Monday, August 22, 2016

Beberapa Penyebab Pemberontakan di Aceh


Tradisi dan struktur politik Aceh lebih cenderung bersifat federalistis, sementara, Jawa cenderung sentralis-feodalis. Budaya Jawa yang feodal ini paralel dengan struktur kekuasaan Jawa yang sangat hirarkis. Oleh karena itu, nilai-nilai Jawa tidak kompatebel dengan nilai-nilai demokrasi (Isbodroini Suyanto, 2002). Struktur dan tradisi Jawa yang sudah berakar dikukuhkan oleh struktur kekuasaan dan nilai-nilai militeristik. Doktrin ABRI, ideologi Pancasila, dengan substansi nilai-nilai yang merupakan legitimasi dari budaya kekuasaan otoriterisme Orde Baru (Richard Robinson, 1982). Konsep kenegaraan mengarah kepada negara kesatuan (NKRI) sebagai langgam kekuasaan Hegemonik Jawa dengan Militer sebagai simbol-simbol kekuasaan Orde Baru. Bahkan, doktrin ABRI dan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) banyak menggunakan istilah yang diambil dari bahasa sansekerta Jawa.
Sejak semula, Aceh lebih mengarah kepada federasi. Keunikan Aceh, baik dari segi historis, budaya, maupun struktur pemerintahan tidak mungkin diintegrasikan ke dalam format kekuasaan sinkretistik maupun paham integralistik. Konfrontasi antara pemerintah pusat sejak 1950-an hingga kini merupakan bukti sejarah yang harus diterima sebagai pluralisme politik dalam kebhinnekaan.
Alasan mengapa Aceh memberontak, di antaranya, adalah:
1.      Memertahankan identitas politik sebagai daerah yang menjunjung tinggi syariat Islam sebagai landasan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik;
2.      Otonomi politik sebagai bentuk power sharing relasi kekuasaan pusat-daerah dan negara-masyarakat;
3.      Memertahankan kedaulatan ekonomi dan pembebasan eksploitasi ekonomi pusat-daerah;
4.      Memertahankan harkat dan martabat Aceh yang tinggi terhadap hak asasi manusia.
Pilar-pilar ini adalah substansi politik Aceh yang secara konsisten diperjuangkan hingga kini oleh kesultanan Aceh dan para pemimpin Aceh darigenerasi ke generasi. Hal tersebut dapat dilihat ketika Aceh melakukan protes yang disampaikan oleh Hasan Tiro kepada pemerintah RI yang substansinya menyinggung empat point tersebut (Tippe, 2004:34-35). Perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang sama-sama kuat dan keras antara Pusat dan Aceh menyebabkan tidak bertemunya jalan keluar. Perbedaan pandangan politik ini memang bukan perbedaan biasa, tetapi perbedaan yang sudah masuk kepada wilayah konflik ideologi dan kekuasaan. Konflik pemerintah Pusat dan Aceh dapat dikatagorikan konflik kekuasaan dan ideologi yang menyentuh dimensi-dimensi prinsipil (Duverger, 1981).
Awal konflik disebabkan kekeliruan pemerintah pusat ketika membuat putusan pengaturan Aceh ke dalam wilayah kekuasaan Sumatera Utara, padahal kedua daerah ini memiliki perbedaan budaya. Negeri Sumatera Utara yang didominasi etnis Batak pada umumnya beragama Kristen, sementara Aceh adalah daerah yang masyarakatnya bersandar pada nilai-nilai Islam. Memori sejarah kejayaan masa lalu menjadi acuan bagi rakyat Aceh di dalam memosisikan dirinya ke dalam Republik Indonesia. Potensi psikopolitik ini memang sukar dihilangkan karena sosialisasi nilai-nilai sejarah dari suatu generasi ke generasi selanjutnya ikut membentuk pandangan dan orientasi politik dalam hubungan kekuasaan dengan pemerintah pusat. Kebanggaan diri rakyat Aceh sebagai Kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara menjadi sesuatu yang tidak logis dan sukar untuk menerima menjadi subkekuasaan dari Sumatera Utara. Padahal, pada masa kejayaan kerajaan Aceh, sebagian besar wilayah Sumatera Utara pernah menjadi wilayah dan di bawah pengaruh kekuasan kesultanan Aceh. Bahkan, pada masa perjuangan kemerdekaan, Aceh turut memertahankan wilayah Sumatera Utara dari pendudukan Jepang dan Belanda (Hasjmy, 1997).
Ketidakpuasan rakyat Aceh diperkuat oleh situasi politik Jakarta. Politik Soekarno lebih condong kepada komunisme dan penafsiran ideologi Pancasila condong kekiri (baca: El Ibrahimi, 1982:3). Pemberontakan DI/TII adalah bentuk ketidakpuasaan politik para pemimpin Islam seperti Kartosuwiryo, Kahar Muzakar yang kecewa karena Indonesia tidak dilandasi oleh syariat Islam. Ketidakpuasan ini berlanjut dengan munculnya pemberontakan DI/TII di beberapa daerah, antara lain, Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan Aceh telah membuat pemerintah pusat merespon dengan kebijakan mengembalikan Aceh sebagai provinsi dengan predikat DaerahIstimewa. Di sini, keistemewaan Aceh lebih berupa simbol daripada substansi politik yang menjadi tuntutan pengakuan dan hak-hak politik yang otonom. Salah satu bentuk kekecewean rakyat Aceh adalah meletusnya pemberontakan DI/TII pada 1953. Konflik bersenjata kembali menambah budaya kekerasan di Bumi Aceh. Penanganan militer oleh pusat telah menimbulkan jatuhnya banyak korban di pihak rakyat sipil Aceh. Kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para pemimpin Aceh. Hasan Tiro sebagai salah satu elit DI/TII menyampaikan surat protes kepada PBB dengan mengatakan bahwa operasi militer tersebut sebagai genocide. Setelah peristiwa pemberontakan tersebut, meski Aceh berhasil di stabilkan, namun pada 1976 Aceh kembali bergolak.
Puncak kekecewaan rakyat Aceh yang semula hanya menuntut otonomi kemudian meningkat memerjuangkan Aceh sebagai wilayah terpisah dari Indonesia yang dipelopori oleh GAM di bawah pimpinan oleh Hasan Tiro. Pada 1970-an dan 1980-an, sejatinya, perlawanan GAM belum meluas. Baru pada 1990-an gerakan GAM baik secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan perlawanan yang nyata. GAM mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat. Rapat Akbar di Mesjid Baiturachman, kampanye Referendum pada rentang 2000 yang dilakukan oleh SIRA dihadiri kurang dari 1 juta manusia. Substansi kampanye adalah memberikan hak kepada rakyat untuk memilih bergabung dengan RI atau merdeka. Substansi kampanye tersebut mengarah kepada kesamaan tujuan dengan GAM. Dan realitas ini sekaligus membantah bahwa GAM tidak mendapat dukungan dari rakyat sebagaimana yang diamati Nazaruddin Syamsuddin (1983) pada awal 1980-an. Operasi militer oleh pemerintah pusat secara besar-besaran lebih dahsyat dari yang terjadi pada 1950-an. Korban di pihak rakyat sipil berjumlah kurang lebih 20 ribu jiwa. Ekses yang timbul dari operasi militer tersebut berujung pada pelanggaran HAM yang menimbulkan reaksi negatif dari dunia internasional dengan menekan pemerintah Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan militer.


Ketika reformasi bergulir pada 1998, penyelesaian konflik Aceh pun mulai menuju titik terang yang ditandai dengan proses, antara lain, peradilan terhadap pelanggar HAM, penarikan pasukan militer, dan pemberlakuan jeda kemanusiaan. Namun pada masa Megawati, operasi militer ternyata kembali dilakukan meskipun ketika awal menjadi Presiden RI, Megawati berjanji tidak akan ada lagi pertumpahan darah di Aceh. Konflik bersenjata telah menguatkanbudaya kekerasan dan membuat rakyat sipil seakan tidak berdaya. Perlindungan hak-hak sipil sangat rentan. Setiap kekerasan demi kekerasan selalu memosisikan rakyat jelata yang menjadi korban. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat telah membawa efek negatif kepada rakyat. Keadaan ini telah membuat political trust rakyat Aceh berada pada titik terendah. Dalam kondisi darurat militer, rakyat tidak memunyai harapan dan merasa at home di rumah sendiri, di NKRI. Sebuah jajak pendapat yang tidak dipublikasikan dan dilakukan oleh lembaga riset di Bandung menunjukkan sebagian rakyat Aceh mendukung daerahnya melepaskan diri dari Indonesia.

0 comments: