Wednesday, August 10, 2016

Masa Orde Reformasi: Ujian Terhadap Ketangguhan Negara Kesatuan Republik Indonesia


Segera Setelah Peristiwa Mei 1998, Soeharto menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada wakil presiden B.J. Habibie. Selang beberapa waktu setelah penyerahan mandat tersebut, presiden baru B.J. Habibie harus bergulat dengan beragam konflik separatis di berbagai daerah seperti Timor Timur, menstabilkan iklim politik, dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan untuk mengembalikan kekuatan ekonomi mereka.
Namun, usaha Habibie untuk mengembalikan stabilitas politik Indonesia menemui jalan tidak mulus. Kebijakannya semisal membiarkan propinsi termuda Indonesia, Timor Timur untuk melepaskan diri dari NKRI dinilai oleh sebagian pemain lama politik justru mendorong lepasnya wilayah lain. Berikut kemampuan Habibie sebagai seorang teknokrat diragukan banyak kalangan untuk memimpin Indonesia.
Keinginan elit militer dan politik untuk kembali ke puncak kekuasaan memaksa Habibie untuk melangsungka pemilihan umum dengan membuka akses berdirinya partai baru di luar 3 partai rekayasa Orde baru, Golkar, PDI, dan PPP, akhirnya membuka babak baru demokrasi Indonesia yang terlanjur diwarnai munculnya gerakan di daerah memisahkan diri dari NKRI.
Sementara itu, krisis ekonomi telah meluluhlantakan tatanan ekonomi Indonesia. Pemerintah pasca reformasi sudah kehabisan akal untuk mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis sosial ekonomi tak berkesudahan. Di tengah-tengah keterpurukan Indonesia, muncul lembaga donor internasional sebagai ‘malaikat’ penyelamat dengan skema bantuan berupa pinjaman. Sayangnya lembaga donor internasional yang diwakili oleh IMF dengan program restrukturisasi dan World Bank dengan program desentralisasinya, ternyata tidak hanya menolong Indonesia keluar dari krisis, akan tetapi semakin menjerumuskan Indonesia ke dalam jerat hutang internasional.
Krisis ekonomi Asia di tahun 1997 membawa dampak jatuhnya penguasa militer di Indonesia. Situasi memaksa Indonesia untuk berpaling pada lembaga donor internasional untuk mendapatkan pinjaman, dan bantuanpun datang dalam bentuk program restrukturisasi berupa Structural Adjustment Programs (SAPs). Dalam pengawasan ketat dari lembaga donor, Indonesia kemudian meluncurkan program desentralisasi yang ekspansif.
Pasca reformasi memunculkan rancangan perundangan baru mengenai desentralisasi pemerintahan dengan maksud memperbaiki sistem pemerintah otoriter masa lalu. Tidaklah mengherankan, undang-undang mengenai desentralisasi kemudian dirancang tanpa melihat kondisi nyata di daerah yang beragam. Perpindahan kekuasaan seketika dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kemudian dirayakan dengan munculnya euphoria rakyat di daerah. Terbutakan oleh kekuasaan yang baru diperoleh dan terlalu banyaknya beban tanggung jawab dalam waktu singkat, pemerintah daerah berjuang keras untuk mengikuti perubahan.
Pegawai pemerintah daerah di beberapa tempat menemukan cara baru untuk memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Ketika rakyat di daerah kemudian menyadari bahwa kepentingan mereka tidak penting bagi pemerintahnya yang hanya tertarik untuk memperkaya diri, merekapun perlahan mulai memperjuangkan hak-hak mereka. Seringkali perjuangan rakyat daerah mencetuskan kekerasan etnik dan keagamaan ketika rakyat daerah terbagi-bagi berdasarkan etnik dan agama. Di lain tempat, masih terdapat pasukan gerilya yang telah berjuang sejak lama untuk melawaan kesewenangan eksploitasi hasil alam oleh pemeirntah pusat seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.
Secara garis besar, pemerintah pusat menolak pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah demi mempertahankan kekuasaannya sedapat mungkin. Pemerintah pusat kemudian menarik kembali Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22/1999 untuk direvisi menjadi Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 32/2004 yang menyebabkan pemerintah daerah kembali sebagai obyek, menjadikan mereka curiga terhadap upaya mengembalikan kekuasaan pada pemerintah pusat.


Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, salah satu isu yang kerap menghantam pemerintahan orde reformasi adalah gerakan separatisme yang berupa keinginan kelompok tersebut untuk merdeka, melepaskan diri dari NKRI. Terhitung, insiden 29 Juni 2007 mencatat penyusupan para penari Cakalele membentangkan bendera RMS berukuran raksasa, telah mencoreng kewibawaan simbol negara yaitu sosok Presiden SBY yang berdiri tepat di depannya. Seolah mengekor insiden di Provinsi Maluku, Kongres Masyarakat Adat Papua secara gegap gempita menyerukan Papua merdeka. Gelombang reaksi pro dan kontra berdatangan dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan Congressman Amerika Serikat, Eni Faleomavaega, pada awalnya datang secara khusus memenuhi undangan datang ke Papua demi mendukung niatan merdeka tersebut, sebelum akhirnya diberhentikan langkahnya secara diplomatis oleh pemerintah Indonesia di istana negara saja. Terlepas dari kemampuan diplomatis wakil presiden membujuk sang Congressman untuk meyakinkan bahwa selama ini Pemerintah AS sudah salah menilai Indonesia pada kasus Papua, namun kenyataan di bumi Papua bukanlah isapan jempol. Nun jauh di timur Indonesia, ada sekelompok minoritas meneriakkan merdeka, menisbatkan diri mereka bukan bagian dari NKRI.

0 comments: