Sunday, August 07, 2016

Polarisasi Kekuatan; pro vs kontra keputusan KIP Aceh


Sepak terjang para bakal calon dari jalur perseoranga/independen yang telah mendaftarkan diri ke KIP untuk ikut pilkada membuat gerah pimpinan partai politik yang "dimotori" Partai Aceh (33 kursi), Partai Demokrat (10 kursi) dan Partai Golkar (8 kursi). Ketiga partai ini memiliki kursi terbanyak di parlemen (DPRA). Sejumlah partai "kecil" meski ada yang tidak memiliki kursi di DPRA juga ikut bergabung untuk menolak pilkada sesuai jadwal ditentukan KIP. Bahkan, Partai Aceh sebagai partai lokal pemenang Pemilu 2009 menginstruksikan kadernya yang menjadi pimpinan daerah (bupati/wali kota) untuk menghentikan penyaluran dana pilkada.

Sebanyak 16 partai politik (parpol) yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Parpol mengajukan surat permohonan kepada presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono agar menunda pilkada di Aceh. Jika tidak dikabulkan Presiden, maka parpol kemungkinan tidak akan mendaftarkan dari kubu mereka sebagai calon gubernur/wakil gubernur, maupun bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Menurut Juru Bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, Mawardy Nurdin yang juga ketua Partai Demokrat Aceh kesepakatan meminta tunda pelaksanaan pilkada muncul dalam pertemuan silaturahmi lintas parpol Rabu (13/7/2011). Menurut Mawardy, keinginan tersebut bukan kemauan satu parpol saja. Juga tidak ada kaitannya dengan belum diakomodasinya calon perseorangan oleh DPRA dalam Qanun Pilkada yang telah disahkan 28 Juni lalu melalui Sidang Paripurna DPRA. Langkah ini diambil berdasarkan pendapat yang sama antara parpol yang sama-sama mengamati bahwa menjelang pilkada ini suhu politik di Aceh telah memanas. Jika suhu politik yang kian memanas itu tidak dikendalikan, lanjut Mawardy, maka menurut perkiraan pengurus parpol yang hadir dalam pertemuan tersebut, bisa menimbulkan konflik baru di tengah-tengah masyarakat Aceh. Maka salah satu jalan untuk menurunkan suhu politik yang telah memanas itu adalah dengan menunda pilkada.

Dalam surat kepada presiden tersebut, pada poin b menyebutkan bahwa penetapan batas waktu pendaftaran calon dari parpol pada 5 Agustus 2011 yang telah ditetapkan KIP Aceh, dinilai parpol sebagai penetapan sepihak. Alasannya, karena belum ada persetujuan dari DPRA sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pertimbangan lainnya, Qanun Pilkada yang telah disahkan DPRA pada 28 Juni 2011 dalam sidang paripurna, belum diteken Gubernur Aceh, dengan dalih eksekutif belum sepakat dengan sebagian isi qanun tersebut. Kondisi itu telah membuat konflik regulasi dalam pelaksanaan pilkada. Menurut para pengurus parpol yang hadir dalam pertemuan itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka pilkada perlu ditunda. Saran itu diterima dan disepakati oleh seluruh anggota forum.


Selang tiga hari usai pernyataan Forum Silaturahmi Parpol, pada tanggal 18 Juli 2011, sebanyak 175 orang calon pimpinan daerah di Aceh dari dari jalur independen/perseorangan membuat pernyataan yang intinya menolak penundaan Pilkada dan mendukung pelaksanaan sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh KIP.

0 comments: