Akibat
keputusan ini telah tercipta ketegangan di Aceh diantara yang pro maupun kontra
terhadap keputusan MK. Tidak hanya pada tataran masyarakat atau kelas menengah,
namun juga telah terjadi ketegangan antara eksekutif dalam hal ini Gubernur dan
Komite Pemilihan Independen (KIP) Aceh di satu sisi yang mendukung keputusan
MK, dengan mayoritas anggota legislatif (DPRA) yang didominasi Partai Aceh
menolak.
Akibat
ketegangan antar lembaga ini, tidak hanya menyebabkan proses penetapan jadwal
Pemilukada menjadi tertunda-tunda, namun juga mengancam demokrasi dan
perdamaian di Aceh yang baru berusia enam tahun. Partai Aceh (PA) yang
mendominasi kursi di legislatif mengumumkan tidak akan turut dalam proses
Pemilu Kada. Ini tentu membawa implikasi terhadap banyak hal, baik itu, proses
penyenggaraan pemilu Kada, pengawasan dan pelaksaan pemerintahan jika
pemerintahan baru yang terbentuk tidak didukung oleh lembaga legislatif, dan tentunya
terhadap perdamaian Aceh yang tercipta melalui perjanjian dan MoU Helsinki.
Bagi
DPRA, MK dianggap telah melanggar MoU Helsinki dan UUPA dalam mengambil
keputusan. Pada Pasal 269 ayat (3) UUPA disebutkan: Dalam hal adanya
rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu
berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Faktanya MK tidak melakukan
konsultasi. DPRA juga akan menggugat putusan MK dengan alasan bahwa di dalam
Pasal 18b UUD 1945 dijelaskan, negara mengakui daerah yang bersifat atau
berstatus khusus yang diatur dengan UU. Kekhususan Aceh, diatur dalam UU Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Disisi
lain, atas keputusan MK nomor 35/PUU-VIII/2010 yang membolehkan calon
perseorangan ikut dalam pemilukada di Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP)
Aceh sebagai penyelenggara pelaksanaan Pemilukada mengakomodir Calon
Perseorangan dalam Pemilukada dengan mengeluarkan Keputusan KIP Aceh Nomor 1
Tahun 2011 tertanggal 12 Mei 2011 yang salah satu isinya adalah menetapkan
tanggal 14-November-2011 sebagai hari pemungutan suara.
Keputusan
KIP ini dinilai oleh DPRA melanggar aturan karena menyelenggarakan pelaksanaan
tahapan Pemilukada tidak berdasar pada Qanun (Peraturan Daerah) yang harusnya
melalui institusi DPRA. Panitia Khusus (Pansus) DPRA dalam pertemuan lanjutan
dengan KIP Provinsi Aceh, meminta KIP untuk mengabaikan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang membolehkan kembali calon perseorangan (independen) dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada).
Penentuan
tanggal 14 November 2011 sebagai hari pencoblosan didasarkan pada ketentuan
undang-undang bahwa tahapan Pilkada digelar sekurang-kurangnya enam bulan
sebelum hari pencoblosan atau delapan bulan sebelum masa jabatan kepala daerah
berakhir. Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 yang
dijabat oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar berakhir pada 8 Februari 2012.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan komitmen mengawal setiap proses
pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Provinsi Aceh yang digelar pada 14
November 2011. "Kami akan mengawal Pilkada Aceh agar berjalan demokratis
sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan," ujar anggota KPU Abdul Aziz.
Atas
hal tersebut, KIP telah menerima pencalonan kepala daerah dari jalur
perseorangan. Termasuk didalamnya gubernur incumbent, Irwandi Yusuf mendaftar
kembali sebagai calon gubernur. Para
calon dari jalur perorangan dari berbagai kabupaten menggalang kekuatan untuk
bersama-sama mendesak agar pilkada harus berjalan sesuai jadwal yang ditentukan
KIP tersebut.
0 comments:
Post a Comment