Perjanjian
internasional agar bisa berimplementasi maka perlu proses ratifikasi.
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi hukum
nasional belum cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu butuh peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya sesuai dengan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal
perjanjian internasional tersebut. Menurut T. May Rudy, menggolongkan
perjanjian internasional menjadi dua bagian, Treaty Contract dan Law Making.
Berikut penjelasannya :
“Penggolongan
perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan
perjanjian dalam Treaty Contract dan Law Making Treaties. Treaty Contract
dimaksudkan perjanjian seperti kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata,
hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian
itu. Contoh, perjanjian dwi kewarganegaraan, perbatasan, perdagangan, dan
pemberantasan penyelundupan. Sedangkan Law Making Treaties dimaksudkan
perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional
sebagai keseluruhan. Contoh, konvensi Jenewa tentang perlindungan perang tahun
1949” (2002: 44)
Subjek
hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Organisasi internasional merupakan subjek hukum internasional.
Organisasi internasional adalah organisasi yang dibentuk berdasarkan suatu
perjanjian dengan tiga atau lebih negara-negara menjadi peserta. Organisasi
internasional seperti PBB mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam
konvensi-konvensi internasional / perjanjian internasional yang merupakan
anggaran dasarnya. Menurut T. May Rudy bahwa :
Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu jadi
termasuk didalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antara suatu
organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Juga yang dapat
dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara
tahta suci dengan negara-negara (2002: 44)
Bentuk Perjanjian Internasional
Treaty,
dalam arti sempit adalah perjanjian internasional yang sering dipakai dalam
persoalan-persoalan politik atau ekonomi, treaty dalam arti luas merupakan alat
yang paling formal, yang dipakai untuk mencatat perjanjian antara negara dengan
ketentuan-ketentuannya bersifat menyeluruh. Tujuan dari Traktat atau treaty
adalah untuk meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara
peserta, baik secara bilateral maupun multilateral.
1. Konvensi,
istilah Konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat
multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat-aparat
lembaga internasional.
2. Protokol,
merupakan suatu persetujuan yang sifatnya kurang resmi dibandingkan treaty atau
konvensi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala-kepala negara.
3. Agreement,
sifatnya kurang resmi dibandingkan traktat atau konvensi, dan umumnya tidak
dilakukan oleh kepala-kepala negara. Biasanya bentuk ini dipakai untuk
persetujuan-persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit dan pihak-pihak yang
terlibat lebih sedikit dibanding Konvensi biasa. Bentuk ini jugahanya digunakan
untuk persetujuan-persetujuan yang sifatnya teknis dan administratif. Pada
umumnya agreement tidak memerlukan ratifikasi dan berlaku sesudah dilakukan
exchange of note.
4. Arrengement,
bentuk ini kurang lebih sama dengan agreement. Umumnya lebih banyak dipakai
untuk transaksi-transaksi yang sifatnya mengatur dan temporer.
5. Proses
Verbal, istilah ini pada mulanya berarti rangkuman dari jalannya serta
kesimpulan dari suatu konfrensi diplomatik, tetapi dewasa ini juga untuk
catatan-catatan istilah dari suatu persetujuan yang dicapai oleh para peserta
misalnya proses verbal yang ditandatangani di Zurich tahun 1982 oleh wakilwakil
Italia dan Swiss untuk mencatat kesepakatan pendapat mereka mengenai
ketentuan-ketentuan Traktat Perdagangan diantara mereka. Istilah ini juga
dipakai untuk mencatat suatu pertukaran atau himpunan ratifikasi atau untuk suatu
persetujuan administratif yang sifatnya kurang penting atau untuk membuat
perubahan kecil dalam konvensi. Proses Verbal umumnya tidak membutuhkan
ratifikasi.
6. Statuta
(Charter), merupakan himpunan peraturan-peraturan penting mengenai pelaksanaan
fungsi lembaga internasional, himpunan peraturanperaturan yang dibentuk
berdasarkan persetujuan internasional mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi dari
suatu entitas khusus dibawah pengawasan internasional, misalnya Stauta sanjak
Alexandra 1973, dan sebagai alat tambahan pada konvensi yang menetapkan
peraturan-peraturan yang akan diterapkan, misalnya Stauta tentang kebebasan
transit, Barcelona, 1921.
7. Deklarasi,
istilah ini dapat berarti traktat sebenarnya, misalnya Deklarasi Paris 1856,
dapat juga berarti dokumen yang tak resmi yang dilampirkan pada suatu traktat
atau konvensi yang memberi penafsiran atau menjelaskan ketentuan-ketentuan
traktat atau konvensi, bisa juga berarti persetujuan tak resmi mengenai hal-hal
yang kurang penting, atau juga berarti resolusi atau konfrensi diplomatik yang
mengungkapkan suatu prinsip atau asas atau desideratum untuk ditaati oleh semua
negara, misalnya deklarasi tentang larangan paksaan militer, politik atau
ekonomi dalam penutupan traktat yang diterima oleh Konfrensi Wina 1968-1969
mengenai hukum traktat (Deklarasi boleh diratifikasi, boleh juga tidak).
8. Modus
Vivendi, adalah suatu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang
bersifat temporer atau provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan
arrangement yang sifatnya lebih permanen dan terinci. Biasanya Modus Vivendi
dibuat secara sangat tidak resmi dan tidak memerlukan ratifikasi.
9. Pertukaran
Nota atau Surat, merupakan suatu metode tak resmi yang seringkali digunakan
pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan pertukaran nota ini negara-negara
mengakui suatu pengertian bersama atau mengakui kewajibankewajiban tertentu
yang mengikat mereka. Adakalanya pertukaran nota dilakukan melalui
perwakilan-perwakilan diplomatik atau militer negara yang bersangkutan.
Ratifikasi biasanya tidak perlu, tetapi akan menjadi perlu jika hal ini sesuai
dengan niat para pihak.
10. Ketentuan
Penutup (Final Act), adalah suatu dokumen yang mencatat laporan akhir acara
suatu konferensi yang mengadakan suatu Konvensi. Ketentuan penutup juga
merangkum istilah-istilah rujukan dalam suatu konfrensi, dan menyebutkan satu
persatu negara atau kepala negara yang hadir, delegasi-delegasi yang turut
serta dalam konferensi, dan dokumen-dokumen yang diterima oleh konferensi.
Final Act juga memuat resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang diterima
konvensi yang tak dicantumkan sebagai ketentuan-ketentuan konvensi. Ketentuan
Penutup ditandatangani tetapi tidak diratifikasi.
11. Ketentuan
Umum (General Act), yang sebenarnya adalah traktat, tetapi dapat bersifat resmi
dan tidak resmi (Rudy, 2002: 123-126).
0 comments:
Post a Comment