Thursday, August 11, 2016

Undang-Undang Anti Terorisme Indonesia


Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.

Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme. Sedemikian besar kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, pemerintah berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum, untuk melakukan pengusutan,diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang tindak pidana terorisme.

Semula berkembang pendapat bahwa terorisme dan tindakan teror cukup diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di mana masih ada ketentuan yang mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan terhadap nyawa, dan kejahatan pengrusakan. Sebagai contoh, sampai saat ini negeri Belanda tidak memiliki satu Undang-Undang tentang terorisme tetapi cukup menangani masalah terorisme dengan KUHP-nya. Memang terhadap “domestic terrorism” atau tindakan teror yang bersifat domestik, masih cukup ditangani dengan menerapkan ketentuan pidana di dalam KUHP yang berlaku. Namun untuk mewujudkan suatu Undang-Undang nasional yang bertujuan mencegah dan memberantas terorisme secara menyeluruh, baik yang bersifat domestik maupun yang bersifat internasional, dan dengan mempertimbangkan praktik hukum internasional, maka perlu disepakati lebih dahulu paradigma yang akandigunakan, sehingga arah pencegahan dan pemberantasan tersebut dipahami oleh seluruh komponen bangsa Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah menetapkan 3 (tiga) paradigma yang dipandang cocok dalam konteks kultur politik yang berkembang, yaitu: yang pertama, adalah perlindungan kedaulatan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; yang kedua, adalah perlindungan hak asasi warga negara Republik Indonesia, baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri; dan yang ketiga, adalah perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana terorisme yang sudah merupakan hak universal dan oleh karenanya tidak boleh diabaikan.

0 comments: