Segera Setelah Peristiwa Mei 1998, Soeharto
menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada wakil presiden B.J. Habibie. Selang
beberapa waktu setelah penyerahan mandat tersebut, presiden baru B.J. Habibie
harus bergulat dengan beragam konflik separatis di berbagai daerah seperti
Timor Timur, menstabilkan iklim politik, dan mengembalikan kepercayaan rakyat
terhadap pemerintahan untuk mengembalikan kekuatan ekonomi mereka.
Namun, usaha Habibie untuk mengembalikan stabilitas
politik Indonesia menemui jalan tidak mulus. Kebijakannya semisal membiarkan
propinsi termuda Indonesia, Timor Timur untuk melepaskan diri dari NKRI dinilai
oleh sebagian pemain lama politik justru mendorong lepasnya wilayah lain.
Berikut kemampuan Habibie sebagai seorang teknokrat diragukan banyak kalangan
untuk memimpin Indonesia.
Keinginan elit militer dan politik untuk kembali ke
puncak kekuasaan memaksa Habibie untuk melangsungka pemilihan umum dengan
membuka akses berdirinya partai baru di luar 3 partai rekayasa Orde baru,
Golkar, PDI, dan PPP, akhirnya membuka babak baru demokrasi Indonesia yang
terlanjur diwarnai munculnya gerakan di daerah memisahkan diri dari NKRI.
Sementara itu, krisis ekonomi telah meluluhlantakan
tatanan ekonomi Indonesia. Pemerintah pasca reformasi sudah kehabisan akal
untuk mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis sosial ekonomi tak
berkesudahan. Di tengah-tengah keterpurukan Indonesia, muncul lembaga donor
internasional sebagai ‘malaikat’ penyelamat dengan skema bantuan berupa
pinjaman. Sayangnya lembaga donor internasional yang diwakili oleh IMF dengan
program restrukturisasi dan World Bank dengan program desentralisasinya,
ternyata tidak hanya menolong Indonesia keluar dari krisis, akan tetapi semakin
menjerumuskan Indonesia ke dalam jerat hutang internasional.
Krisis ekonomi Asia di tahun 1997 membawa dampak
jatuhnya penguasa militer di Indonesia. Situasi memaksa Indonesia untuk
berpaling pada lembaga donor internasional untuk mendapatkan pinjaman, dan
bantuanpun datang dalam bentuk program restrukturisasi berupa Structural
Adjustment Programs (SAPs). Dalam pengawasan ketat dari lembaga donor,
Indonesia kemudian meluncurkan program desentralisasi yang ekspansif.
Pasca reformasi memunculkan rancangan perundangan
baru mengenai desentralisasi pemerintahan dengan maksud memperbaiki sistem
pemerintah otoriter masa lalu. Tidaklah mengherankan, undang-undang mengenai
desentralisasi kemudian dirancang tanpa melihat kondisi nyata di daerah yang
beragam. Perpindahan kekuasaan seketika dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah kemudian dirayakan dengan munculnya euphoria rakyat di daerah.
Terbutakan oleh kekuasaan yang baru diperoleh dan terlalu banyaknya beban
tanggung jawab dalam waktu singkat, pemerintah daerah berjuang keras untuk
mengikuti perubahan.
Pegawai pemerintah daerah di beberapa tempat
menemukan cara baru untuk memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Ketika
rakyat di daerah kemudian menyadari bahwa kepentingan mereka tidak penting bagi
pemerintahnya yang hanya tertarik untuk memperkaya diri, merekapun perlahan
mulai memperjuangkan hak-hak mereka. Seringkali perjuangan rakyat daerah
mencetuskan kekerasan etnik dan keagamaan ketika rakyat daerah terbagi-bagi
berdasarkan etnik dan agama. Di lain tempat, masih terdapat pasukan gerilya
yang telah berjuang sejak lama untuk melawaan kesewenangan eksploitasi hasil
alam oleh pemeirntah pusat seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.
Secara garis besar, pemerintah pusat menolak
pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah demi mempertahankan kekuasaannya
sedapat mungkin. Pemerintah pusat kemudian menarik kembali Undang-undang
Pemerintah Daerah Nomor 22/1999 untuk direvisi menjadi Undang-undang Pemerintah
Daerah Nomor 32/2004 yang menyebabkan pemerintah daerah kembali sebagai obyek,
menjadikan mereka curiga terhadap upaya mengembalikan kekuasaan pada pemerintah
pusat.
Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla, salah satu isu yang kerap menghantam pemerintahan orde
reformasi adalah gerakan separatisme yang berupa keinginan kelompok tersebut
untuk merdeka, melepaskan diri dari NKRI. Terhitung, insiden 29 Juni 2007
mencatat penyusupan para penari Cakalele membentangkan bendera RMS berukuran
raksasa, telah mencoreng kewibawaan simbol negara yaitu sosok Presiden SBY yang
berdiri tepat di depannya. Seolah mengekor insiden di Provinsi Maluku, Kongres
Masyarakat Adat Papua secara gegap gempita menyerukan Papua merdeka. Gelombang
reaksi pro dan kontra berdatangan dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan
Congressman Amerika Serikat, Eni Faleomavaega, pada awalnya datang secara
khusus memenuhi undangan datang ke Papua demi mendukung niatan merdeka
tersebut, sebelum akhirnya diberhentikan langkahnya secara diplomatis oleh
pemerintah Indonesia di istana negara saja. Terlepas dari kemampuan diplomatis
wakil presiden membujuk sang Congressman untuk meyakinkan bahwa selama ini
Pemerintah AS sudah salah menilai Indonesia pada kasus Papua, namun kenyataan
di bumi Papua bukanlah isapan jempol. Nun jauh di timur Indonesia, ada
sekelompok minoritas meneriakkan merdeka, menisbatkan diri mereka bukan bagian
dari NKRI.
0 comments:
Post a Comment