Sunday, August 07, 2016

Proses Negosiasi dan Penyelesaian Perselisihan


Mencermati proses Pilkada Aceh yang pada akhirnya bisa didapat jalan keluarnya, merupakan sebuah fakta bahwa negosiasi atau pendekatan jalur diluar hukum menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang ada. Secara terminologi negosiasi didefenisikan sebagai: The process where interested parties resolve dispute, agree upon courses of action, bargain for individual or collective adventage, and/or attempt to craft outcomes which serve their mutual interests. Atau sebuah proses perundingan dua pihak yang bertikai baik sifatnya individual maupun kolektif untuk mencari solusi penyelesaian bersama yang saling menguntungkan.

Tentunya masih banyak definisi lain terkait dengan negosiasi, namun hampir semuanya berujung pada sebuah definisi yang sama yakni: proses yang menggabungkan sudut pandang yang berbeda untuk menghasilkan sebuah kesepakatan. Didalamnya terjadi tawar menawar dan usulan dalam memecahkan permasalahan.

Dalam kaitan ini, negosiasi yang relevan dengan apa yang terjadi pada fenomena Pilkada Aceh adalah teori Back Channel ­egotiation (BC­). Walaupun teori ini lebih tepat digunakan dalam hal hubungan internasional atau proses antar negara, namun jika ditelusuri kaitan anatar Back Channel Negotiation dengan proses penyelesaian sengketa pilkada Aceh menjadi sangat relevan dan tepat untuk dijadikan pisau analisa.

Anthony Wanis-St. John mendefiniskan Back-channel negosiasi (BCNs) adalah sebuah proses negosiasi yang tidak biasa, dilakukan secara rahasia antara pihak yang bersengketa dan beroperasi secara paralel dilakukan secara rahasia antara pihak yang bersengketa. BCN dapat digambarkan sebagai "pasar gelap" proses negosiasi, yang memberikan ruang negosiasi terpisah dimana perundingan berlangsung secara tersembunyi. Disini Anthony Wanis memberikan contoh bahwa sebagian pertemuan dan kesepakatan yang ditandatangani antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) telah dicapai dengan menggunakan BCN, disamping beberapa negosiasi yang juga dilakukan dikombinasikan dengan sistem terbuka.

Lantas siapa back-channel negosiator? Anthony Wanis-St. John menjelaskan dalam perundingan internasional, terutama yang terkait dengan perang dan perdamaian, back-channel negosiator-nya cenderung seorang individu yang relatif dengan para pengambil keputusan level atas. Mereka memiliki ‘otoritas’ dalam mengeksplorasi berbagai pilihan serta mampu berkomitmen dalam sebuah kesepakatan. Seorang perunding back-channel bisa seorang pribadi atau individu yang memiliki akses eksklusif kepada presiden atau perdana menteri. Negosiator BCN terkadang tanpa status resmi, namun dapat memanfaatkan hubungan yang erat dengan para pengambil keputusan resmi dan mendapatkan status resmi. Para negosiator back-channel lebih sering berhasil dalam mencapai kesepakatan dibandingkan negosiator front channel menunjukkan bahwa back channel yang lebih praktis, sementara front channel lebih teoritis.

Dalam sejarahnya, bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan banyak berorientasi pada bagaimana memperoleh kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah menjadi permusuhan.Dalam perkembangannya, bentuk penyelesaian berubah melalui cara kompromi. Cara ini dianggap lebih elegan, karena tidak ada yang merasa dikalahkan/dirugikan.

Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa alternatif ini terjadi pada saat Warren Burger (mantan Chief Justice) diundang pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound Conference) di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang menaruh perhatian pada masalah sengketa/konflik berkumpul bersama pada konferensi tersebut. Beberapa makalah yang disampaikan pada saat konferensi,
akhirnya disusun menjadi suatu pengertian dasar (basic understanding) tentang penyelesaian sengketa.

Beberapa tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif atau ADR (Alternative Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis. Hakim seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikut berpartisipasi dalam suatu persidangan. Peraturan di pengadilan senantiasa mensyaratkan para pihak untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu (seperti: malpraktek) melalui arbitrase, bahkan di beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih dahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara mediasi sebelum menempuh jalur pengadilan.

Munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial dimana pengadilan sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lambat (waste of time), pemeriksaan sangat formal (folrmalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk pengadilan sudah overloaded. Disamping itu keputusan pengadilan selalu diakhiri dengan menang dan kalah, sehingga kepastian hukum dipandang merugikan salah satu pihak berperkara. Hal ini berbeda jika penyelesaian perkara melalui jalur mediasi, dimana kemauan para pihak dapat terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Penyelesaian ini mengkedepankan kepentingan dua pihak sehingga putusannya bersifat win-win solution.

Negosiasi dan mediasi merupakan salah satu diantara Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif. Dalam upaya melalukan negosiasi dan mediasi, diawali dengan proses lobby. Lobby dinilai sebagai pembuka jalan dalam proses negosiasi. Dalam pandangan David P. Barash dan Charles P. Webel, negosiasi dianggap membantu menyelesaikan konflik dimana pihak-pihak yang bertikai mencari penyelesaian bagi perbedaan mereka. Untuk itu, agar membuahkan hasil, maka negosiasi harus dipandang sebagai non-zero-sum solution, yakni solusi tanpa kalah-menang, dimana keberhasilan di satu sisi, tidak harus diimbangi dengan kekalahan di sisi yang lain. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian yang dicapai adalah win-win solution.


0 comments: