuan perdamaian. Ketiga, pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Keempat, resolusi konflik yaitu kegiatan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubunganbaru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Kelima, transformasi konflik yaitu kegiatan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Mengelola konflik yaitu bagaimana menanganinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses yang kooperatif, bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk mengelola perbedaan secara konstruktif, bukan sebaliknya mengadvokasi metode-metode untuk menghilangkan konflik (Harris dan Reilly, 2000:20).
Sedangkan menurut Robinson dan Clifford ( Liliweri, 2005 : 288 ) manajemen konflik merupakan tindakan yang konstruktif yang direncanakan , diorganisasikan, digerakan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demimengakhiri konflik. Manajemen konflik harus dilakukan sejak pertama kali konflik mulai tumbuh. Karena itu sangat dibutuhkan kemampuan manajemen konflik, antara lain, melacak pelbagai faktor positif pencegah konflik daripada melacak faktor negatif yang mengancam konflik.
Manajemen konflik merupakan sebuah sistem tawar-menawar dan bernegosiasi, dimana dalam konteks demokrasi dapat membantu mengatasi konflik antar kelompok dan menggiring mereka ke dalam dialog dan debat politik, dan menjauhkan mereka dari kekerasan di jalan. Tujuan manajemen konflik adalah menjaga supaya perselisihan yang ada bisa disalurkan ke dalam arena negosiasi dan mencegahnya jangan sampai mengalami peningkatan yang berujung pada konfrontasi dan kekerasan (Sisk dkk, 2002:96).
Ada beberapa hal yang tercakup dalam konsep manajemen konflik menurut Boulding (Liliweri, 2005:289) seperti: (1) adanya pengakuan bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (2) Analisis situasi yang menyertai konflik, misalnya mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, apakah konflik berhubungan dengan nilai, tujuan, cara, teritori, atau kombinasi dari faktor-faktor tadi; (3) Analisis perilaku semua pihak yang terlibat; (4) Tentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (5) Fasilitas komunikasi, yaitu mebuka semua jalur komunikasi baik langsung maupun tidak langsung, diskusi dan dialog, dalam rangka hearing; (6) Negosiasiyaitu teknik untuk melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (7) Rumuskan beberapa anjuran, tekanan, dan konfirmasi bagi kelestarian relasi selanjutnya; (8) Hiduplah dengan konflik, karena semua konflik tidak dapat dihilangkan kecuali dapat ditekan atau ditunda kekerasannya.



0 comments: