A. Pendahuluan
Kebudayaan, merupakan blue print of
behavior yang memberikan pedoman bagaimana warga masyarakat bertindak atau
berperilaku dalam upaya mencapai tujuan bersama. Atas dasar kebudayaan,
masyarakat membentuk prosedur-prosedur yang harus diterapkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Budaya politik – sebagai unsur dari kebudayaan −
merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas
sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional,
transisional, maupun modern. Dalam hal ini Almond dan Verba (dalam Gaffer,
2006:99) mendefinisikan budaya politik sebagai “sikap individu terhadap sistem
politik dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang
dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik Sedangkan David Easton (dalam
Winarno, 2008:15) menyatakan bahwa budaya politik adalah “all politically
relevan orientation whether of cognitive, evaluative, or expressive sort.”
Budaya
politik merupakan aspek yang sangat siginifikan dalam sistem politik.Hal ini
dikarenakan bekerjanya struktur dan fungsi politik dalam suatu sistem politik
sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya (Winarno, 2008:65).
Dalam
konteks sistem politik Indonesia, Kantaprawira (2006:35) memposisikan budaya
politik sebagai satu dari sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi,
dan menekan sistem politik, bahkan yang dianggap paling intens dan mendasari
sistem politik. Lebih jauh, Kantaprawira (2006:36) mengkonstatasi bahwa salah
satu parameter pembangunan politik Indonesia adalah tercapainya keseimbangan
atau harmoni budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau akan ada.
Berpijak
dari paparan di atas, tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai
budaya politik Indonesia untuk mengenal atribut atau ciri yang terpokok untuk
menguji prosesberlanjut maupun yang berubah, seirama dengan proses perubahan
dan perkembangan politik masyarakat di masa konsolidasi demokrasi saat ini.
B.
Tipe-tipe Budaya Politik
Gabriel
Almond dan Sidney Verba (1963) mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan politik
: (1) Budaya politik parokial (parochial political culture) yang ditandai
dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah. Hal ini
disebabkan faktor kognitif, misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah;
(2) Budaya politik subyek (subject political culture) di mana anggota-anggota
masyarakatnya memiliki minat, perhatian, mungkin pula kesadaran terhadap sistem
secara keseluruhan, terutama terhadap output-nya, namun perhatian atas aspek
input serta kesadarannya sebagai aktor politik, boleh dikatakan nol; dan (3)
Budaya politik partisipan (participant political culture) yang ditandai oleh
adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai
anggota aktif dalam kehidupan politik sehingga menyadari setiap hak dan
tanggungjawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan
hak serta menanggung kewajibannya.
Namun
demikian, dalam suatu masyarakat kerapkali ditemukan inklanasi kepada salah
satu tipe budaya politik, misalnya, dalam budaya politik partisipan masih dapat
dijumpai individu-individu yang tidak menaruh minat pada obyek-obyek politik
secara luas. Menyadari realitas budaya politik yang hidup di masyarakat
tersebut, Almond menyimpulkan adanya budaya politik campuran (mixed political
culture) yang menurutnya lazim terjadi pada masyarakat yang senantiasa
mengalami perkembangan dan dinamika yang pesat, sehingga sistem politik bisa
berubah dan kultur serta struktur politik senantiasa tidak selaras. Budaya
politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Almond sebagai
berikut:
1.
Budaya Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)
Tipe
budaya politik saat sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuintutan ekslusif
masyarakat suku yang feodalistik.Masyarakatnya mengembangkan kesetiaan terhadap
sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat
yang sentralistis.
2.
Budaya Subyek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)
Proses
peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan yang sangat dipengaruhi
oleh cara bagaimana peralihan budaya parokial menuju budaya subyek. Dalam
budaya subyek-partisipan ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh
orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi
pribadi yang aktif; sementara sebagian penduduk masih terorientasi dengan
struktur kekuasaan yang otoriter dan menempatkan partisipasi masyarakat pasif.
3.
Budaya Parokial-Partisipan (The Parochial-Participan Culture)
Kondisi
ini biasanya terjadi di dalam negara yang sedang berkembang.Hampir seluruh
negara berkembang memiliki budaya parokial.Karenannya sistem politik mereka
terancam oleh fragmentasi parokial yang tradisional, padahal mereka ingin
secepatnya menjadi sebuah negara modern. Suatu masa, cenderung ke
otoritarianisme dan pada waktu yang lain ke arah demokrasi.
4.
Budaya Parokial-Subyek-Partisipan (Civic Culture)
Civic
culture (budaya kewarganegaraan) menekankan pada partisipasi rasional dalam
kehidupan politik, digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan
subyek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dari penggabungannya
dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan
keseimbangan aktivitas politik, keterlibatan dan adanya
rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap
nilai-nilai parokial. Singkatnya, budaya politik ini merupakan penggabungan
karakteristik dari ketiga budaya politik murni. Dalam pemahaman yang lebih
sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara
karakteristik-karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup
mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan
terhadap pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku, dan agama.
C.
Budaya Politik Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Politik
Sudah
cukup banyak ahli yang melakukan kajian terhadap budaya politik Indonesia.
Beberapa diantaranya menjadikan kelompok etnis Jawa sebagai titik tolak
analisis mereka atas dasar asumsi bahwa di masyarakat yang multietnik akan
ditemukan pola budaya yang dominan. Dalam hal ini, etnis Jawa dipandang sangat
mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik di
Indonesia. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa pola
hubungan yang ditemukan pada masyarakat Indonesia bersifat patronase
(patronage) yang sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara pemimpin dan
pengikut yang berkembang pada kebudayaan Jawa. Jackson (1978:23) misalnya,
menyatakan bahwa lingkaran hubungan patron-klien pada masyarakat Jawa disusun
atas relasi hubungan yang bersifat diadik, face to face, tidak setara, tetapi
saling menghargai antara pemimpin dengan pengikutnya (leaders and followers).
Sementara Gaffar (206:109) menyoroti dasar dari pola hubungan antara patron
(patron) dan klien (client) tersebut sebagai hubungan yang bersifat resiprokal
dengan mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh
masing-masing pihak. Pola hubungan tersebut walaupun bersifat asimetris, akan
tetap terpelihara selama masing-masing pihak memiliki sumber daya tersebut.
Dalam
konteks struktur sosial masyarakat Jawa, Gaffar (206:107) memandangnya sebagai
struktur yang bersifat hiearkhis yang didasarkan pada aspek kekuasaan (politis)
ketimbang atribut sosial yang bersifat materialistik. Dalam hal ini ada
pemilihan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan (priyayi sebagai
pihak penguasa atau wong gedhe) dan rakyat kebanyakan (wong cilik), yang
termanifestasi dalam kehidupan sosial di mana birokrat seringkali menampakkan
diri dengan self-image atau citra diri yang bersifat benevolensi, yaitu dengan
ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau
guru/pendidik bagi rakyatnya, sehingga mewajibkan rakyat loyal kepada mereka.
Implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kehidupan berdemokrasi
adalah rakyat mengalami proses alienasi dari proses politik. Rakyat diposisikan
sebagai objek yang harus selalu menerima segala keputusan pemerintah dalam
setiap kebijakan publik.
Dalam
kajian selanjutnya, Gaffar (2006:114) mensinyalir kemunculan budaya politik
yang bersifat neo-patrimonialistik dalam perpolitikan di Indonesia.Dikatakan
neo-patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan
rasionalistik, seperti birokrasi; tetapi juga memperlihatkan beberapa atribut
yang bersifat patrimonialistik sebagaimana konsep patrimonialisme yang
dikembangkan oleh Max Weber.
Pendapat
Rusadi Kantaprawira (2006:37-39) selaras dengan dua ahli sebelumnya.
Menurutnya, budaya politik Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi viariabel
feodalismepaternalisme, dan primordialisme. Indikator dari paternalisme dan
patrimonial yang masih cukup kuat mewarnai budaya politik Indonesia adalah asal
bapak senang (bapakisme); sedangkan indikator primordialisme berupa sentimen
kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekataan terhadap agama tertentu,
puritanisme dan non-puritanisme, dan sebagainya. Namun ditengah-tengah pengaruh
tradisionalisme tersebut, Kantaprawira mengidentifikasi tumbuhnya kelompok elit
di Indonesia sebagai akibat pengaruh pendidikan modern (Barat) yang merupakan
partisipan aktif. Atas dasar analisis pengaruh variabel-variabel tersebut
terhadap budaya politik masyarakat, Kantaprawira (2006:38) berkesimpulan bahwa
budaya politik Indonesia merupakan mixed political culture yang diwarnai oleh
besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-subyek.
Adapun
di Era Reformasi, berdasarkan kajian Budi Winarno (2008:66-70), budaya politik
masyarakat Indonesia ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan, karena
masih tetap diwarnai oleh paternalisme, parokhialisme, mempunyai orientasi yang
kuat terhadap kekuasaan, dan patrimonialisme yang masih berkembang dengan
sangat kuat.Hal ini disebabkan adopsi sistem politik hanya menyentuh pada
dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya (yang biasanya diwujudkan dalam
konstitusi), namun tidak pada semangat budaya yang melingkupi pendirian sistem
politik tersebut. Dalam mengkaji budaya politik masyarakat Indonesia atas dasar
empat budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan
Gabriel Almond, Winarno (2008:66-68) berkesimpulan bahwa budaya politik di
Indonesia merupakan kombinasi antara parochial-subject culture,
subject-participant culture, parochial-participant culture, dan civic culture.
Dalam hal ini budaya politik Indonesia, menurutnya, bergerak di antara subject-participant
culture dan parochial-participant culture. Subject-participant culture ditandai
oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap
input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan
masyarakat untuk mengubah kebijakan. Rasa sebagai wong cilik, orang-orang tidak
mampu, dan termarginalkan membuat mereka hanya berorientasi pada output sistem
politik dibandingkan dengan kepedulian terhadap proses input sistem politik.
Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di
daerah-daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan di mana masyarakat miskin dan
termarginalkan tumbuh subur.Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan
oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neo-liberal
mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar. Parochial-participant
culture ditandai semangat primordialisme secara berlebihan, yakni menguatnya
wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah.Dalam hal ini terdapat
tekanan dan desakan yang kuat di beberapa daerah agar pemimpin lokal seperti
walikota/bupati dan gubernur dipilih dari putra-putra daerah. Situasi ini jelas
akan merugikan sistem politik secara keseluruhan karena cenderung menimbulkan
konflik horizontal dan menghambat rasa kebangsaan (nation building) yang pada
akhirnya menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi. Sejauh ini belum
ditemukan kajian ahli tentang budaya politik masyarakat Indonesia dengan
menyertakan proporsi pada tiap kategori tipe budaya politik dalam konteks
mengetahui model orientasi masyarakat terhadap pemerintahan dan politik.
Tulisan ini mencoba memetakan budaya politik masyarakat Indonesia berdasarkan
klasifikasi tipe-tipe budaya politik menurut Almond dengan menyertakan proporsi
kuantitatif pendukung pada setiap klasifikasi.
Langkah
pemetaan dilakukan dengan melakukan dikotomi dua struktur komunitas: perkotaan
dan perdesaan. Selanjutnya warga pada masing-masing komunitas
dikelompokanberdasarkan status sosioekonomi mereka. Hal ini didasari pada pendapat
Lipset (dalam Asrinaldi, 2012:68) bahwa masyarakat yang memiliki status ekonomi
yang lebih baik akan lebih mudah berpartisipasi secara efektif ketimbang yang
memiliki status ekonomi yang berkekurangan. Dengan demikian terdapat
keterkaitan antara status sosioekonomi seseorang dengan perkembangan
demokrasi.Selain sosio-ekonomi, dimensi lain yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap perkembangan demokrasi adalah tingkat pendidikan formal. Tinggi-rendah
pendidikan individu berkaitan dengan rasionalitas seseorang dalam melakukan
evaluasi terhadap aktivitas politik.Dalam hal ini terdapat korelasi antara
sosio-ekonomi dengan tingkat pendidikan di mana pendidikan yang rendah pada
umumnya ditemukan pada masyarakat kalangan miskin.
Berdasarkan
hal tersebut, masyarakat perkotaan dibagi dalam tiga stratifikasi: masyarakat
miskin, kelas menengah, dan kelas atas. Sementara warga komunitas perdesaan
dibagi berdasarkan stratifikasi: elit − massa.
0 comments:
Post a Comment