Friday, August 19, 2016

PENERAPAN KONSEP KEDAULATAN RAKYAT PADA PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA

Teori kedaulatan rakyat lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Jean Jacques Rousseau, Bapak Teori Kedaulatan Rakyat, melalui buku “Le Contract Social” mengutarakan teori mengenai perjanjian masyarakat (kontrak sosial) yang menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty di mana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai hal tertinggi dalam hal ini melalui perwakilan yang didasarkan pada suara terbanyak. Menurut Rousseau, keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) selalu mewakili kepentingan umum. Namun, pada kenyataannya, yang didukung oleh suara terbanyak tidak lagi mempersoalkan kebenaran melainkan mempermasalahkan tentang menang atau kalah.
Sejak awal kemerdekaan, negara kita telah menerapkan konsep yang terdapat dalam teori kedaulatan rakyat. Mulai dari pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi sampai pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, seluruhnya dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Walaupun selanjutnya banyak terjadi penyimpangan dalam sistem pemerintahan, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tetapi pada akhirnya, kedaulatan rakyatlah yang menentukan ke mana arah tujuan negara kita berikutnya.
Dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, penentuan arah tujuan tersebut melibatkan seluruh warga negara dalam sebuah pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu). Pemilu di Indonesia diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali dan pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan semuanya memberikan pengaruh yang amat besar pada naik turunnya kondisi pemerintahan negara kita.
Pada tahun 1965, sebuah partai yang telah menjadi peserta pemilu sejak pemilu pertama, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan dengan tujuan mengganti dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan paham Marxisme- Leninisme. Paham tersebut merupakan azas yang dianut oleh para anggota PKI. Pada pemberontakan itu, banyak jenderal dan perwira tentara yang diculik, disiksa, dan dibunuh. Pemberontakan itulah yang selanjutnya kita kenal dengan istilah Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Oleh karena adanya peristiwa G30S/PKI itu, komunis di Indonesia dianggap sebagai bahaya laten yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia menghentikan segala aktivitas yang berkaitan dengan PKI melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Sejak saat itu pula, partai dengan azas komunisme dilarang berdiri di Indonesia.
Dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tertuang: “bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham/Ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.” Ini berarti WNI tidak berhak mendirikan sebuah partai politik dengan menggunakan paham komunisme sebagai landasannya karena sudah jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, pemilu di Indonesia tidak akan pernah lagi mengikutsertakan partai politik berazas komunisme sebagai pesertanya.
Kejadian lain yang dapat dijadikan contoh penyimpangan sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah ketika Presiden Soekarno membubarkan DPR melalui Dekrit 5 Juli 1959. Padahal, dalam Trias Politica sudah tergambar dengan jelas bahwa kedudukan lembaga eksekutif (presiden) tidak lebih tinggi daripada lembaga legislatif (DPR). Peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru di saat Presiden Soeharto berkuasa juga menunjukkan kejanggalan yang luar biasa. Sebagian anggota MPR—lembaga tertinggi Negara Republik Indonesia— selain terpilih dari hasil pemilu, diangkat juga oleh Presiden. Bahkan, Presiden pun dapat mengangkat anggota MPR untuk dijadikan menteri.

Yang terjadi sekarang justru sangat berlawanan dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah menunjukkan antipati yang sangat besar terhadap pemerintah (eksekutif) karena trauma pada pemerintahan di masa Orde Baru. Hal ini mengakibatkan rakyat menginginkan dilakukannya pengawasan superketat terhadap pemerintah, dan wewenang ini dimiliki oleh DPR. Dalam Pasal 30 dan Pasal 66 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan bahwa DPR dapat menyandera setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, dan badan hukum yang menolak panggilan paksa karena tidak memberikan keterangan kepada DPR.

0 comments: