Munculnya Isu
Ekonomi
Sekurang-kurangnya
ada dua peristiwa besar di dunia yang mendorong munculnya isu ekonomi dalam
perpolitikan global. Dua peristiwa tersebut adalah berakhirnya Perang Dunia
Kedua dan Perang Dingin.
Sebenarnya,
dimensi ekonomi telah muncul dalam politik internasional sejak terjadinya
Revolusi Industri di Benua Eropa dan Amerika tahun 1830an dan 1850an. Selama
revolusi berjalan, interaksi ekonomi antar negara Eropa bukan bersifat kerja
sama tetapi lebih mengarah pada persaingan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan
baku bagi industri-industri militer mereka. Revolusi Industri menyebabkan
terjadinya perlombaan senjata di Daratan Eropa yang mengakibatkan pecahnya Perang
Dunia Pertama dan berlanjut hingga Perang Dunia Kedua. Selama dua kali perang
besar tersebut, masalah ekonomi jauh tertinggal di belakang. Masalah politik
kekuasaan dan kekuatan militer lebih mendominasi percaturan politik
internasional saat itu.
Berakhirnya
Perang Dunia Kedua membawa perubahan dalam pola interaksi antar negara dalam
hubungan internasional. Pemupukan kekuatan militer selama perang berlangsung
baik disadari maupun tidak telah menyerap alokasi sumber-sumber ekonomi yang
sangat besar. Berakhirnya Perang Dunia Kedua ditandai dengan kehancuran ekonomi
yang cukup parah bagi negara-negara yang terlibat perang. Keinginan untuk
bangkit dan membangun kembali keutuhan wilayah ternyata tidak bisa
terselesaikan hanya dengan pendekatan politik.
Daratan
Eropa yang merupakan pusat politik internasional lumpuh total akibat perang
ini. Kekalahan fasisme telah memporak-porandakan ekonomin Jerman dan Jepang.
Begitu pula halnya dengan pihak Barat yang menjadi pemenang perang, kecuali
Amerika Serikat, harus merasakan masalah kehancuran ekonomi politik yang sama.
Inggris harus kehilangan dominasinya dalam politik internasional dan harus
mengakui kemunculan Amerika Serikat sebagai super power baru dalam politik
internasional.
Disinilah
titik awal semakin mengglobalnya permasalahan ekonomi dalam politik
internasional. Selama periode Perang Dunia Kedua, dalam pertemuan di New Jersey
tahun 1943 dibentuk suatu sistem yang merancang pelaksanaan liberalisasi
perdagangan antar negara, yang dikenal dengan Bretton Woods System. Sistem ini
dilengkapi dengan alat tukar internasional yang disebut dengan Special Drawing
Rights (SDR). Akan tetapi krisis ekonomi 1970an menyebabkan sistem ini tidak
populer dan hampir seluruh negara di dunia terutama Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa Barat kembali menjadi proteksionis.
Di
Eropa sendiri, upaya pemulihan ekonomi pasca perang membangkitkan semangat
persatuan untuk menjalin kerjasama ekonomi. Ide kerja sama ekonomi yang digagas
oleh Presiden Perancis de Gaulle dan Menteri Luar Negeri Perancis Robert
Schuman diwujudkan dalam pembentukan Komunitas Besi dan Baja Eropa (European
Coal and Steel Community / ECSC) dalam Traktat Paris tahun 1951. Dalam
komunitas ini, Perancis berhasil menyatukan negaranya bersama dengan Jerman
Barat, Italia, Belanda, Belgia dan Luxemburg dalam Pasar Bebas Besi dan Baja.
Upaya
pembangunan ekonomi seusai Perang Dunia Kedua kembali tenggelam ketika Uni
Soviet berhasil membangun kembali negaranya yang hancur dalam Perang Dunia
Kedua. Kebangkitan Uni Soviet dengan ideologi komunisnya berhasil menyaingi
kekuatan Amerika Serikat yang pada saat itu menjadi negara adi kuasa tunggal
dengan ideologi liberal kapitalisnya. Kekhawatiran Amerika Serikat akan
menyebarnya pengaruh Komunisme Soviet ke Eropa Barat mengharuskan Amerika
Serikat merangkul negara-negara tersebut untuk bersama-sama membendung
menyebarnya pengaruh komunisme. Melalui containtment policy pada masa Presiden
Harry S. Truman, Amerika Serikat berusaha menghadapi penyebaran komunisme di
Eropa melalui dua cara, yaitu pembendungan di bidang ekonomi melalui Marshall
Aid (1946) yang bertujuan membantu pemulihan ekonomi negara-negara Eropa Barat;
dan pembendungan di bidang politik keamanan dengan membentuk pakta pertahanan
North Atlantic Treaty Organization (NATO) tahun 1947 yang bertujuan menangkal
komunis dengan kekuatan militer.
Pertentangan
dan perebutan wilayah pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet ini menimbulkan
Perang Dingin dalam politik internasional. Selama Perang Dingin berlangsung,
dunia selalu diwarnai pertentangan ideologi antar dua kutub, yaitu Barat
(liberalisme) dan Timur (komunisme). Persaingan memperluas wilayah pengaruh
ideologi ke seluruh penjuru dunia yang disertai dengan peningkatan kekuatan
militer dengan menggunakan senjata nukllir oleh kedua blok berakhir dengan
dengan runtuhnya komunisme Soviet sebagai aktor utama blok Timur tahun 1992.
Berakhirnya
Perang Dingin memperlihatkan kenyataan bahwa konflik idoelogi tidak lagi
relevan dalam politik internasional. Isu sentral yang munculkemudian adalah
persoalan-persoalan ekonomi yang muncul seiring dengan meningkatnya
interdependensi global antar negara dan regionalisme ekonomi. Hampir di setiap
belahan bumi terdapat blok ekonomi yang menyebutkan identitas regionalnya
seperti European Economic Community (EEC), Latin America Free Trade Area
(LAFTA), North Amerika Free Trade Area (NAFTA), Asean Free Trade Area (AFTA),
Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), dan lain-lain. Di samping itu
dibentuk pula organisasi atau lembaga internasional baik yang bersifat resmi
maupun tidak resmi untuk mengatur jalannya sistem perekonomian global tersebut,
yaitu: World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF),
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), Organization
Petroleum Exporting Countries (OPEC), Organization for Economic and Development
(OECD), dan lain-lain.
Menurut
John Mersheimer, pola pergeseran konflik dan kerjasama politik yang didorong
faktor ideologi selama Perang Dingin ke arah kerja sama dan konflik ekonomi
pasca Perang Dingin bukanlah suatu yang sederhana. Keberhasilan kerjasama
ekonomi dari sistem internasional yang kapitalis dan mengutamakan pemerintahan
yang demokratis di negara-negara Barat yang telah diraih pasca Perang Dingin
tidak lepas dari adanya common threat (ancaman bersama), yaitu ancaman
komunisme selama 45 tahun dalam era Perang Dingin. Lenyapnya faktor ancaman
bersama akan memperlihatkan kelemahan perkembangan dan kerja sama ekonomi yang
ada, termasuk penanganan keterkaitan independensi ekonomi yang menjadi gejala
utama di hampir setiap kawasan dunia (Djafar, 1996: 36).
Salah
satu indikasi yang dapat dijadikan tolok ukur bahwa telah terjadi pergeseran
dari paradigma ideologi politik sebelum dan dalam periode Perang Dingin ke
paradigma ekonomi adalah pertumbuhan-pertumbuhan blok-blok regional. Sampai
dengan Perang Dingin, blok-blok yang bermunculan lebih bersifat kerja sama
militer dan didasarkan pada ideologi, seperti NATO (1948), Pakta Warsawa
(1955), Pakta Baghdad (1967), ANZUS (1951), dan sebagainya. Sedagkan pasca
Perang Dingin, muncul blok-blok ekonomi dan perdagangan seperti APEC (1989),
NAFTA (1992), Uni Eropa (1992), dan AFTA (1992, efektif berlaku 2010).
Pergeseran
dari pendekatan ideologi ke pendekatan ekonomi membawa implikasi lebih lanjut.
Meningkatnya interaksi ekonomi antarbangsa dalam bentuk perdagangan
internasional memunculkan aktor-aktor non-negara seperti perusahaan multi
nasional (Multi National Corporations/MNCs). Keberadaan aktor-aktor non-negara
ini secara perlahan telah menggantikan peran utama negara sebagai aktor dominan
dalam politik dan hubungan internasional sehingga terjadi perubahan dari state
power era menjadi non-state era.
0 comments:
Post a Comment