Teori kedaulatan rakyat lahir sebagai reaksi atas
teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi
rakyat. Jean Jacques Rousseau, Bapak Teori Kedaulatan Rakyat, melalui buku “Le
Contract Social” mengutarakan teori mengenai perjanjian masyarakat (kontrak
sosial) yang menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah berubah
menjadi civil liberty di mana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat
sebagai hal tertinggi dalam hal ini melalui perwakilan yang didasarkan pada
suara terbanyak. Menurut Rousseau, keputusan dari suara terbanyak (mayoritas)
selalu mewakili kepentingan umum. Namun, pada kenyataannya, yang didukung oleh
suara terbanyak tidak lagi mempersoalkan kebenaran melainkan mempermasalahkan
tentang menang atau kalah.
Sejak awal kemerdekaan, negara kita telah menerapkan
konsep yang terdapat dalam teori kedaulatan rakyat. Mulai dari pengesahan UUD
1945 sebagai konstitusi sampai pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai
Presiden dan Wakil Presiden, seluruhnya dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.
Walaupun selanjutnya banyak terjadi penyimpangan dalam sistem pemerintahan,
baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tetapi pada akhirnya, kedaulatan
rakyatlah yang menentukan ke mana arah tujuan negara kita berikutnya.
Dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia,
penentuan arah tujuan tersebut melibatkan seluruh warga negara dalam sebuah
pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu). Pemilu di Indonesia
diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali dan pertama kali dilaksanakan pada
tahun 1955. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan semuanya
memberikan pengaruh yang amat besar pada naik turunnya kondisi pemerintahan
negara kita.
Pada tahun 1965, sebuah partai yang telah menjadi
peserta pemilu sejak pemilu pertama, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan
pemberontakan dengan tujuan mengganti dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan
paham Marxisme- Leninisme. Paham tersebut merupakan azas yang dianut oleh para
anggota PKI. Pada pemberontakan itu, banyak jenderal dan perwira tentara yang
diculik, disiksa, dan dibunuh. Pemberontakan itulah yang selanjutnya kita kenal
dengan istilah Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Oleh karena adanya peristiwa G30S/PKI itu, komunis
di Indonesia dianggap sebagai bahaya laten yang selalu mengancam persatuan dan
kesatuan nasional. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik
Indonesia menghentikan segala aktivitas yang berkaitan dengan PKI melalui
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Sejak saat itu pula, partai dengan azas komunisme dilarang berdiri di
Indonesia.
Dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
tertuang: “bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis
Indonesia yang menganut paham atau atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
oleh karena itu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Paham/Ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme harus tetap
diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.” Ini berarti WNI
tidak berhak mendirikan sebuah partai politik dengan menggunakan paham
komunisme sebagai landasannya karena sudah jelas bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Dengan demikian, pemilu di Indonesia tidak akan pernah lagi
mengikutsertakan partai politik berazas komunisme sebagai pesertanya.
Kejadian lain yang dapat dijadikan contoh
penyimpangan sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah ketika Presiden Soekarno
membubarkan DPR melalui Dekrit 5 Juli 1959. Padahal, dalam Trias Politica sudah
tergambar dengan jelas bahwa kedudukan lembaga eksekutif (presiden) tidak lebih
tinggi daripada lembaga legislatif (DPR). Peristiwa yang terjadi pada masa Orde
Baru di saat Presiden Soeharto berkuasa juga menunjukkan kejanggalan yang luar
biasa. Sebagian anggota MPR—lembaga tertinggi Negara Republik Indonesia— selain
terpilih dari hasil pemilu, diangkat juga oleh Presiden. Bahkan, Presiden pun
dapat mengangkat anggota MPR untuk dijadikan menteri.
Yang terjadi sekarang justru sangat berlawanan
dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu. Sebagian besar masyarakat Indonesia
sudah menunjukkan antipati yang sangat besar terhadap pemerintah (eksekutif)
karena trauma pada pemerintahan di masa Orde Baru. Hal ini mengakibatkan rakyat
menginginkan dilakukannya pengawasan superketat terhadap pemerintah, dan
wewenang ini dimiliki oleh DPR. Dalam Pasal 30 dan Pasal 66 UU No. 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan bahwa DPR
dapat menyandera setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, dan badan hukum
yang menolak panggilan paksa karena tidak memberikan keterangan kepada DPR.
0 comments:
Post a Comment