Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan
Konflik Di Aceh
Meskipun status DOM telah dicabut
pada akhir Juli 1998 dan secara resmi diumumkan pencabutan DOM pada tanggal 7
Agustus 1998 oleh Jenderal Wiranto sebagai Menhankam/Panglima TM di depan
sejumlah ulama di kota Lhokseumawe Aceh Utara, namun kondisi Aceh semakin hari
semakin bertambah sulit. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang dikirim
pemerintah pusat pasca DOM telah ditarik kesatuannya masing-masing serta
diadakannya penandatanganan kesepakatan Jeda Kemanusiaan di Jenewa tanggal 12
Mei sampai 15 Januari 2001 dan sejumlah solusi-solusi lain yang sedang diproses
bahkan telah dilakukan juga belum memberi perubahan yang signifikan pada suhu
konflik di Aceh.
Pasukan Penindak Rusuh Massa ,
Operasi Wibawa, Operasi Meunasah, dibawah komando Polri yang tidak disertai
dengan tujuan yang pasti dan langkah-langkah yang konkret, menyebabkan dampak
serius bagi masyarakat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada
Indonesia, tetapi semakin menjauhkan mereka. Pada periode 1998-1999 PPRM
dibawah komando kepolisian daerah POLDA digelar untuk menggantikan
operasi-operasi keamanan sebelumnya. Setelah itu, Operasi Wibawa, Operasi Cinta
Meunasah digelar oleh kepolisian, namun lagi-lagi hasilnya tidak dapat
menuntaskan pemberontakan di Aceh.
Masyarakat Aceh yang sebagian besar
pada waktu itu menghendaki adanya referendum bagi Aceh seperti yang diberikan
oleh Presiden B.J. Habibie dalam menyelesaikan kasus Timor Timur. Namun
tuntutan ini tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah. Ketika Presiden B.J.
Habibie mengunjungi Aceh pada 26 Maret 1999, beliau membuat sembilan janji
kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh, Presiden B.J. Habibie
meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga memerintahkan agar aparat
keamanan tidak melakukan tindak kekerasan dan pertumpahan darah. Selanjutnya
Presiden di Masjid Baiturrahman Aceh memberikan janji kepada rakyat Aceh dengan
perincian sebagai berikut : (Ahmad Farhan Hamid,Jalan Damai Nanggroe Endatu
Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006 hal 21-22)
1. Melanjutkan program pembebasan
narapidana yang terlibat aksi politik 1989-1998.
2. Meminta pemerintah daerah Aceh untuk
membongkar kuburan massal korban DOM dan menguburkan kembali sesuai syariat Islam
dengan segala biaya di tanggung pemerintah.
3. Memberikan bantuan kesejahteraan
dalam bentuk beasiswa bagi anak yatim, penyaluran kredit usaha, modal kerja
atau bantuan lainnya kepada para janda, korban perkosaan, cacat dan bentuk
rehabilitas ekonomi maupun rehabilitas sosial lainnya.
4. Merehabilitas dan membangun kembali
bangunan-banguan desa-desa bekas wilayah operasi keamanan, termasuk rehabilitas
mental spritual bagi semua ekses operasi keamanan.
5. Meningkatkan mutu pendidikan di
Aceh, antara lain dengan meningkatkan status 85 madrasah swasta menjadi negeri,
memberikan fasilitas yang memadai, mendirikan madrasah aliyah unggulan,
memberikan lahan untuk praktik dan usaha Unsyiah, IAIN dan Pesantren.
6. Menghidupkan kembali jaringan kereta
api di Aceh.
7. Mengembangkan Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu Sabang.
8. Memperpanjang landasan pacu Bandara Iskandar
Muda.
9. Mengangkat 2.188 anak-anak korban
DOM menjadi Pengawai Negeri Sipil tanpa testing.
Wacana untuk pemberian syariat islam
dan khususnya Aceh juga digagas pada masa era pemerintahan B.J. Habibie. Gagasan ini
dituangkan pada Undang-Undang N0 44 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan
keistimewaan Aceh. Pasal 1 meneyebutkan bahwa keistimewaan Aceh adalah
kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan
dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pada tanggal 8 November 1999
diadakan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) di Banda Aceh.
Sebagian masyarakat Aceh menuntut untuk referendum. Keputusan referendum
tersebut diberikan batas waktu sampai 4 Desember 1999. Sampai batas waktu yang
ditentukan, pemerintah tidak mampu memberikan jawaban yang pasti. Pada waktu
itu diisukan akan terjadi perang besar-besaran di Aceh apabila pemerintah tidak
bisa memberikan keputusan. Namun kalangan mahasiswa di Sentral Informasi
Referendum Aceh (SIRA) misalnya, dengan tegas menyatakan, tidak akan terjadi
perang besar-besaran di Serambi Mekkah pasca 4 Desember 1999. Kuncinya, menurut
mahasiswa tetap pada TNI, bagaimana kalangan pimpinan militer itu bisa menjaga
sikap dan emosional para prajuritnya di tingkat bawah. Artinya jika TNI tidak
memberi tekanan terhadap rakyat Aceh, rakyat pun tidak akan melakukan
perlawanan. Begitu juga dengan GAM, konsep perjuangan dan perlawanan terhadap
TNI adalah menghindarkan bentrokan senjata. GAM selalu berusaha menarik
pertempuran ke lokasi yang jauh dari perkampungan penduduk. (Pane, Neta.
S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan
Impian. Grasindo, Jakarta, hal. 190)
Terhadap tuntutan referendum Aceh,
pemerintah pusat tidak merespon dan menyetujui tuntutan tersebut. Salah satu
alasannya karena takut Aceh akan lepas seperti kasus Timor Timur. Padahal sejak
1998 hingga 1999 di Aceh berkembang dua tuntutan yaitu referendum dan merdeka.
Sementara wacana otonomi khusus tenggelam oleh kedua isu tersebut. Pada
pertengahan 1999-2000 hampir seluruh lorong-lorong gampong- gampong,
jalan-jalan, atap rumah, ditulis oleh masyarakat Aceh dengan tulisan referendum
dan atau preemandum. Puncak dari tuntutan referendum itu terlihat dari
rekomendasi musyawarah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) pada 13-14 September
1999 (Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) didirikan pada 14 sepetember 1999,
keanggotaanya adalah para ulama seluruh Aceh. Ulama Dayah adalah ulama yang
memimpim pesantren tradisionaldi Aceh) yang mengatakan bahwa penyelesaian Aceh
hanya dapat dilakukan melalui referendum dengan dua opsi yaitu merdeka atau
tetap bergabung dengan NKRI. Proses ini terjadi ketika pusat sedang sibuk
menyiapkan pemilu 1999 dan semua perhatian tertuju kesana, akibatnya
perkembangan konflik Aceh, sepertinya dibirakan berjalan dengan mekanismenya
sendiri.
Abdurrahman Wahid yang sebelumnya
menjadi Presiden menyetujui referendum pada SU MPR bersama-sama dengan Amien
Rais, ternyata setelah Abdurrahman Wahid menjabat Presiden dan Amien Rais
sebagai ketua MPR, dukungan atas referendum Aceh tidak pernah diwujudkan. Janji
referendum ini pernah ditagih oleh masyarakat Aceh, ketika Abdurrahman Wahid
terpilih sebagai presiden (Mengenai hal ini dapat dilihat pada siaran Radia
Nikoya di Banda Aceh yang menyatakan bahwa sebagian rakyat Aceh menagih janji
referendum kepada Presiden Abdurrahman Wahid, sebagaimana dinyatakan oleh
aktivis perempuan Aceh, bernama Evi Zaian dari Forum Organisasi Perempuan Aceh
(FOPA) pada radioa Nikoya 106.15 FM yang didistribusikan pada 20 oktober 1999). Upaya
untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh. Ketika pada 15 Mei 2000
Presiden Abdurrahaman Wahid berunding dengan GAM dan menandatangani Jeda
Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah
berakhir masanya, program ini dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda
Kemanusiaan II. Jeda yang semula diharapkan bida membantu menyelesaiakan persoalan
Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam Tim
tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup
jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya) (Sinar
Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003). Jeda
kemanusiaan ini dilanjutkan kearah moratotium. Namun, langkah ini pun tidak
sanggup menghentikan kekerasan dan perang di Aceh.
Akhirnya pada 11 April 2001, Presiden
Abdurrahman Wahid menetapkan Intruksi Presiden Nomor IV Tahun 2001 tentang
langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh. Menurut inpres ini,
pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelesaiakan masalah Aceh adalah
melalui politik, ekonomi, sosial dan hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan,
serta informasi (Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu,
catatan seorang wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 62).
Inpres ini dikeluarkan terkait dengan eskalasi senjata TNI-GAM dan berhentinya
operasi Exxon Mobil.
”.... pada 9 maret 2001 manajemen Exxon mobil di Aceh
Utara mengumumkan menghentikan untuk sementara produksi tiga ladang gas
alamnya, elite politik di Jakarta terperanjat. Apalagi faktor keamanan
dijadikan alasan. Desakan terhadap penggunaan operasi militer segara
berkumandang dari gedung wakil rakyat di Senayan. Para wakil rakyat menuding
pemerintah terlalu memberi angin kepada Gerakan Aceh Merdeka yang jelas jelas
ingin memisahkan diri dari NKRI. Jauh sebelum, para petinggi militer sudah
menyampaikan keluhan di berbagai media mengenai sulitnya mereka bergerak akibat
tidak adanya payung hukum. Sedang Polri dengan kekuatan pendukung Brimob, mulai
kewalahan mengahdapi serangan GAM...”
Dalam hal ini tak salah jika ada
tekanan agar Inpres Nomor IV tahun 2001 di bidang keamanan diarahkan untuk
memberikan kewenangan kepada TNI agar melakukan operasi militer terbatas, dan
GAM disebut sebagai kelompok separatis. Sebelum inpres tersebut dikeluarkan,
sekitar 15 kompi pasukan TNI sedang berlatih di Batujajar, Jawa Barat untuk
diterjunkan ke Aceh. Sebelumnya, 2.500 personil dari berbagai kasatuan TNI
sudah dikirim ke Aceh dengan mendompleng pengamanan Presiden Abdurrahman Wahid
ketika berkunjung ke Serambi Mekah (Kompas, Exxon Mobil dan Gejolak Aceh, 24
September 2001). Penanganan bidang keamanan ini diberi nama Operasi Keamanan
dan Penegakan Hukum (OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, yang disebut
sebagai operasi terbatas. (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh
Pasca DOM, 14 Mei 2003)
Selanjutnya, Presiden Abdurrahman
Wahid menggagas pemberian otonomi khusus kepada masyarakat Aceh yang gagasan
ini tidak pernah diundangkan. Karena terlanjur dimakzulkan oleh MPR. Gagasan
pemberian otonomi khusus akhirnya di undangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri,
melalui UU No 18 tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan syariat
Islam untuk Aceh. Selain itu, Presiden Megawati pada 11 Oktober 2001
memperpanjang Inpres No IV Tahun 2001 menjadi Inpres No VII Tahun 2001. inpres
ini berisi enam langkah intruksi untuk menyelesaikan Aceh secara konprehensif
di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan,
serta informasi yang tidak jauh berbeda dengan inpres No IV Tahun 2001. (Ahmad
Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat
Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 110)
Kedua inpres ini isinya sama tentang
langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh, baik di bidang
ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Langkah ini di anggap sebagai antitesis
dari langkah yang dibangun oleh Presiden Abdurrahman Wahid, khusunya ketika ada
jeda kemanusiaan I dan II hingga moratorium. Upaya itu sebagai suatu cara untuk
menghentikan permusuhan dalam bentuk cease fire (gencatan senjata) tetapi di
sisi lain operasi-operasi keamanan pun terus dilakukan. Di masa kepemimpinan
Megawati saat ini konflik di Aceh juga mendapat perhatian khusus. Namun seperti
pemimpin-pemimpin sebelumnya, keputusan dalam penyelesaian kasus Aceh belum
mencapai finalnya Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah
telah menginstruksikan aparat keamanan untuk aktif menangani, mengatasi dan
menghentikan aksi-aksi terorisme GAM. Pemerintah juga telah memberitahu
masyarakat internasional bagaimana repotnya Indonesia menghadapi aksi terorisme
di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood dan anggota DPR asal Aceh, Teuku Syaiful
Ahmad menolak tindakan militer oleh pemerintah pusat. Sofyan meminta pemerintah
untuk tidak merusak forum dialog yang telah dibangun untuk penyelesaian kasus Aceh
(Kompas 5 Juli 2002).
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalaam (NAD) Abdullah Puteh dan ketua DPRD NAD Muhammad Yus menyatakan
pihaknya akan menanyakan kepada semua elemen masyarakat setempat apakah
menerima atau menolak rencana pemerintah pusat untuk mengubah status dari
tertib sipil menjadi darurat sipil atau darurat militer di provinsi itu.
Sebaliknya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyampaikan kepada DPRD
penolakan terhadap kemungkinan darurat militer (Kompas. 6 Juli 2002). Menurut
Ketua MPR Amien Rais ada tiga solusi untuk mengatasi konflik di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalaam. Pertama, pemerintah segera berunding dengan pihak
GAM. Kedua, semua pasal dalam W NAD segera dilaksanakan. Ketiga, TNI dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia menindak tegas semua pelaku kekerasan dari
kelompok mana pun. DPRD Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam menolak
diberlakukannya status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Khusus untuk
darurat militer alasannya adalah situasi di Aceh dikhawatirkan akan bertambah
parah dan runyam karena sipil tidak dapat mengontrol aparat keamanan maupun
aparat GAM. Selain itu dikhawatirkan timbul anarki yang berakibat luas dan
berdampak pada citra TNI dan Polri. Menurut Said Muchsin perlu ada satu aturan
main yang baru untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan yang ada di Aceh.
DPRD Aceh mengimbau untuk maju ke meja perundingan dan menginginkan ditempuhnya
cara-cara damai dalam pemyelesaian konflik di Aceh. DPRD Aceh juga mengharapkan
agar GAM memiliki wacana hati nurani untuk mensejahterakan rakyat Aceh secara
lahir dan batin. Amien Rais berpendapat taruhan terakhir untuk menyelesaikan
masalah di Provinsi NAD adalah W No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam. Yang
penting adalah bagaimana mengimplementasikan undang-undang itu secara murni dan
konsekuen.
Untuk meretas jalan bagi keamanan di
Aceh, Pemerintahan Presiden Megawati pada 2 February 2002 melakukan perundingan
di Swiss dengan pihak GAM untuk membahas tawaran otonomi khusus dan langkah
awal pengehantian segela bentuk permusuhan. Pihak Gam menolak tawaran otonomi
khusus, dan tidak bersedia dialog apabila dalam situasi tekanan. Akhirnya pada
9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM di Geneva, Swiss secara resmi menandatangani
Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA- Cessation of Hostilities Agreement)
dan membentuk suatu Komite Keamanan Bersama Untuk memantau kesepakatan tersebut
dengan mediator Henry Dunant Center (HDC). (Sinar Harapan, Upaya-Upaya
Penyelesaian Konflik aceh Pasca- DOM, 14 Mei 2003)
Berbagai LSM di Aceh berpendapat
pemberlakuan darurat sipil ataupun darurat militer bukanlah ide terbaik bagi
penyelesaian Aceh saat ini. Persoalan Aceh hams diselesaikan secara berkeadilan
dan demokratis serta hares dijauhkan dari upaya-upaya penyelesaian lewat
pendekatan militer. Menurut Rufriadi, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Banda
Aceh, pemberlakuan darurat sipil atau darurat militer bukanlah ide terbaik bagi
penyelesaian Aceh saat ini. Lembaga Swadaya Masyarakat selalu mendorong untuk
terjadinya proses-proses dialog yang sekarang telah terjadi antar pemerintah
dan GAM dan berharap agar proses dialog tidak diganggu dengan wacan adarurat
sipil atau darurat militer. Alasan penolakan terhadap pemberlakuan darurat
militer adalah bahwa militer tidak bisa mencoba menyelesaikan masalah Aceh.
Yang diinginkan oleh masyarakat Aceh adalah penyelesaian masalah secara
bermartabat, berkeadilan dan dalam forum dialog. Hasil evaluasi sementara Menko
Polkam selama tiga hari melakukan kunjungan ke Aceh menunjukkan ada tiga
masalah mendasar yang perlu dicermati:
1. operasi pemulihan keamanan harus
ditingkatkan efektivitasnya supaya lebih cermat dan akurat yang dilengkapi
dengan peralatan yang mendukung tugas mereka.
2. pendekatan kesejahteraan harus dikonkretkan
dan harus dirasakan oleh masyarakat Aceh.
3. format dialog antara pemerintah dan
GAM harus ditata kembali jika memang dialog tersebut akan berlanjut. Pemerintah
juga mengingatkan Henry Dunant Centre (HDC) agar berpegang teguh pada mandat
untuk menjadi mediator atau fasilitator dialog pemerintah dan GAM, baik pra
dialog, saat dialog maupun setelah dialog.
Ketika HDC bergerak terlalu jauh
dengan melibatkan aktivis LSM/NGO, itu berarti HDC telah menyalahi mandatnya
dan menjadi kurang netral. Saat ada konflik bare pemerintah dengan GAM, HDC
malah menjustifikasi dan justru menjadi juru bicara GAM. Karena itu pemerintah
mengingatkan HDC untuk kembali pada mandatnya. Menurut Gus Dur pemerintah tidak
perlu membuat status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Menurutnya,
kebijakan itu tidak akan menyelesaikan pertikaian di Aceh. Kalau diberlakukan
darurat sipil atau darurat militer seperti yang dimaui tentara dan Polri, pasti
akan ada perlawanan. Sebab, rakyat Aceh akan dipakai oleh GAM untuk melawan. Ia
menyatakan satu-satunya jalan untuk menghentikan pertikaian di Aceh adalah
dengan berunding dan menghentikan kekerasan. Sedangkan menurut Jenderal
Ryamizard Ryacudu (KSAD) bahwa TM Angkatan Darat tidak perlu lagi berunding
dengan GAM. Ia mengemukakan GAM adalah gerakan separatis yang sudah jelas ingin
merusak keutuhan negara dan harus ditumpas habis. (Kompas 12 Juli 2002)
Pemerintah kembali menghadapi
kesulitan dalam menentukan langkah penyelesaian kasus Aceh. Pemerintah berjanji
akan mengambil keputusan tentang penyelesaian masalah Aceh di awal Agustus
2002. Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono jika pihak GAM bersedia
untuk tetap konsisten pada hasil dialog Geneva (Swiss), maka pemerintah
Indonesia akan mempertimbangkan bahwa dialog akan diteruskan. Sebelumnya di
Sigli pada saat kunjungannya di Aceh, Menko Polkam mengatakan bahwa pemerintah
ingin berdialog dengan pimpinan GAM di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood
mengatakan kewenangan untuk melakukan dialog tersentral pada para juru runding
GAM di Geneva (Swiss). Menurutnya GAM tidak bisa melaksanakan dialog apabila
harus meletakkan senjata dan menerima UU Otonomi Khusus NAD. Pihak GAM juga
tidak akan bersedia berdialog jika tidak melibatkan Henry Dunant Centre sebagai
mediator. Dalam pidato "Progress Report" Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden Megawati menegaskan pemerintah akan mengambil
langkah-langkah yang lebih tegas terhadap gerakan separatis bersenjata GAM
untuk menjamin terwujudnya keamanan dan keselamatan rakyat. Selama keinginan
untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
aksi-aksi bersenjata serta teror terhadap masyarakat terus berlanjut,
penyelesaian masalah Aceh akan semakin sulit terwujud.
Pemerintah memberi batas waktu kepada
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hingga setelah Ramadhan (awal Desember 2002) untuk
memutuskan apakah akan meneruskan dialog dalam kerangka otonomi khusus dan
penghentian konflik bersenjata atau tidak. Apabila GAM tidak menentukan sikap
positifnya, pemerintah akan mengambil langkah keras dan tepat termasuk
meningkatkan intensitas operasi pemulihan keamanan dan mempertahankan
kedaulatan serta keutuhan Republik Indonesia. Juru bicara militer GAM Sofwan
Dawood menyatakan pemerintah hendaknya tidak memaksa GAM untuk menerima
Undang-undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD). Menurut Susilo
Bambang Yudhoyono bahwa seharusnya sesuai kesepakatan Geneva 10 Mei 2002
pemerintah ingin GAM mengakui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang NAD. Pada April
2002 pemerintah melakukan konsultasi dengan Pemerintah Swedia agar mendorong
para pemimpin GAM di Swedia melakukan dialog secara serius. Pemerintah juga
melaksanakan pertemuan dengan Henry Dunant Centre beserta para konsultannya di
Singapura, Jakarta, dan Aceh pada Agustus 2002 untuk mematangkan kesepakatan
Geneva. Menurut Yudhoyono pemerintah tetap menghendaki penyelesaian
komprehensif dalam soal Aceh dengan lima pendekatan: pemulihan keamanan,
penegakan hukum dan HAM, percepatan pembangunan social ekonomi, dialog dengan
beberapa syarat diantaranya rehabilitasi dan rekonsiliasi, dan amnesti.
Menanggapi ajakan dialog dengan pemerintah, pihak GAM melalui Sofwan Dawood
mengatakan bahwa GAM menolak UU NAD. Keberatan GAM menerima UU NAD karena GAM
menuntut kemerdekaan dari tangan Indonesia menurut prosedur internasional.
Terhadap sikap pemerintah yang memberi waktu hingga Ramadhan, Sofwan Dawood
mengatakan tidal ( perlu menunggu hingga Ramadhan untuk berdialog. Pihak GAM
siap apabila bulan Agustus ini diajak berdialog dengan Pemerintah (Kompas, 20
agustus 2002).
Menurut pengamat militer Kusnanto
Anggoro dan Wakil Ketua MPR Agus Widjojo bahwa penyelesaian masalah di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalaam tidak bisa hanya mengandalkan keberhasilan operasi
militer. Operasi militer hanya sebagian kecil dari kebijakan penanganan Aceh
secara keseluruhan. Penyelesaian Aceh justru terletak pada koordinasi antar
lembaga dan penanganan berbagai sektor secara komprehensif dan sinergis. Intervensi
pihak militer atas CoHa terlihat gamblang dua minggu menjelang gagalnya
pertemuan CoHA, 28 Arpril 2003 di Tokyo Jepang. Bahkan antisipasi gagalnya CoHA
tampak ketika kurang dari dua minggu, pasukan organik telah dikirim ke Aceh (Moch,
Nurhasyim. (ed) Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh 2003-2004. Jakarta
P2P LIPI, 2006). Akhirnya pada 19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarnoputeri
mengeluarkan keputusan Presiden No 28 Tahun 2003 tentang peningkatan keadaan
status di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Pendekatan militer ini pun tidak
berhasil menyelesaiakan masalah separatisme Aceh. Meskipun dari segi jumlah TNI
yang dikirimkan lebih dari 50 ribu pasukan, karena prinsip pendekatan yang
dianut dalam memerangi separatisme yang menggunakan taktik perang gerilya
adalah 1:10. dengan biaya jumlah pasukan yang cukup besar dan hampir dalam
waktu satu tahun (19 Mei 2003- 18 Mei 2004) ternyata eksistensi GAM tidak dapat
ditumpas.
Upaya untuk menumpas pemberontakan
GAM, baik di masa Presiden Abdurrahman Wahid maupun Megawati, tampaknya kurang
membuahkan hasil. Sejumlah faktor menjadi kendala, pertama infrastruktur
pembangunan tidak berjalan dan pemerintah daerah tidak bekerja secara maksimal.
Pemerintah daerah tidak berkerja karena situasi keamanan yang tidak
memungkinkan bagi mereka. Hal ini berlangsung hingga tahun 2003, salah seorang
pejabat di Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh timur mengatakan bahwa pemerintah
bekerja dengan cara yang tidak sewajarnya, karena takut diteror dan dibunuh
oleh kelompok pemberontakan. Kedua, masih kentalnya pendekatan operasi-operasi
keamanan dalam menyelesaikan konflik Aceh. Ketiga, kebijakan yang sifatnya
untuk membangun ekonomi sulit dilaksanakan karena pemerintahan daerah lumpuh,
akibat konflik yang berlarut-larut. Keempat, walaupun telah ada gencatan
senjata pada maa Megawati Soekarnoputeri melalui CoHA antara Pemerintah RI
dengan GAM, Namun butir-butirnya sulit diimplemtasikan di lapangan. Kegagalan
pendekatan penyelesaian separatisme di Aceh sejak Orde Baru hingga Presiden
Megawati Soekarnoputeri, tampak dalam tabel berikut ini (Ikrar Nusa
Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki,
Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008 hl 104):
Kegagalan Penyelesaian Konflik Sebelum Perundingan
Helsinki
Periode
Pemerintahan
|
Kebijaksanaan Penyelesesaian
Konflik Aceh
|
Hasil/ Dampak
|
Presiden Soeharto (1976-1998)
|
Pendekatan
militer dengan menekankan pada Operasi Jaringan Merah untuk menumbuhkan GAM
(1990-1995)
|
1.
Stabilitas keamanan dan politik di Aceh terjamin. GAM menyingkirkan keluar
negeri
2.
Dampaknya, hancur kekerasan dan pelanggaran HAM.
3. Muncul
generasi dendam yang mendukung GAM.
|
Presiden Habibie
(1998-1999)
|
Kombinasi
pendekatan antara operasi keamanan dengan kebijakan politik.
|
Sebagai
besar operasi keamanan yang dilakukan tidak efektif mengurangi atau
mengahmbat pertumbuhan GAM. Kebijakan politik. 10 program Habibie untuk Aceh
tidak dapat dilaksanakan karena yang bersangkutan hanya kurang dari satu
tahun menjadi presiden.
|
Presiden Abdurrahman Wahid
|
1. Jeda
Kemanusiaan
2.
Pengehentian permusuhan (CoHA)
3. Inpres
IV/2001 untuk penanganan masalah konflik Aceh
4. Otonomi
Khusus Bagi Aceh
|
1. Langkah
dan janji Habibie tidak diteruskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
2. Jeda
Kemanusiaan tidak efektif untuk menghentikan kekerasan.
3. CoHA
mengalami kegagalan karenagencatan senjata yang menjadi acuan uatamanya tidak
diindahkan oleh kedua belah pihak.
|
Presiden Megawati Soekarnoputeri
|
1. Otonomi
Khusus Aceh, UU No 18 tahun 2001
2. Inpres
No VII/2001 tentang penanganan masalah konflik Aceh.
3.
Melanjutkan CoHA.
4.
Darurrat militer di Aceh, Kepres No 23/2003 berlaku 19 Mei 2003 dan berakhir
18 Mei 2004
|
1.
pemberian otonomi khusus tidak dapat meredam tuntutan kemerdekaan dari GAM,
karena prosesnya ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan kelompok
GAM.
2. Inpres
No VII/2001 tidak dapat berjalan maksimal, karena program penanganan konflik
melalui CoHA untuk penghentian permusuhan tidak dijadikan sebagai dasar
kebijakan utama.
3. CoHA
gagal karena orientasi pemerintah pusat yang memandang CoHA sebagai keturunan
GAM untuk memperbesar kelompoknya.
4. Operasi
terpadu melalui darurat militer gagal diakukan karena operasi terpadu
pincang, lebih pada operasi militer, kurang disertai oleh operasi
kemanusiaan, peningkatan kinerja pemerintahan dan operasi penegakan hukum.
|
Sumber: Muhammad Jafar. AW (2009), Perkembangan
Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Tesis - Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro
0 comments:
Post a Comment