Tuesday, August 23, 2016

Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia


Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government).
Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis. Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Didalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.
 Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat. Pemilihan umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam system politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan ayng berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadic dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional. Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat tau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966).
Dan ketiga, dalam dunia modern para pengusa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana control dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi. Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrsi itu sendiri. Pemilihan akan system pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari system pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada didalam masyarkat serta sejarah yang mempengaruhinya. Pemilu di Indonesia Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol.
Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif. Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakilnya BJ Habiebie memulai babak baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Tidak adanya legitimasi dari para anggota legislative produk pemilu 1997 pada mas Orde Baru mengakibatkan banyaknya tuntutan untuk segera melaksanakan pemilu pada saat itu. BJ Habiebie sebagai pengganti Soeharto secara konstitusional kemudian memiliki tugas utama yakni menyelenggarakan pemilu. langkah awal Habiebie pada saat itu adalah membentuk Tim Tujuh yang bertugas untuk mempersiapkan pemilu secara segera.
Selain itu juga, Golkar yang merupakan produk kekuasaan Orde Baru kemudian memepersiapkan diri menjadi partai politik baru, serta perpecahan PPP menjadi banyak partai pada saat itu merupakan langkah awal dari proses demokratisasi di Indonesia. Selama pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia telah menjalakan Pemilihan Umum, diawali dari tahun 1966 hingga tahun 1997 telah diadakan 6 (enam) kali pemilihan umum secara berkala, yakni berturut-turut dari tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992 dan tahun 1997, begitu pula pada era reformasi telah diselenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh multipartai tanggal 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya pada tanggal 5 April 2004. Terkait dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 1999 rakyat hanya memilih mereka di lembaga parlemen, setelah itu barulah anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Bergulirnya gerakan reformasi telah melahirkan beberapa perubahan, termasuk dalam soal penyelenggara pemilu tahun 1999. Sistem multi partai pemilu 1999 ternyata benar-benar membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi politiknya, karena dalam perjalanannya partai politik yang sudah ada tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, partai-partai yang sudah ada hanya mempertahankan status quo saja. Munculnya banyak partai politik dengan segmen dan ideologi yang beragam membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak buta politik meskipun sistem pemilunya masih proporsional tanpa menyertakan nama calegnya dalam kartu suara, tetapi pemilu pada masa reformasi menjadi ajang kompetisi yang cukup sehat bagi para kontestan pemilu.
Dari segi kelembagaan pelaksanaan pemilu 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati demokratis, dengan adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang di dalamnya mempresentasikan golongan pemerintahan dan partai politik. Selain itu, terdapat juga lembaga pengawas pemilu dan lembaga pemantau pemilu non partisan yang bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan pemilu. Dari pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat dikatakan merupakan langkah awal meunuju proses demokratisasi di Indonesia, karena mengingat sebelumnya yakni pada masa orde baru partai politik yang menjadi kontestan pemilu hanya 3 partai saja, akan tetapi pada tahun 1999 begitu banyak partai politik yang ikut serta. System pemilu dan pelembagaan pemilu juga berlangsung transparan dan dapat mencerminkan langkah awal menuju Negara yang demokratis. Satu hal juga bahwa dalam pemilu 1999 terdapat lembaga pengawasan pemilu yang walaupun dengan kekurangannya, hal ini merupakan cerminan dari keinginan masyarakat akan terwujudnya pemilu yang jujur, adil, akuntabel serta memunculkan pemimpin sesaui dengan harapan masyarakat. Pemilu selanjutnya dilaksanakan adalah pada tahun 2004. Pemilu tahun 2004 ini mempunyai makna yang sangat strategis bagi masa depan bangsa Indonesia karena merupakan momentum ujian bagi kelanjutan agenda reformasi dan demokratisasi. Apabila pemilu sistem multipartai pada 1999 menandai berlangsungnya transisi demokrasi, maka pemilu tahun 2004 diharapkan menjadi momentum pulihnya kedaulatan rakyat, tegaknya pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi, dan berakhirnya krisis bersegi-banyak yang dialami bangsa Indonesia. Berbeda dengan pemilu pada tahun 1999, pemilu pada tahun 2004 dari segi kelembagaan pemilu ada perubahan, komposisi Komisi Pemilihan Umum tidak lagi seperti pemilu 1999.
Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan yang sangat besar baik kewenangan menyiapkan dan melaksanakan pemilu dari segi prosedur juga harus menyediakan logistik pemilu, kewenangan yang besar itu sebenarnya dalam praktiknya dapat berakibat pada terganggunya kinerja Komisi Pemilihan Umum, selain juga tugas menyiapkan daftar pemilih yang tidak di dapatkan dari Departemen Dalam Negeri. Sistem kepartaian pada pemilu tahun 2004 memang menawarkan banyak pilihan pada rakyat dan rakyat cukup kritis dalam menjatuhkan pilihannya, meskipun pemilu tahun 2004 diwarnai oleh berbagai kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu tahun 2004 lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya baik pilihan partainya maupun pilihan wakil-wakilnya, sistem pemilihan dengan memilih partai, calon legislatif, calon Presiden dan Wakil Presidennya dapat menciptakan kontrol yang kuat dari rakyat terhadap wakilnya di lembaga legislatif maupun eksekutif, sehingga nantinya wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat akan mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan maupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 merupakan masalah yang benar-benar baru bagi bangsa Indonesia. Pemilu tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki babak baru dalam perpolitikan nasional, bahwa pemilihan langsung pada pemilu kali ini merupakan perkembangan politik yang sangat besar. Dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat pasca pemilu tahun 2004, maka Presiden secara politik tidak akan bertanggungjawab lagi kepada MPR melainkan akan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih Presiden.
Dengan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 dan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan hasil dari pemilu yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat, merupakan wujud dari berhasilnya proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu tahun 2004 yang sangat sulit dan rumit, yang bahkan mungkin saja tersulit yang pernah ada di dunia dapat dilaksanakan di Indonesia dengan tanpa ada konflik serta perpecahan, mengingat Indonesia pada saat itu masih berada dalam transisis demokrasi. Pemilu 2004 lah menurut saya merupakan tonggak demokratisasi di Indonesia yang kemudian tinggal diteruskan melalui pemilu-pemilu selanjutnya dengan penyempurnaan disana-sini yang dianggap masih kurang. Aspek actor-aktor politik yang ada pada saat itu serta aspek kelembagaan pada pemilu 2004 yang oleh banyak pihak akan gagal menyelenggarakan pemilu pada saat itu terbantah dengan suksesnya pemilu 2004 dilaksanakan. Maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini dalam konteks pemilu telah sukses berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilu tahun 2004. Pemilihan umum tahun 2009 merupakan pemilihan umum kedua yang tetap menerapkan pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden. Secara kualitatif pilpres 2009 memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai factor. Pertama, kelemahan berada pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang mengatur Pilpres.
UU itu dinilai terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai salah satu persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi kependudukan masih belum tertib. UU Pilpres ini juga dinilai tidak memberikan kekuatan kepada Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya, sehingga pengawasan tidak berjalan efektif. Selain itu, UU Pilpres juga tidak mengakomodasi kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang memenuhi persyaratan hak pilih, yang tujuannya menurut KPU adalah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT, padahal sebenarnya DPT yang dipakai masih merupakan lanjuta data dari Pemilu 2004. Kelemahan kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh tekanan publik, termasuk oleh peserta pemilu. Sehingga, terkesan kurang kompatibel dan kurang professional serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya. Kelemahan ketiga, datang dari kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT dan DPS, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak. Kemudian kelemahan terakhir, budaya ‘siap menang dan siap kalah’ dalam pemilu secara elegan belum dihayati oleh peserta pemilu beserta para pendukungnya.
 Pemilihan umum tahun 2009 sebagai pemilu ke tiga setelah reformasi memang menjadi harapan terbesar masyarakat Indonesia untuk menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat.. Sehingga wajar jika semua pihak menaruh harapan bahwa pemilu 2009 akan jauh lebih berkualitas dan lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun banyak pihak memandang bahwa dibanding penyelenggaraan pemilu tahun 1999 dan tahun 2004, pemilu kali ini justru menurun kualitasnya baik dilihat dari banyaknya kasus maupun angka partisipasinya. Jumlah kasus dalam pemilu legislatif 2009 meningkat 128% dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya tercatat 273 kasus. Tercatat warga negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak menggunakan haknya mencapai 49. 677. 076 orang atau 29,01% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di luar warga Negara yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena kekacauan administratif DPT. Padahal salah satu tujuan pendidikan politik dalam konteks pemilu yang lebih bersifat nyata dan rasional adalah meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilihan (electoral participation ).
Kesimpulan Pemilu sebagai sebuah lembaga dan praktik politik didalam Negara demokratis memang menjadi sebuah keharusan. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang telah melaksanakan pemilu yang didorong demokratis sebanyak 3 kali setelah bergulirnya reformasi ternyata dalam praktiknya mengalami kemunduran yang signifikan pada pemilu ketiga yang dilaksanakan pada tahun 2009. Kemunduran ini dapat dilihat dari pelembagaan, kebijakan, serta manajemen pemilu yang terlihat kirang professional. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat keberhasilan pemilu 2004 seharusnya dapat menjadi modal awal bagi suksesnya pelakasanaan pemilu 2009. Peran elit politik bangsa ini tentu sangat dibutuhkan dalam konteks yang positif untuk menjaga lancarnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu, bukan malah kemudian menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri tempat bertarung para elit politik yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Pada tingkat aktor politik, kepentingan elite politik dan kepentingan partai yang bersifat jangka pendek masih mendominasi arah transisi demokrasi di Indonesia. Semua ini tentu saja berdampak pada tertundanya kembali konsolidasi demokrasi. Seperti dikemukakan oleh Larry Diamond (1999), konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya dengan terselenggaranya pemilu secara prosedural, melainkan juga melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai dan parlemen yang dihasilkannya. Dengan begitu transisi demokrasi masih akan berlangsung dalam tarik-menarik kepentingan pribadi, partai dan kelompok, sehingga cenderung mengarah pada pelestarian status quo politik ketimbang menuju suatu demokrasi yang lebih baik serta pemerintahan yang bersih dan lebih bertanggung jawab.














0 comments: