Tradisi
dan struktur politik Aceh lebih cenderung bersifat federalistis, sementara,
Jawa cenderung sentralis-feodalis. Budaya Jawa yang feodal ini paralel dengan
struktur kekuasaan Jawa yang sangat hirarkis. Oleh karena itu, nilai-nilai Jawa
tidak kompatebel dengan nilai-nilai demokrasi (Isbodroini Suyanto, 2002).
Struktur dan tradisi Jawa yang sudah berakar dikukuhkan oleh struktur kekuasaan
dan nilai-nilai militeristik. Doktrin ABRI, ideologi Pancasila, dengan substansi
nilai-nilai yang merupakan legitimasi dari budaya kekuasaan otoriterisme Orde
Baru (Richard Robinson, 1982). Konsep kenegaraan mengarah kepada negara
kesatuan (NKRI) sebagai langgam kekuasaan Hegemonik Jawa dengan Militer sebagai
simbol-simbol kekuasaan Orde Baru. Bahkan, doktrin ABRI dan Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila (P4) banyak menggunakan istilah yang diambil dari bahasa
sansekerta Jawa.
Sejak
semula, Aceh lebih mengarah kepada federasi. Keunikan Aceh, baik dari segi
historis, budaya, maupun struktur pemerintahan tidak mungkin diintegrasikan ke
dalam format kekuasaan sinkretistik maupun paham integralistik. Konfrontasi
antara pemerintah pusat sejak 1950-an hingga kini merupakan bukti sejarah yang
harus diterima sebagai pluralisme politik dalam kebhinnekaan.
Alasan
mengapa Aceh memberontak, di antaranya, adalah:
1. Memertahankan
identitas politik sebagai daerah yang menjunjung tinggi syariat Islam sebagai
landasan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik;
2. Otonomi
politik sebagai bentuk power sharing relasi kekuasaan pusat-daerah dan
negara-masyarakat;
3. Memertahankan
kedaulatan ekonomi dan pembebasan eksploitasi ekonomi pusat-daerah;
4. Memertahankan
harkat dan martabat Aceh yang tinggi terhadap hak asasi manusia.
Pilar-pilar
ini adalah substansi politik Aceh yang secara konsisten diperjuangkan hingga
kini oleh kesultanan Aceh dan para pemimpin Aceh darigenerasi ke generasi. Hal
tersebut dapat dilihat ketika Aceh melakukan protes yang disampaikan oleh Hasan
Tiro kepada pemerintah RI yang substansinya menyinggung empat point tersebut
(Tippe, 2004:34-35). Perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang sama-sama
kuat dan keras antara Pusat dan Aceh menyebabkan tidak bertemunya jalan keluar.
Perbedaan pandangan politik ini memang bukan perbedaan biasa, tetapi perbedaan
yang sudah masuk kepada wilayah konflik ideologi dan kekuasaan. Konflik
pemerintah Pusat dan Aceh dapat dikatagorikan konflik kekuasaan dan ideologi
yang menyentuh dimensi-dimensi prinsipil (Duverger, 1981).
Awal
konflik disebabkan kekeliruan pemerintah pusat ketika membuat putusan
pengaturan Aceh ke dalam wilayah kekuasaan Sumatera Utara, padahal kedua daerah
ini memiliki perbedaan budaya. Negeri Sumatera Utara yang didominasi etnis
Batak pada umumnya beragama Kristen, sementara Aceh adalah daerah yang
masyarakatnya bersandar pada nilai-nilai Islam. Memori sejarah kejayaan masa
lalu menjadi acuan bagi rakyat Aceh di dalam memosisikan dirinya ke dalam
Republik Indonesia. Potensi psikopolitik ini memang sukar dihilangkan karena
sosialisasi nilai-nilai sejarah dari suatu generasi ke generasi selanjutnya
ikut membentuk pandangan dan orientasi politik dalam hubungan kekuasaan dengan
pemerintah pusat. Kebanggaan diri rakyat Aceh sebagai Kesultanan Islam terbesar
di Asia Tenggara menjadi sesuatu yang tidak logis dan sukar untuk menerima
menjadi subkekuasaan dari Sumatera Utara. Padahal, pada masa kejayaan kerajaan
Aceh, sebagian besar wilayah Sumatera Utara pernah menjadi wilayah dan di bawah
pengaruh kekuasan kesultanan Aceh. Bahkan, pada masa perjuangan kemerdekaan,
Aceh turut memertahankan wilayah Sumatera Utara dari pendudukan Jepang dan
Belanda (Hasjmy, 1997).
Ketidakpuasan
rakyat Aceh diperkuat oleh situasi politik Jakarta. Politik Soekarno lebih
condong kepada komunisme dan penafsiran ideologi Pancasila condong kekiri
(baca: El Ibrahimi, 1982:3). Pemberontakan DI/TII adalah bentuk ketidakpuasaan
politik para pemimpin Islam seperti Kartosuwiryo, Kahar Muzakar yang kecewa
karena Indonesia tidak dilandasi oleh syariat Islam. Ketidakpuasan ini
berlanjut dengan munculnya pemberontakan DI/TII di beberapa daerah, antara
lain, Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan
Aceh telah membuat pemerintah pusat merespon dengan kebijakan mengembalikan
Aceh sebagai provinsi dengan predikat DaerahIstimewa. Di sini, keistemewaan
Aceh lebih berupa simbol daripada substansi politik yang menjadi tuntutan
pengakuan dan hak-hak politik yang otonom. Salah satu bentuk kekecewean rakyat
Aceh adalah meletusnya pemberontakan DI/TII pada 1953. Konflik bersenjata
kembali menambah budaya kekerasan di Bumi Aceh. Penanganan militer oleh pusat
telah menimbulkan jatuhnya banyak korban di pihak rakyat sipil Aceh. Kebijakan
ini mendapat reaksi keras dari para pemimpin Aceh. Hasan Tiro sebagai salah
satu elit DI/TII menyampaikan surat protes kepada PBB dengan mengatakan bahwa
operasi militer tersebut sebagai genocide. Setelah peristiwa pemberontakan
tersebut, meski Aceh berhasil di stabilkan, namun pada 1976 Aceh kembali
bergolak.
Puncak
kekecewaan rakyat Aceh yang semula hanya menuntut otonomi kemudian meningkat
memerjuangkan Aceh sebagai wilayah terpisah dari Indonesia yang dipelopori oleh
GAM di bawah pimpinan oleh Hasan Tiro. Pada 1970-an dan 1980-an, sejatinya,
perlawanan GAM belum meluas. Baru pada 1990-an gerakan GAM baik secara langsung
maupun tidak langsung menunjukkan perlawanan yang nyata. GAM mendapat dukungan
dan legitimasi dari rakyat. Rapat Akbar di Mesjid Baiturachman, kampanye
Referendum pada rentang 2000 yang dilakukan oleh SIRA dihadiri kurang dari 1 juta
manusia. Substansi kampanye adalah memberikan hak kepada rakyat untuk memilih
bergabung dengan RI atau merdeka. Substansi kampanye tersebut mengarah kepada
kesamaan tujuan dengan GAM. Dan realitas ini sekaligus membantah bahwa GAM
tidak mendapat dukungan dari rakyat sebagaimana yang diamati Nazaruddin
Syamsuddin (1983) pada awal 1980-an. Operasi militer oleh pemerintah pusat
secara besar-besaran lebih dahsyat dari yang terjadi pada 1950-an. Korban di
pihak rakyat sipil berjumlah kurang lebih 20 ribu jiwa. Ekses yang timbul dari
operasi militer tersebut berujung pada pelanggaran HAM yang menimbulkan reaksi
negatif dari dunia internasional dengan menekan pemerintah Indonesia untuk
tidak menggunakan kekerasan militer.
Ketika
reformasi bergulir pada 1998, penyelesaian konflik Aceh pun mulai menuju titik
terang yang ditandai dengan proses, antara lain, peradilan terhadap pelanggar
HAM, penarikan pasukan militer, dan pemberlakuan jeda kemanusiaan. Namun pada
masa Megawati, operasi militer ternyata kembali dilakukan meskipun ketika awal
menjadi Presiden RI, Megawati berjanji tidak akan ada lagi pertumpahan darah di
Aceh. Konflik bersenjata telah menguatkanbudaya kekerasan dan membuat rakyat
sipil seakan tidak berdaya. Perlindungan hak-hak sipil sangat rentan. Setiap
kekerasan demi kekerasan selalu memosisikan rakyat jelata yang menjadi korban.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat telah membawa efek
negatif kepada rakyat. Keadaan ini telah membuat political trust rakyat Aceh
berada pada titik terendah. Dalam kondisi darurat militer, rakyat tidak
memunyai harapan dan merasa at home di rumah sendiri, di NKRI. Sebuah jajak
pendapat yang tidak dipublikasikan dan dilakukan oleh lembaga riset di Bandung
menunjukkan sebagian rakyat Aceh mendukung daerahnya melepaskan diri dari
Indonesia.
0 comments:
Post a Comment