Mencermati
proses Pilkada Aceh yang pada akhirnya bisa didapat jalan keluarnya, merupakan
sebuah fakta bahwa negosiasi atau pendekatan jalur diluar hukum menjadi salah
satu solusi terhadap permasalahan yang ada. Secara terminologi negosiasi
didefenisikan sebagai: The process where interested parties resolve
dispute, agree upon courses of action, bargain for individual or collective
adventage, and/or attempt to craft outcomes which serve their mutual
interests. Atau sebuah proses perundingan dua pihak yang bertikai baik
sifatnya individual maupun kolektif untuk mencari solusi penyelesaian bersama
yang saling menguntungkan.
Tentunya
masih banyak definisi lain terkait dengan negosiasi, namun hampir semuanya
berujung pada sebuah definisi yang sama yakni: proses yang menggabungkan sudut
pandang yang berbeda untuk menghasilkan sebuah kesepakatan. Didalamnya terjadi
tawar menawar dan usulan dalam memecahkan permasalahan.
Dalam
kaitan ini, negosiasi yang relevan dengan apa yang terjadi pada fenomena
Pilkada Aceh adalah teori Back Channel egotiation (BC). Walaupun teori ini
lebih tepat digunakan dalam hal hubungan internasional atau proses antar negara,
namun jika ditelusuri kaitan anatar Back Channel Negotiation dengan proses
penyelesaian sengketa pilkada Aceh menjadi sangat relevan dan tepat untuk
dijadikan pisau analisa.
Anthony
Wanis-St. John mendefiniskan Back-channel negosiasi (BCNs) adalah sebuah proses
negosiasi yang tidak biasa, dilakukan secara rahasia antara pihak yang
bersengketa dan beroperasi secara paralel dilakukan secara rahasia antara pihak
yang bersengketa. BCN dapat digambarkan sebagai "pasar gelap" proses
negosiasi, yang memberikan ruang negosiasi terpisah dimana perundingan berlangsung
secara tersembunyi. Disini Anthony Wanis memberikan contoh bahwa sebagian
pertemuan dan kesepakatan yang ditandatangani antara Israel dan Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO) telah dicapai dengan menggunakan BCN, disamping
beberapa negosiasi yang juga dilakukan dikombinasikan dengan sistem terbuka.
Lantas
siapa back-channel negosiator? Anthony Wanis-St. John menjelaskan dalam
perundingan internasional, terutama yang terkait dengan perang dan perdamaian,
back-channel negosiator-nya cenderung seorang individu yang relatif dengan para
pengambil keputusan level atas. Mereka memiliki ‘otoritas’ dalam mengeksplorasi
berbagai pilihan serta mampu berkomitmen dalam sebuah kesepakatan. Seorang
perunding back-channel bisa seorang pribadi atau individu yang memiliki akses
eksklusif kepada presiden atau perdana menteri. Negosiator BCN terkadang tanpa
status resmi, namun dapat memanfaatkan hubungan yang erat dengan para pengambil
keputusan resmi dan mendapatkan status resmi. Para negosiator back-channel
lebih sering berhasil dalam mencapai kesepakatan dibandingkan negosiator front
channel menunjukkan bahwa back channel yang lebih praktis, sementara front
channel lebih teoritis.
Dalam
sejarahnya, bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan banyak berorientasi
pada bagaimana memperoleh kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan
lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para
pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya,
sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak
memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihak-pihak yang
bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah menjadi permusuhan.Dalam
perkembangannya, bentuk penyelesaian berubah melalui cara kompromi. Cara ini
dianggap lebih elegan, karena tidak ada yang merasa dikalahkan/dirugikan.
Usaha-usaha
untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa alternatif ini terjadi pada saat
Warren Burger (mantan Chief Justice) diundang pada suatu konferensi
yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction
with the Administration of Justice (Pound Conference) di Saint Paul,
Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang menaruh
perhatian pada masalah sengketa/konflik berkumpul bersama pada konferensi
tersebut. Beberapa makalah yang disampaikan pada saat konferensi,
akhirnya disusun
menjadi suatu pengertian dasar (basic understanding) tentang penyelesaian
sengketa.
Beberapa
tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif atau ADR (Alternative
Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis. Hakim seringkali
memerintahkan kepada para pihak untuk ikut berpartisipasi dalam suatu persidangan.
Peraturan di pengadilan senantiasa mensyaratkan para pihak untuk menyelesaikan
kasus-kasus tertentu (seperti: malpraktek) melalui arbitrase, bahkan di
beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih dahulu
menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara mediasi sebelum
menempuh jalur pengadilan.
Munculnya
mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial dimana pengadilan
sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu
menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap
lembaga peradilan disebabkan banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur
litigasi pada umumnya lambat (waste of time), pemeriksaan sangat formal
(folrmalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk pengadilan
sudah overloaded. Disamping itu keputusan pengadilan selalu diakhiri dengan
menang dan kalah, sehingga kepastian hukum dipandang merugikan salah satu pihak
berperkara. Hal ini berbeda jika penyelesaian perkara melalui jalur mediasi,
dimana kemauan para pihak dapat terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Penyelesaian
ini mengkedepankan kepentingan dua pihak sehingga putusannya bersifat win-win
solution.
Negosiasi
dan mediasi merupakan salah satu diantara Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Alternatif. Dalam upaya melalukan negosiasi dan mediasi, diawali dengan proses
lobby. Lobby dinilai sebagai pembuka jalan dalam proses negosiasi. Dalam
pandangan David P. Barash dan Charles P. Webel, negosiasi dianggap membantu
menyelesaikan konflik dimana pihak-pihak yang bertikai mencari penyelesaian
bagi perbedaan mereka. Untuk itu, agar membuahkan hasil, maka negosiasi harus
dipandang sebagai non-zero-sum solution, yakni solusi tanpa
kalah-menang, dimana keberhasilan di satu sisi, tidak harus diimbangi dengan
kekalahan di sisi yang lain. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian yang dicapai
adalah win-win solution.
0 comments:
Post a Comment