Friday, August 12, 2016

Partisipasi dan Komunikasi


Timbul persoalan, bagaimana merekayasa pergeseran-pergeseran nilai dalam rangka mengaktualisasikan diri sesuai dengan tuntutan zaman sehingga bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri universal dari bangsa yang modern, tetap mempertahankan identitas kebangsaan yang bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Masalah penerapan teknologi bagi kepentingan pembangunan di Indonesia memerlukan penelaahan yang cermat dan mendalam menuju pemilihan alterantif terbaik yang dapat menghasilkan karya-karya teknologi yang tepat guna dan tepat lingkungan, berdaya guna dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Proses pembangunan saat ini harus berakar dari bawah (grassroots), memelihara keberagaman budaya, serta menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat. Dengan kata lain pembangunan harus menganut paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Dengan demikian, perlu adanya partisipasi secara aktif, penuh inisiatif dan inovatif dari masyarakat itu sendiri. Sehingga partisipasi masyarakat dalam konteks ini mengandung makna untuk meneggakan demokrasi local yang selama ini “terpendam” yang sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat. Sedangkan proses pemberdayaan masyarakat harus mengandung makna yang dinamis untuk mengembangkan diri dalam mencapai kemajuan.
Dalam berkomunikasi untuk membangkitkan partisipatif masyarakat, Harmoko mengemukakan bahwa pesan yang disampaikan kepada khalayak haruslah :
1.      Membaca berita hangat yang isinya cocok dengan kepentingan masyarakat.
2.      Menggugah hati masyarakat sehingga gagasan dan perasaan yang disampaikan oleh si pembawa pesan sudah seperti milik si penerima pesan itu sendiri.
3.      Menimbulkan dorongan bertindak bagi sasaran khalayak secara spontan dan penuh kesan.
Saluran media massa pada umumnya lebih banyak digunakan untuk komunikasi informatif. Dengan saluran ini komunikator pembangunan pembangunan berusaha untuk memperkenalkan dan memberikan pengetahuan mengenai pesan-pesan pembangunan. Selanjutnya untuk perubahan perilaku, aktifitas komunikasi harus dilipatgandakan dengan menggunakan berbagai macam saluran.
Rogers dan Shoemaker mengatakan bahwa saluran interpersonal masih memegang peranan penting dibanding dengan media massa, terlebih-lebih di negara-negara yang belum maju dimana kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau khalayak terutama warga pedesaan, tingginya tingkat buta huruf dan tidak sesuainya pesan-pesan yang disampaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Lazarsfeld[9] mengatakan bahwa media massa hanya merupakan, 1) peliput ganda pesan dan penyebar ide secara mendatar dan 2) penguat artinya hanya didengar apabila sependapat dengan pendapat komunikan. Jadi saluran interpersonal dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan tingkah laku (behavior change) dari komunikan.
            Indonesia sampai saat ini masih termasuk salah satu negara yang sedang berkembang, dimana sebagian besar penduduknya berada di pedesaan dan sekitar 50 % hidup dari hasil pertanian.   Oleh sebab itu strategi komunikasi pembangunan masih dipusatkan pada daerah pedesaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Depari dan Mc Andrews (1991)[10] bahwa sampai saat ini strategi komunikasi pembangunan masih terbatas pada siaran pedesaan, baik melalui media massa maupun pemanfaatan para petugas penyuluhan pembangunan. Oleh sebab itu perlu dipikirkan lebih lanjut, bagaimana usaha-usaha komunikasi yang ada dapat dikembangkan, terlebih-lebih menghadapi tantangan era globalisasi.
            Dalam hal ini di Indonesia melalui televisi dan radio sebagai saluran media massa juga sudah pernah melaksanakan program acara siaran pedesaan. Demikian pula Koran Masuk Desa (KMD) sebagai media cetak telah disalurkan kepada masyarakat pedesaan. Sedangkan melalui saluran komunikasi interpersonal pemerintah telah menerjunkan jupen-jupen pembangunan dan penyuluh pertanian lapangan (PPL).Pertunjukan rakyat yang mengemas pesan-pesan pembangunan pun banyak ditampilkan dan kegiatan ini punya daya tarik dan kekuatan tersendiri.
            Susanto (1988) mengatakan bahwa bentuk-bentuk komunikasi melalui pertunjukan rakyat/tradisional di maksud untuk : 1) Memudahkan penerimaan pesan-pesan oleh masyarakat karena disajikan dalam bentuk yang santai dan mudah dipahami bentuk dan lambangnya. 2) Memancing komunikasi ke atas, yaitu pesan-pesan dari rakyat langsung kepada pemerintah dalam bentuk yang dapat diterima oleh pemerintah. Di samping itu wadah lain yang umumnya terdapat dipedesaan yaitu kelomponcapir ; wadah yang dapat menjembatani pesan-pesan pembangunan dari media massa kepada masyarakat. Wadah ini biasanya dipimpin oleh pemuka-pemuka masyarakat (opinion leaders), yang biasanya memiliki ciri-ciri, lebih tinggi pendidikan formalnya, lebih tinggi status sosialnya serta status ekonominya, lebih inovatif dalam menerima atau mengadopsi ide-ide baru, lebih tinggi kemampuan medianya, kemampuan empati mereka lebih besar, partisipasi sosial mereka lebih besar, lebih kosmopolit (modern).
Untuk masyarakat perkotaan yang umumnya sudah memiliki banyak media, pesan harus disampaikan sedemikian rupa disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kebutuhan. Penyajian pesan lewat sinetron yang dapat dinikmati keluarga dikala santai akan dapat menggugah kesadaran khalayak. Di samping penyajian pesan melalui media tercetak, seperti leaflet, folder, brosur, dan sebagainya, yang dibuat dengan cara yang menarik sehingga sayang untuk dibuang begitu saja.


0 comments: