Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun
(1966-1998) dalam era yang dikenal sebagai orde baru. Di dalam konstitusi
(Undang-undang Dasar 1945 atau UUD 1945), ia merupakan kepala negara dan
memiliki kewenangan sangat besar dalam militer sebagai panglima komando
tertinggi. Pasal 10 dari UUD 1945 mengatakan bahwa “The President shall hold
the highest authority over the Army, the Navy and the Air Force.” Kemudian di
dalam penjelasan UUD 1945 tertera, “The President holds the powers provided in
these Articles by virtue of his position as President and after the MPR (the
People National Assembly), the President is the highest executive of the State.
Authority and responsibility are vested in the hands of the President.”
Pada tahun 1958, Jenderal Abdul Harris Nasution,
kepala staf angkatan darat dalam pemerintahan Soekarno, mencetuskan doktrin
militer yang disebut sebagai dwifungsi ABRI, dimana militer memiliki peran
dalam bidang pertahanan dan juga di dalam pembangunan sosial.
Pada tahun 1971, Ali Moertopo, perwira militer
andalan di masa orde baru, kemudian membahas mengenai doktrin dwifungsi dalam
makalah berjudul, The Acceleration and Modernization of 25 Years’ Development.
Ia berpendapat bahwa rakyat dan angkatan bersenjata bersatu karena “Militer
Indonesia lahir dari rakyat pada masa perang gerilya melawan pemerintah
kolonial Belanda, “the Indonesian military had been generated by the people in
the guerilla struggleagainst Dutch colonialism. Alhasil, militer
harus terlibat bekerja bahu membahu dengan rakyat untuk membangun dan memimpin
Indonesia. Ali Moertopo bersama dengan para cendekiawan berlatar pendidikan
Amerika kemudian mendirikan the Centre for Strategic and International Studies
(CSIS) yang kemudian menjadi lembaga pemikir orde baru.
Soeharto kemudian banyak mengeluarkan dekrit
presiden yang menguatkan posisinya sebagai kepala negara, seperti halnya dekrit
presiden nomor 11/1963, disebut juga ssebagai undang-undang anti subversif dan
digunakan untuk melawan para pengkritik Soeharto. Soeharto
juga menekan kebebasan pers dengan mendirikan badan sensor nasional. Kemudian
muncul pasal nomor 134-137 dan Undang-undang tentang Kriminalitas yang menjerat
orang atau lembaga yang dicurigai menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Soeharto menciptakan sistem seleksi pegawai negeri sipil (PNS). Setiap pelamar
yang memiliki kaitan hubungan persaudaraan dengan Partai Komunis dahulu akan
gugur dalam seleksi masuk PNS. Akibatnya banyak kandidat berkualitas untuk
pemerintahan yang lebih baik dan juga posisi di bidang akademis yang ditolak
dalam proses ini. Banyak mata-mata berkeliaran di lingkungan kampus untuk
memonitor mahasiswa atau para dosen yang dicurigai menyebarkan pandangan
politik berseberangan dengan Soeharto.
Namun demikian, Soeharto tergolong sebagai pemimpin
karismatik bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat tersebut
mendambakan seorang penyelamat yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian
mereka. Program ekonomi lima tahunan (Repelita) mengantarkan Indonesia menjadi
salah satu kekuatan ekonomi Asia. Pencapaian ini didapat melalui penggunaan
kekuatan militer dalam lingkup sosial dan politik. Soeharto menunjuk sejumlah
perwira militer yang setia untuk mengisi posisi gubernur untuk mengamankan
rencana lima tahunannya. Lembaga internasional dan pemerintah negara Barat
memuji keberhasilan Soeharto.
Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 5/1974
memainkan peranan penting dalam meluaskan kekuasaan pemerintah pusat di daerah.
Penunjukan perwira militer dalam posisi gubernur membuka jalan bagi anggota militer
untuk mendapatkan keuntungan dari menjalankan peran dwifungsi dengan
berpartisipasi dalam banyak bisnis untuk mengeksploitasi sumber daya alam
Indonesia seperti minyak bumi, kayu, dan bijih mineral. Sementara perwira
militer bergabung dalam bisnis berlaba besar, perwira di pangkat lebih rendah
menjual jasa pengamanan di manapun dibutuhkan. Kadang kala perwira rendahan ini
menjual jasa pelayanan sebagai penjaga keamanan perusahaan yang terlibat
konflik dengan rakyat di daerah.
0 comments:
Post a Comment