Secara
sosiologis, konflik dipercaya memiliki dua fungsi, yakni fungsional dan tidak
fungsional. Dalam pandangan struktural fungsional, konflik justru akan dapat
menciptakan kreasi dan kemajuan masyarakat bahkan mampu mendewasakannya
(Hale:2003), akan mampu mengintegrasikan masyarakat serta sebagai sumber
perubahan (Surbakti, 1992:150).
Terdapat
berbagai tipologi persepsi anggota masyarakat tentang konflik (Yuliyanto,
2004:3). Pertama, konflik sebagai sesuatu yang ditabukan. Kedua, konflik
sebagai sesuatu yang menakutkan. Ketiga, konflik sebagai sesuatu yang
harus dihindari. Keempat, konflik sebagai sesuatu yang harus dicegah.
Berkaitan dengan
konflik ini ada dua pandangan yang berbeda dalam memahami konflik yang terjadi,
yaitu pandangan lama dan baru, seperti yang dijelaskan oleh Stepphen P. Robbin
dalam bukunya Managing Organizational Conflic, New York, Prentice-Hall
Englewood Cliffts: 1974 (Urbaningrum, 1998:17).
Pandangan Lama
|
Pandangan Baru
|
- Konflik tidak dapat dihindarkan
- Konflik disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manajemen
dalam perencanaan dan pengelolaan organisasi atau oleh pengacau
- Konflik mengganggu organisasi dan menghalangi
pelaksanaannya secara optimal
- Tugas manajemen (pemimpin)
adalah menghilangkan konflik
- Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan
penghapusan konflik.
|
- Konflik dapat dihindarkan
- Konflik timbul karena banyak sebab, perbedaan tujuan yang
tak dapat dihindarkan, perbedaan persepsi nilai-nilai pribadi, dan sebagainya
- Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan
kegiatan organisasi (masyarakat) dalam berbagai derajat
- Tugas manajemen (pemimpin) adalah mengelola tingkat
konflik dan penyelesainnya
- Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan
tingkat konflik yang moderat.
|
Sumber
: Stephen P. Robbins (1974) Managing Organizational Conflict, dalam Anas
Urbaningrum (1998), Ranjau-Ranjau Reformasi: Potret Konflik Politik Pasca
Kejatuhan Soeharto.
Berdasarkan
uraian di atas disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik itu bersifat
positif atau negatif bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam
konflik, terutama pada sikap masyarakat secara umum terhadap sistem politik
yanng berlaku. Dalam hal ini yang menjadi sandaran untuk menentukan suatu
konflik bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi sistem politik
yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat terhadap sistem
politik itu sendiri.
Pengelolaan Konflik Politik
Dalam
konteks demokrasi ada perubahan pemahaman mengenai konflik politik, dimana
konflik tidak lagi dipahami sebagai aktifitas yang negatif, buruk, dan merusak,
tetapi sebaliknya konflik merupakan aktifitas yang positif dan dinamis. Hal ini
berlanjut pada perubahan konsepsi penyelesaian konflik menjadi pengelolaan
konflik (management conflict). Ini sebuah perbedaan sangat penting. Pertama,
penyelesaian konflik menunjuk pada penghentian atau penghilangan suatu konflik,
dengan demikian implikasinya adalah konflik merupakan sesuatu yang negatif,
yang bisa diselesaikan, diakhiri, bahkan dihapuskan. Kedua, berbeda dengan
penyelesaian konflik, pengelolan konflik lebih memberi pemahaman bahwa konflik
bisa positif, bisa juga negatif. Meskipun makna istilah-istilah tadi tentu
masih menjadi perdebatan (debatable) hal ini menunjukkan bahwa persoalan
konflik memiliki berbagai pendekatan termasuk istilah-istilahnya.
Ada
beberapa pendekatan untuk menangani konflik, yang terkadang juga dipandang
sebagai tahap-tahap dalam suatu proses. Fisher, dkk (2001:6-7) menggambarkan
sebagai berikut. Pertama, istilah pencegahan konflik yang bertujuan untuk
mencegah timbulnya konflik yang keras. Kedua, penyelesaian konflik bertujuan
untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetjuan perdamaian.
Ketiga, pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan
dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
Keempat, resolusi konflik yaitu kegiatan menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun hubunganbaru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok
yang bermusuhan. Kelima, transformasi konflik yaitu kegiatan mengatasi
sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah
kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang
positif.
Mengelola
konflik yaitu bagaimana menanganinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana
membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses yang kooperatif,
bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk
mengelola perbedaan secara konstruktif, bukan sebaliknya mengadvokasi
metode-metode untuk menghilangkan konflik (Harris dan Reilly, 2000:20).
Sedangkan
menurut Robinson dan Clifford ( Liliweri, 2005 : 288 ) manajemen konflik
merupakan tindakan yang konstruktif yang direncanakan , diorganisasikan,
digerakan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demimengakhiri
konflik. Manajemen konflik harus dilakukan sejak pertama kali konflik mulai
tumbuh. Karena itu sangat dibutuhkan kemampuan manajemen konflik, antara lain,
melacak pelbagai faktor positif pencegah konflik daripada melacak faktor
negatif yang mengancam konflik.
Manajemen
konflik merupakan sebuah sistem tawar-menawar dan bernegosiasi, dimana dalam
konteks demokrasi dapat membantu mengatasi konflik antar kelompok dan
menggiring mereka ke dalam dialog dan debat politik, dan menjauhkan mereka dari
kekerasan di jalan. Tujuan manajemen konflik adalah menjaga supaya perselisihan
yang ada bisa disalurkan ke dalam arena negosiasi dan mencegahnya jangan sampai
mengalami peningkatan yang berujung pada konfrontasi dan kekerasan (Sisk dkk,
2002:96).
Ada
beberapa hal yang tercakup dalam konsep manajemen konflik menurut Boulding
(Liliweri, 2005:289) seperti: (1) adanya pengakuan bahwa dalam setiap
masyarakat selalu ada konflik; (2) Analisis situasi yang menyertai konflik,
misalnya mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, apakah konflik berhubungan
dengan nilai, tujuan, cara, teritori, atau kombinasi dari faktor-faktor tadi;
(3) Analisis perilaku semua pihak yang terlibat; (4) Tentukan pendekatan
konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (5) Fasilitas komunikasi,
yaitu mebuka semua jalur komunikasi baik langsung maupun tidak langsung,
diskusi dan dialog, dalam rangka hearing; (6) Negosiasiyaitu teknik untuk
melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (7)
Rumuskan beberapa anjuran, tekanan, dan konfirmasi bagi kelestarian relasi
selanjutnya; (8) Hiduplah dengan konflik, karena semua konflik tidak dapat
dihilangkan kecuali dapat ditekan atau ditunda kekerasannya.
0 comments:
Post a Comment