Sunday, August 07, 2016

Pro-Kontra Calon Perseorangan pada Pilkada Aceh



Akibat keputusan ini telah tercipta ketegangan di Aceh diantara yang pro maupun kontra terhadap keputusan MK. Tidak hanya pada tataran masyarakat atau kelas menengah, namun juga telah terjadi ketegangan antara eksekutif dalam hal ini Gubernur dan Komite Pemilihan Independen (KIP) Aceh di satu sisi yang mendukung keputusan MK, dengan mayoritas anggota legislatif (DPRA) yang didominasi Partai Aceh menolak.
Akibat ketegangan antar lembaga ini, tidak hanya menyebabkan proses penetapan jadwal Pemilukada menjadi tertunda-tunda, namun juga mengancam demokrasi dan perdamaian di Aceh yang baru berusia enam tahun. Partai Aceh (PA) yang mendominasi kursi di legislatif mengumumkan tidak akan turut dalam proses Pemilu Kada. Ini tentu membawa implikasi terhadap banyak hal, baik itu, proses penyenggaraan pemilu Kada, pengawasan dan pelaksaan pemerintahan jika pemerintahan baru yang terbentuk tidak didukung oleh lembaga legislatif, dan tentunya terhadap perdamaian Aceh yang tercipta melalui perjanjian dan MoU Helsinki.

Bagi DPRA, MK dianggap telah melanggar MoU Helsinki dan UUPA dalam mengambil keputusan. Pada Pasal 269 ayat (3) UUPA disebutkan: Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Faktanya MK tidak melakukan konsultasi. DPRA juga akan menggugat putusan MK dengan alasan bahwa di dalam Pasal 18b UUD 1945 dijelaskan, negara mengakui daerah yang bersifat atau berstatus khusus yang diatur dengan UU. Kekhususan Aceh, diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Disisi lain, atas keputusan MK nomor 35/PUU-VIII/2010 yang membolehkan calon perseorangan ikut dalam pemilukada di Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai penyelenggara pelaksanaan Pemilukada mengakomodir Calon Perseorangan dalam Pemilukada dengan mengeluarkan Keputusan KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tertanggal 12 Mei 2011 yang salah satu isinya adalah menetapkan tanggal 14-November-2011 sebagai hari pemungutan suara.

Keputusan KIP ini dinilai oleh DPRA melanggar aturan karena menyelenggarakan pelaksanaan tahapan Pemilukada tidak berdasar pada Qanun (Peraturan Daerah) yang harusnya melalui institusi DPRA. Panitia Khusus (Pansus) DPRA dalam pertemuan lanjutan dengan KIP Provinsi Aceh, meminta KIP untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan kembali calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada).
Penentuan tanggal 14 November 2011 sebagai hari pencoblosan didasarkan pada ketentuan undang-undang bahwa tahapan Pilkada digelar sekurang-kurangnya enam bulan sebelum hari pencoblosan atau delapan bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 yang dijabat oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar berakhir pada 8 Februari 2012. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan komitmen mengawal setiap proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Provinsi Aceh yang digelar pada 14 November 2011. "Kami akan mengawal Pilkada Aceh agar berjalan demokratis sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan," ujar anggota KPU Abdul Aziz.
Atas hal tersebut, KIP telah menerima pencalonan kepala daerah dari jalur perseorangan. Termasuk didalamnya gubernur incumbent, Irwandi Yusuf mendaftar kembali sebagai calon gubernur.  Para calon dari jalur perorangan dari berbagai kabupaten menggalang kekuatan untuk bersama-sama mendesak agar pilkada harus berjalan sesuai jadwal yang ditentukan KIP tersebut.



0 comments: