Sunday, August 14, 2016

Perjanjian Internasional


Perjanjian internasional agar bisa berimplementasi maka perlu proses ratifikasi. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi hukum nasional belum cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu butuh peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Menurut T. May Rudy, menggolongkan perjanjian internasional menjadi dua bagian, Treaty Contract dan Law Making. Berikut penjelasannya :
“Penggolongan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan perjanjian dalam Treaty Contract dan Law Making Treaties. Treaty Contract dimaksudkan perjanjian seperti kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh, perjanjian dwi kewarganegaraan, perbatasan, perdagangan, dan pemberantasan penyelundupan. Sedangkan Law Making Treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh, konvensi Jenewa tentang perlindungan perang tahun 1949” (2002: 44)
Subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Organisasi internasional merupakan subjek hukum internasional. Organisasi internasional adalah organisasi yang dibentuk berdasarkan suatu perjanjian dengan tiga atau lebih negara-negara menjadi peserta. Organisasi internasional seperti PBB mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional / perjanjian internasional yang merupakan anggaran dasarnya. Menurut T. May Rudy bahwa :
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu jadi termasuk didalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Juga yang dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara tahta suci dengan negara-negara (2002: 44)
Bentuk Perjanjian Internasional
Treaty, dalam arti sempit adalah perjanjian internasional yang sering dipakai dalam persoalan-persoalan politik atau ekonomi, treaty dalam arti luas merupakan alat yang paling formal, yang dipakai untuk mencatat perjanjian antara negara dengan ketentuan-ketentuannya bersifat menyeluruh. Tujuan dari Traktat atau treaty adalah untuk meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta, baik secara bilateral maupun multilateral.
1.      Konvensi, istilah Konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat-aparat lembaga internasional.
2.      Protokol, merupakan suatu persetujuan yang sifatnya kurang resmi dibandingkan treaty atau konvensi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala-kepala negara.
3.      Agreement, sifatnya kurang resmi dibandingkan traktat atau konvensi, dan umumnya tidak dilakukan oleh kepala-kepala negara. Biasanya bentuk ini dipakai untuk persetujuan-persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit dan pihak-pihak yang terlibat lebih sedikit dibanding Konvensi biasa. Bentuk ini jugahanya digunakan untuk persetujuan-persetujuan yang sifatnya teknis dan administratif. Pada umumnya agreement tidak memerlukan ratifikasi dan berlaku sesudah dilakukan exchange of note.
4.      Arrengement, bentuk ini kurang lebih sama dengan agreement. Umumnya lebih banyak dipakai untuk transaksi-transaksi yang sifatnya mengatur dan temporer.
5.      Proses Verbal, istilah ini pada mulanya berarti rangkuman dari jalannya serta kesimpulan dari suatu konfrensi diplomatik, tetapi dewasa ini juga untuk catatan-catatan istilah dari suatu persetujuan yang dicapai oleh para peserta misalnya proses verbal yang ditandatangani di Zurich tahun 1982 oleh wakilwakil Italia dan Swiss untuk mencatat kesepakatan pendapat mereka mengenai ketentuan-ketentuan Traktat Perdagangan diantara mereka. Istilah ini juga dipakai untuk mencatat suatu pertukaran atau himpunan ratifikasi atau untuk suatu persetujuan administratif yang sifatnya kurang penting atau untuk membuat perubahan kecil dalam konvensi. Proses Verbal umumnya tidak membutuhkan ratifikasi.
6.      Statuta (Charter), merupakan himpunan peraturan-peraturan penting mengenai pelaksanaan fungsi lembaga internasional, himpunan peraturanperaturan yang dibentuk berdasarkan persetujuan internasional mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi dari suatu entitas khusus dibawah pengawasan internasional, misalnya Stauta sanjak Alexandra 1973, dan sebagai alat tambahan pada konvensi yang menetapkan peraturan-peraturan yang akan diterapkan, misalnya Stauta tentang kebebasan transit, Barcelona, 1921.
7.      Deklarasi, istilah ini dapat berarti traktat sebenarnya, misalnya Deklarasi Paris 1856, dapat juga berarti dokumen yang tak resmi yang dilampirkan pada suatu traktat atau konvensi yang memberi penafsiran atau menjelaskan ketentuan-ketentuan traktat atau konvensi, bisa juga berarti persetujuan tak resmi mengenai hal-hal yang kurang penting, atau juga berarti resolusi atau konfrensi diplomatik yang mengungkapkan suatu prinsip atau asas atau desideratum untuk ditaati oleh semua negara, misalnya deklarasi tentang larangan paksaan militer, politik atau ekonomi dalam penutupan traktat yang diterima oleh Konfrensi Wina 1968-1969 mengenai hukum traktat (Deklarasi boleh diratifikasi, boleh juga tidak).
8.      Modus Vivendi, adalah suatu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat temporer atau provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan arrangement yang sifatnya lebih permanen dan terinci. Biasanya Modus Vivendi dibuat secara sangat tidak resmi dan tidak memerlukan ratifikasi.
9.      Pertukaran Nota atau Surat, merupakan suatu metode tak resmi yang seringkali digunakan pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan pertukaran nota ini negara-negara mengakui suatu pengertian bersama atau mengakui kewajibankewajiban tertentu yang mengikat mereka. Adakalanya pertukaran nota dilakukan melalui perwakilan-perwakilan diplomatik atau militer negara yang bersangkutan. Ratifikasi biasanya tidak perlu, tetapi akan menjadi perlu jika hal ini sesuai dengan niat para pihak.
10.  Ketentuan Penutup (Final Act), adalah suatu dokumen yang mencatat laporan akhir acara suatu konferensi yang mengadakan suatu Konvensi. Ketentuan penutup juga merangkum istilah-istilah rujukan dalam suatu konfrensi, dan menyebutkan satu persatu negara atau kepala negara yang hadir, delegasi-delegasi yang turut serta dalam konferensi, dan dokumen-dokumen yang diterima oleh konferensi. Final Act juga memuat resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang diterima konvensi yang tak dicantumkan sebagai ketentuan-ketentuan konvensi. Ketentuan Penutup ditandatangani tetapi tidak diratifikasi.

11.  Ketentuan Umum (General Act), yang sebenarnya adalah traktat, tetapi dapat bersifat resmi dan tidak resmi (Rudy, 2002: 123-126).

0 comments: