Sunday, August 23, 2015

Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Konflik Di Aceh



Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Konflik Di Aceh

Meskipun status DOM telah dicabut pada akhir Juli 1998 dan secara resmi diumumkan pencabutan DOM pada tanggal 7 Agustus 1998 oleh Jenderal Wiranto sebagai Menhankam/Panglima TM di depan sejumlah ulama di kota Lhokseumawe Aceh Utara, namun kondisi Aceh semakin hari semakin bertambah sulit. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang dikirim pemerintah pusat pasca DOM telah ditarik kesatuannya masing-masing serta diadakannya penandatanganan kesepakatan Jeda Kemanusiaan di Jenewa tanggal 12 Mei sampai 15 Januari 2001 dan sejumlah solusi-solusi lain yang sedang diproses bahkan telah dilakukan juga belum memberi perubahan yang signifikan pada suhu konflik di Aceh.

Pasukan Penindak Rusuh Massa , Operasi Wibawa, Operasi Meunasah, dibawah komando Polri yang tidak disertai dengan tujuan yang pasti dan langkah-langkah yang konkret, menyebabkan dampak serius bagi masyarakat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada Indonesia, tetapi semakin menjauhkan mereka. Pada periode 1998-1999 PPRM dibawah komando kepolisian daerah POLDA digelar untuk menggantikan operasi-operasi keamanan sebelumnya. Setelah itu, Operasi Wibawa, Operasi Cinta Meunasah digelar oleh kepolisian, namun lagi-lagi hasilnya tidak dapat menuntaskan pemberontakan di Aceh.

            Masyarakat Aceh yang sebagian besar pada waktu itu menghendaki adanya referendum bagi Aceh seperti yang diberikan oleh Presiden B.J. Habibie dalam menyelesaikan kasus Timor Timur. Namun tuntutan ini tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah. Ketika Presiden B.J. Habibie mengunjungi Aceh pada 26 Maret 1999, beliau membuat sembilan janji kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh, Presiden B.J. Habibie meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga memerintahkan agar aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan dan pertumpahan darah. Selanjutnya Presiden di Masjid Baiturrahman Aceh memberikan janji kepada rakyat Aceh dengan perincian sebagai berikut : (Ahmad Farhan Hamid,Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006 hal 21-22)

1.      Melanjutkan program pembebasan narapidana yang terlibat aksi politik 1989-1998.
2.      Meminta pemerintah daerah Aceh untuk membongkar kuburan massal korban DOM dan menguburkan kembali sesuai syariat Islam dengan segala biaya di tanggung pemerintah.
3.      Memberikan bantuan kesejahteraan dalam bentuk beasiswa bagi anak yatim, penyaluran kredit usaha, modal kerja atau bantuan lainnya kepada para janda, korban perkosaan, cacat dan bentuk rehabilitas ekonomi maupun rehabilitas sosial lainnya.
4.      Merehabilitas dan membangun kembali bangunan-banguan desa-desa bekas wilayah operasi keamanan, termasuk rehabilitas mental spritual bagi semua ekses operasi keamanan.
5.      Meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, antara lain dengan meningkatkan status 85 madrasah swasta menjadi negeri, memberikan fasilitas yang memadai, mendirikan madrasah aliyah unggulan, memberikan lahan untuk praktik dan usaha Unsyiah, IAIN dan Pesantren.
6.      Menghidupkan kembali jaringan kereta api di Aceh.
7.      Mengembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang.
8.       Memperpanjang landasan pacu Bandara Iskandar Muda.
9.      Mengangkat 2.188 anak-anak korban DOM menjadi Pengawai Negeri Sipil tanpa testing.

            Wacana untuk pemberian syariat islam dan khususnya Aceh juga digagas pada masa era  pemerintahan B.J. Habibie. Gagasan ini dituangkan pada Undang-Undang N0 44 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Pasal 1 meneyebutkan bahwa keistimewaan Aceh adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pada tanggal 8 November 1999 diadakan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) di Banda Aceh. Sebagian masyarakat Aceh menuntut untuk referendum. Keputusan referendum tersebut diberikan batas waktu sampai 4 Desember 1999. Sampai batas waktu yang ditentukan, pemerintah tidak mampu memberikan jawaban yang pasti. Pada waktu itu diisukan akan terjadi perang besar-besaran di Aceh apabila pemerintah tidak bisa memberikan keputusan. Namun kalangan mahasiswa di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) misalnya, dengan tegas menyatakan, tidak akan terjadi perang besar-besaran di Serambi Mekkah pasca 4 Desember 1999. Kuncinya, menurut mahasiswa tetap pada TNI, bagaimana kalangan pimpinan militer itu bisa menjaga sikap dan emosional para prajuritnya di tingkat bawah. Artinya jika TNI tidak memberi tekanan terhadap rakyat Aceh, rakyat pun tidak akan melakukan perlawanan. Begitu juga dengan GAM, konsep perjuangan dan perlawanan terhadap TNI adalah menghindarkan bentrokan senjata. GAM selalu berusaha menarik pertempuran ke lokasi yang jauh dari perkampungan penduduk. (Pane, Neta. S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. Grasindo, Jakarta, hal. 190)

            Terhadap tuntutan referendum Aceh, pemerintah pusat tidak merespon dan menyetujui tuntutan tersebut. Salah satu alasannya karena takut Aceh akan lepas seperti kasus Timor Timur. Padahal sejak 1998 hingga 1999 di Aceh berkembang dua tuntutan yaitu referendum dan merdeka. Sementara wacana otonomi khusus tenggelam oleh kedua isu tersebut. Pada pertengahan 1999-2000 hampir seluruh lorong-lorong gampong- gampong, jalan-jalan, atap rumah, ditulis oleh masyarakat Aceh dengan tulisan referendum dan atau preemandum. Puncak dari tuntutan referendum itu terlihat dari rekomendasi musyawarah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) pada 13-14 September 1999 (Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) didirikan pada 14 sepetember 1999, keanggotaanya adalah para ulama seluruh Aceh. Ulama Dayah adalah ulama yang memimpim pesantren tradisionaldi Aceh) yang mengatakan bahwa penyelesaian Aceh hanya dapat dilakukan melalui referendum dengan dua opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan NKRI. Proses ini terjadi ketika pusat sedang sibuk menyiapkan pemilu 1999 dan semua perhatian tertuju kesana, akibatnya perkembangan konflik Aceh, sepertinya dibirakan berjalan dengan mekanismenya sendiri.

            Abdurrahman Wahid yang sebelumnya menjadi Presiden menyetujui referendum pada SU MPR bersama-sama dengan Amien Rais, ternyata setelah Abdurrahman Wahid menjabat Presiden dan Amien Rais sebagai ketua MPR, dukungan atas referendum Aceh tidak pernah diwujudkan. Janji referendum ini pernah ditagih oleh masyarakat Aceh, ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden (Mengenai hal ini dapat dilihat pada siaran Radia Nikoya di Banda Aceh yang menyatakan bahwa sebagian rakyat Aceh menagih janji referendum kepada Presiden Abdurrahman Wahid, sebagaimana dinyatakan oleh aktivis perempuan Aceh, bernama Evi Zaian dari Forum Organisasi Perempuan Aceh (FOPA) pada radioa Nikoya 106.15 FM yang didistribusikan pada 20 oktober 1999). Upaya untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh. Ketika pada 15 Mei 2000 Presiden Abdurrahaman Wahid berunding dengan GAM dan menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II. Jeda yang semula diharapkan bida membantu menyelesaiakan persoalan Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya) (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003). Jeda kemanusiaan ini dilanjutkan kearah moratotium. Namun, langkah ini pun tidak sanggup menghentikan kekerasan dan perang di Aceh.



            Akhirnya pada 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Intruksi Presiden Nomor IV Tahun 2001 tentang langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh. Menurut inpres ini, pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelesaiakan masalah Aceh adalah melalui politik, ekonomi, sosial dan hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan, serta informasi (Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 62). Inpres ini dikeluarkan terkait dengan eskalasi senjata TNI-GAM dan berhentinya operasi Exxon Mobil.

”.... pada 9 maret 2001 manajemen Exxon mobil di Aceh Utara mengumumkan menghentikan untuk sementara produksi tiga ladang gas alamnya, elite politik di Jakarta terperanjat. Apalagi faktor keamanan dijadikan alasan. Desakan terhadap penggunaan operasi militer segara berkumandang dari gedung wakil rakyat di Senayan. Para wakil rakyat menuding pemerintah terlalu memberi angin kepada Gerakan Aceh Merdeka yang jelas jelas ingin memisahkan diri dari NKRI. Jauh sebelum, para petinggi militer sudah menyampaikan keluhan di berbagai media mengenai sulitnya mereka bergerak akibat tidak adanya payung hukum. Sedang Polri dengan kekuatan pendukung Brimob, mulai kewalahan mengahdapi serangan GAM...”

            Dalam hal ini tak salah jika ada tekanan agar Inpres Nomor IV tahun 2001 di bidang keamanan diarahkan untuk memberikan kewenangan kepada TNI agar melakukan operasi militer terbatas, dan GAM disebut sebagai kelompok separatis. Sebelum inpres tersebut dikeluarkan, sekitar 15 kompi pasukan TNI sedang berlatih di Batujajar, Jawa Barat untuk diterjunkan ke Aceh. Sebelumnya, 2.500 personil dari berbagai kasatuan TNI sudah dikirim ke Aceh dengan mendompleng pengamanan Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke Serambi Mekah (Kompas, Exxon Mobil dan Gejolak Aceh, 24 September 2001). Penanganan bidang keamanan ini diberi nama Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum (OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, yang disebut sebagai operasi terbatas. (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003)

            Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid menggagas pemberian otonomi khusus kepada masyarakat Aceh yang gagasan ini tidak pernah diundangkan. Karena terlanjur dimakzulkan oleh MPR. Gagasan pemberian otonomi khusus akhirnya di undangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri, melalui UU No 18 tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan syariat Islam untuk Aceh. Selain itu, Presiden Megawati pada 11 Oktober 2001 memperpanjang Inpres No IV Tahun 2001 menjadi Inpres No VII Tahun 2001. inpres ini berisi enam langkah intruksi untuk menyelesaikan Aceh secara konprehensif di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan, serta informasi yang tidak jauh berbeda dengan inpres No IV Tahun 2001. (Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 110)

            Kedua inpres ini isinya sama tentang langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Langkah ini di anggap sebagai antitesis dari langkah yang dibangun oleh Presiden Abdurrahman Wahid, khusunya ketika ada jeda kemanusiaan I dan II hingga moratorium. Upaya itu sebagai suatu cara untuk menghentikan permusuhan dalam bentuk cease fire (gencatan senjata) tetapi di sisi lain operasi-operasi keamanan pun terus dilakukan. Di masa kepemimpinan Megawati saat ini konflik di Aceh juga mendapat perhatian khusus. Namun seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya, keputusan dalam penyelesaian kasus Aceh belum mencapai finalnya Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah telah menginstruksikan aparat keamanan untuk aktif menangani, mengatasi dan menghentikan aksi-aksi terorisme GAM. Pemerintah juga telah memberitahu masyarakat internasional bagaimana repotnya Indonesia menghadapi aksi terorisme di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood dan anggota DPR asal Aceh, Teuku Syaiful Ahmad menolak tindakan militer oleh pemerintah pusat. Sofyan meminta pemerintah untuk tidak merusak forum dialog yang telah dibangun untuk penyelesaian kasus Aceh (Kompas 5 Juli 2002).

            Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) Abdullah Puteh dan ketua DPRD NAD Muhammad Yus menyatakan pihaknya akan menanyakan kepada semua elemen masyarakat setempat apakah menerima atau menolak rencana pemerintah pusat untuk mengubah status dari tertib sipil menjadi darurat sipil atau darurat militer di provinsi itu. Sebaliknya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyampaikan kepada DPRD penolakan terhadap kemungkinan darurat militer (Kompas. 6 Juli 2002). Menurut Ketua MPR Amien Rais ada tiga solusi untuk mengatasi konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam. Pertama, pemerintah segera berunding dengan pihak GAM. Kedua, semua pasal dalam W NAD segera dilaksanakan. Ketiga, TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menindak tegas semua pelaku kekerasan dari kelompok mana pun. DPRD Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam menolak diberlakukannya status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Khusus untuk darurat militer alasannya adalah situasi di Aceh dikhawatirkan akan bertambah parah dan runyam karena sipil tidak dapat mengontrol aparat keamanan maupun aparat GAM. Selain itu dikhawatirkan timbul anarki yang berakibat luas dan berdampak pada citra TNI dan Polri. Menurut Said Muchsin perlu ada satu aturan main yang baru untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan yang ada di Aceh. DPRD Aceh mengimbau untuk maju ke meja perundingan dan menginginkan ditempuhnya cara-cara damai dalam pemyelesaian konflik di Aceh. DPRD Aceh juga mengharapkan agar GAM memiliki wacana hati nurani untuk mensejahterakan rakyat Aceh secara lahir dan batin. Amien Rais berpendapat taruhan terakhir untuk menyelesaikan masalah di Provinsi NAD adalah W No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam. Yang penting adalah bagaimana mengimplementasikan undang-undang itu secara murni dan konsekuen.

            Untuk meretas jalan bagi keamanan di Aceh, Pemerintahan Presiden Megawati pada 2 February 2002 melakukan perundingan di Swiss dengan pihak GAM untuk membahas tawaran otonomi khusus dan langkah awal pengehantian segela bentuk permusuhan. Pihak Gam menolak tawaran otonomi khusus, dan tidak bersedia dialog apabila dalam situasi tekanan. Akhirnya pada 9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM di Geneva, Swiss secara resmi menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA- Cessation of Hostilities Agreement) dan membentuk suatu Komite Keamanan Bersama Untuk memantau kesepakatan tersebut dengan mediator Henry Dunant Center (HDC). (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik aceh Pasca- DOM, 14 Mei 2003)
Berbagai LSM di Aceh berpendapat pemberlakuan darurat sipil ataupun darurat militer bukanlah ide terbaik bagi penyelesaian Aceh saat ini. Persoalan Aceh hams diselesaikan secara berkeadilan dan demokratis serta hares dijauhkan dari upaya-upaya penyelesaian lewat pendekatan militer. Menurut Rufriadi, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, pemberlakuan darurat sipil atau darurat militer bukanlah ide terbaik bagi penyelesaian Aceh saat ini. Lembaga Swadaya Masyarakat selalu mendorong untuk terjadinya proses-proses dialog yang sekarang telah terjadi antar pemerintah dan GAM dan berharap agar proses dialog tidak diganggu dengan wacan adarurat sipil atau darurat militer. Alasan penolakan terhadap pemberlakuan darurat militer adalah bahwa militer tidak bisa mencoba menyelesaikan masalah Aceh. Yang diinginkan oleh masyarakat Aceh adalah penyelesaian masalah secara bermartabat, berkeadilan dan dalam forum dialog. Hasil evaluasi sementara Menko Polkam selama tiga hari melakukan kunjungan ke Aceh menunjukkan ada tiga masalah mendasar yang perlu dicermati:

1.      operasi pemulihan keamanan harus ditingkatkan efektivitasnya supaya lebih cermat dan akurat yang dilengkapi dengan peralatan yang mendukung tugas mereka.
2.       pendekatan kesejahteraan harus dikonkretkan dan harus dirasakan oleh masyarakat Aceh.
3.      format dialog antara pemerintah dan GAM harus ditata kembali jika memang dialog tersebut akan berlanjut. Pemerintah juga mengingatkan Henry Dunant Centre (HDC) agar berpegang teguh pada mandat untuk menjadi mediator atau fasilitator dialog pemerintah dan GAM, baik pra dialog, saat dialog maupun setelah dialog.

            Ketika HDC bergerak terlalu jauh dengan melibatkan aktivis LSM/NGO, itu berarti HDC telah menyalahi mandatnya dan menjadi kurang netral. Saat ada konflik bare pemerintah dengan GAM, HDC malah menjustifikasi dan justru menjadi juru bicara GAM. Karena itu pemerintah mengingatkan HDC untuk kembali pada mandatnya. Menurut Gus Dur pemerintah tidak perlu membuat status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Menurutnya, kebijakan itu tidak akan menyelesaikan pertikaian di Aceh. Kalau diberlakukan darurat sipil atau darurat militer seperti yang dimaui tentara dan Polri, pasti akan ada perlawanan. Sebab, rakyat Aceh akan dipakai oleh GAM untuk melawan. Ia menyatakan satu-satunya jalan untuk menghentikan pertikaian di Aceh adalah dengan berunding dan menghentikan kekerasan. Sedangkan menurut Jenderal Ryamizard Ryacudu (KSAD) bahwa TM Angkatan Darat tidak perlu lagi berunding dengan GAM. Ia mengemukakan GAM adalah gerakan separatis yang sudah jelas ingin merusak keutuhan negara dan harus ditumpas habis. (Kompas 12 Juli 2002)

            Pemerintah kembali menghadapi kesulitan dalam menentukan langkah penyelesaian kasus Aceh. Pemerintah berjanji akan mengambil keputusan tentang penyelesaian masalah Aceh di awal Agustus 2002. Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono jika pihak GAM bersedia untuk tetap konsisten pada hasil dialog Geneva (Swiss), maka pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan bahwa dialog akan diteruskan. Sebelumnya di Sigli pada saat kunjungannya di Aceh, Menko Polkam mengatakan bahwa pemerintah ingin berdialog dengan pimpinan GAM di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood mengatakan kewenangan untuk melakukan dialog tersentral pada para juru runding GAM di Geneva (Swiss). Menurutnya GAM tidak bisa melaksanakan dialog apabila harus meletakkan senjata dan menerima UU Otonomi Khusus NAD. Pihak GAM juga tidak akan bersedia berdialog jika tidak melibatkan Henry Dunant Centre sebagai mediator. Dalam pidato "Progress Report" Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden Megawati menegaskan pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang lebih tegas terhadap gerakan separatis bersenjata GAM untuk menjamin terwujudnya keamanan dan keselamatan rakyat. Selama keinginan untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan aksi-aksi bersenjata serta teror terhadap masyarakat terus berlanjut, penyelesaian masalah Aceh akan semakin sulit terwujud.

            Pemerintah memberi batas waktu kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hingga setelah Ramadhan (awal Desember 2002) untuk memutuskan apakah akan meneruskan dialog dalam kerangka otonomi khusus dan penghentian konflik bersenjata atau tidak. Apabila GAM tidak menentukan sikap positifnya, pemerintah akan mengambil langkah keras dan tepat termasuk meningkatkan intensitas operasi pemulihan keamanan dan mempertahankan kedaulatan serta keutuhan Republik Indonesia. Juru bicara militer GAM Sofwan Dawood menyatakan pemerintah hendaknya tidak memaksa GAM untuk menerima Undang-undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD). Menurut Susilo Bambang Yudhoyono bahwa seharusnya sesuai kesepakatan Geneva 10 Mei 2002 pemerintah ingin GAM mengakui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang NAD. Pada April 2002 pemerintah melakukan konsultasi dengan Pemerintah Swedia agar mendorong para pemimpin GAM di Swedia melakukan dialog secara serius. Pemerintah juga melaksanakan pertemuan dengan Henry Dunant Centre beserta para konsultannya di Singapura, Jakarta, dan Aceh pada Agustus 2002 untuk mematangkan kesepakatan Geneva. Menurut Yudhoyono pemerintah tetap menghendaki penyelesaian komprehensif dalam soal Aceh dengan lima pendekatan: pemulihan keamanan, penegakan hukum dan HAM, percepatan pembangunan social ekonomi, dialog dengan beberapa syarat diantaranya rehabilitasi dan rekonsiliasi, dan amnesti. Menanggapi ajakan dialog dengan pemerintah, pihak GAM melalui Sofwan Dawood mengatakan bahwa GAM menolak UU NAD. Keberatan GAM menerima UU NAD karena GAM menuntut kemerdekaan dari tangan Indonesia menurut prosedur internasional. Terhadap sikap pemerintah yang memberi waktu hingga Ramadhan, Sofwan Dawood mengatakan tidal ( perlu menunggu hingga Ramadhan untuk berdialog. Pihak GAM siap apabila bulan Agustus ini diajak berdialog dengan Pemerintah (Kompas, 20 agustus 2002).

            Menurut pengamat militer Kusnanto Anggoro dan Wakil Ketua MPR Agus Widjojo bahwa penyelesaian masalah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam tidak bisa hanya mengandalkan keberhasilan operasi militer. Operasi militer hanya sebagian kecil dari kebijakan penanganan Aceh secara keseluruhan. Penyelesaian Aceh justru terletak pada koordinasi antar lembaga dan penanganan berbagai sektor secara komprehensif dan sinergis. Intervensi pihak militer atas CoHa terlihat gamblang dua minggu menjelang gagalnya pertemuan CoHA, 28 Arpril 2003 di Tokyo Jepang. Bahkan antisipasi gagalnya CoHA tampak ketika kurang dari dua minggu, pasukan organik telah dikirim ke Aceh (Moch, Nurhasyim. (ed) Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh 2003-2004. Jakarta P2P LIPI, 2006). Akhirnya pada 19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarnoputeri mengeluarkan keputusan Presiden No 28 Tahun 2003 tentang peningkatan keadaan status di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Pendekatan militer ini pun tidak berhasil menyelesaiakan masalah separatisme Aceh. Meskipun dari segi jumlah TNI yang dikirimkan lebih dari 50 ribu pasukan, karena prinsip pendekatan yang dianut dalam memerangi separatisme yang menggunakan taktik perang gerilya adalah 1:10. dengan biaya jumlah pasukan yang cukup besar dan hampir dalam waktu satu tahun (19 Mei 2003- 18 Mei 2004) ternyata eksistensi GAM tidak dapat ditumpas.

            Upaya untuk menumpas pemberontakan GAM, baik di masa Presiden Abdurrahman Wahid maupun Megawati, tampaknya kurang membuahkan hasil. Sejumlah faktor menjadi kendala, pertama infrastruktur pembangunan tidak berjalan dan pemerintah daerah tidak bekerja secara maksimal. Pemerintah daerah tidak berkerja karena situasi keamanan yang tidak memungkinkan bagi mereka. Hal ini berlangsung hingga tahun 2003, salah seorang pejabat di Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh timur mengatakan bahwa pemerintah bekerja dengan cara yang tidak sewajarnya, karena takut diteror dan dibunuh oleh kelompok pemberontakan. Kedua, masih kentalnya pendekatan operasi-operasi keamanan dalam menyelesaikan konflik Aceh. Ketiga, kebijakan yang sifatnya untuk membangun ekonomi sulit dilaksanakan karena pemerintahan daerah lumpuh, akibat konflik yang berlarut-larut. Keempat, walaupun telah ada gencatan senjata pada maa Megawati Soekarnoputeri melalui CoHA antara Pemerintah RI dengan GAM, Namun butir-butirnya sulit diimplemtasikan di lapangan. Kegagalan pendekatan penyelesaian separatisme di Aceh sejak Orde Baru hingga Presiden Megawati Soekarnoputeri, tampak dalam tabel berikut ini (Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008 hl 104):


Kegagalan Penyelesaian Konflik Sebelum Perundingan Helsinki
Periode
Pemerintahan
Kebijaksanaan Penyelesesaian
Konflik Aceh
Hasil/ Dampak
Presiden Soeharto (1976-1998)
Pendekatan militer dengan menekankan pada Operasi Jaringan Merah untuk menumbuhkan GAM (1990-1995)
1. Stabilitas keamanan dan politik di Aceh terjamin. GAM menyingkirkan keluar negeri
2. Dampaknya, hancur kekerasan dan pelanggaran HAM.
3. Muncul generasi dendam yang mendukung GAM.
Presiden Habibie
(1998-1999)
Kombinasi pendekatan antara operasi keamanan dengan kebijakan politik.
Sebagai besar operasi keamanan yang dilakukan tidak efektif mengurangi atau mengahmbat pertumbuhan GAM. Kebijakan politik. 10 program Habibie untuk Aceh tidak dapat dilaksanakan karena yang bersangkutan hanya kurang dari satu tahun menjadi presiden.
Presiden Abdurrahman Wahid
1. Jeda Kemanusiaan
2. Pengehentian permusuhan (CoHA)
3. Inpres IV/2001 untuk penanganan masalah konflik Aceh
4. Otonomi Khusus Bagi Aceh
1. Langkah dan janji Habibie tidak diteruskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
2. Jeda Kemanusiaan tidak efektif untuk menghentikan kekerasan.
3. CoHA mengalami kegagalan karenagencatan senjata yang menjadi acuan uatamanya tidak diindahkan oleh kedua belah pihak.
Presiden Megawati Soekarnoputeri
1. Otonomi Khusus Aceh, UU No 18 tahun 2001
2. Inpres No VII/2001 tentang penanganan masalah konflik Aceh.
3. Melanjutkan CoHA.
4. Darurrat militer di Aceh, Kepres No 23/2003 berlaku 19 Mei 2003 dan berakhir 18 Mei 2004
1. pemberian otonomi khusus tidak dapat meredam tuntutan kemerdekaan dari GAM, karena prosesnya ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan kelompok GAM.
2. Inpres No VII/2001 tidak dapat berjalan maksimal, karena program penanganan konflik melalui CoHA untuk penghentian permusuhan tidak dijadikan sebagai dasar kebijakan utama.
3. CoHA gagal karena orientasi pemerintah pusat yang memandang CoHA sebagai keturunan GAM untuk memperbesar kelompoknya.
4. Operasi terpadu melalui darurat militer gagal diakukan karena operasi terpadu pincang, lebih pada operasi militer, kurang disertai oleh operasi kemanusiaan, peningkatan kinerja pemerintahan dan operasi penegakan hukum.




Sumber: Muhammad Jafar. AW (2009), Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis - Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro

0 comments: