Thursday, August 18, 2016

BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN POLITIK


A.    Pendahuluan

 Kebudayaan, merupakan blue print of behavior yang memberikan pedoman bagaimana warga masyarakat bertindak atau berperilaku dalam upaya mencapai tujuan bersama. Atas dasar kebudayaan, masyarakat membentuk prosedur-prosedur yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Budaya politik – sebagai unsur dari kebudayaan − merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun modern. Dalam hal ini Almond dan Verba (dalam Gaffer, 2006:99) mendefinisikan budaya politik sebagai “sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik Sedangkan David Easton (dalam Winarno, 2008:15) menyatakan bahwa budaya politik adalah “all politically relevan orientation whether of cognitive, evaluative, or expressive sort.”
Budaya politik merupakan aspek yang sangat siginifikan dalam sistem politik.Hal ini dikarenakan bekerjanya struktur dan fungsi politik dalam suatu sistem politik sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya (Winarno, 2008:65). Dalam konteks sistem politik Indonesia, Kantaprawira (2006:35) memposisikan budaya politik sebagai satu dari sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik, bahkan yang dianggap paling intens dan mendasari sistem politik. Lebih jauh, Kantaprawira (2006:36) mengkonstatasi bahwa salah satu parameter pembangunan politik Indonesia adalah tercapainya keseimbangan atau harmoni budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau akan ada.
Berpijak dari paparan di atas, tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai budaya politik Indonesia untuk mengenal atribut atau ciri yang terpokok untuk menguji prosesberlanjut maupun yang berubah, seirama dengan proses perubahan dan perkembangan politik masyarakat di masa konsolidasi demokrasi saat ini.
B. Tipe-tipe Budaya Politik
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1963) mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan politik : (1) Budaya politik parokial (parochial political culture) yang ditandai dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah. Hal ini disebabkan faktor kognitif, misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; (2) Budaya politik subyek (subject political culture) di mana anggota-anggota masyarakatnya memiliki minat, perhatian, mungkin pula kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap output-nya, namun perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik, boleh dikatakan nol; dan (3) Budaya politik partisipan (participant political culture) yang ditandai oleh adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik sehingga menyadari setiap hak dan tanggungjawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya.
Namun demikian, dalam suatu masyarakat kerapkali ditemukan inklanasi kepada salah satu tipe budaya politik, misalnya, dalam budaya politik partisipan masih dapat dijumpai individu-individu yang tidak menaruh minat pada obyek-obyek politik secara luas. Menyadari realitas budaya politik yang hidup di masyarakat tersebut, Almond menyimpulkan adanya budaya politik campuran (mixed political culture) yang menurutnya lazim terjadi pada masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan dan dinamika yang pesat, sehingga sistem politik bisa berubah dan kultur serta struktur politik senantiasa tidak selaras. Budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Almond sebagai berikut:
1. Budaya Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)
Tipe budaya politik saat sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuintutan ekslusif masyarakat suku yang feodalistik.Masyarakatnya mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang sentralistis.
2. Budaya Subyek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)
Proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan yang sangat dipengaruhi oleh cara bagaimana peralihan budaya parokial menuju budaya subyek. Dalam budaya subyek-partisipan ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi yang aktif; sementara sebagian penduduk masih terorientasi dengan struktur kekuasaan yang otoriter dan menempatkan partisipasi masyarakat pasif.
3. Budaya Parokial-Partisipan (The Parochial-Participan Culture)
Kondisi ini biasanya terjadi di dalam negara yang sedang berkembang.Hampir seluruh negara berkembang memiliki budaya parokial.Karenannya sistem politik mereka terancam oleh fragmentasi parokial yang tradisional, padahal mereka ingin secepatnya menjadi sebuah negara modern. Suatu masa, cenderung ke otoritarianisme dan pada waktu yang lain ke arah demokrasi.
4. Budaya Parokial-Subyek-Partisipan (Civic Culture)
Civic culture (budaya kewarganegaraan) menekankan pada partisipasi rasional dalam kehidupan politik, digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan subyek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dari penggabungannya dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan keseimbangan aktivitas politik, keterlibatan dan adanya rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai parokial. Singkatnya, budaya politik ini merupakan penggabungan karakteristik dari ketiga budaya politik murni. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan terhadap pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku, dan agama.
C. Budaya Politik Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Politik
Sudah cukup banyak ahli yang melakukan kajian terhadap budaya politik Indonesia. Beberapa diantaranya menjadikan kelompok etnis Jawa sebagai titik tolak analisis mereka atas dasar asumsi bahwa di masyarakat yang multietnik akan ditemukan pola budaya yang dominan. Dalam hal ini, etnis Jawa dipandang sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik di Indonesia. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa pola hubungan yang ditemukan pada masyarakat Indonesia bersifat patronase (patronage) yang sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara pemimpin dan pengikut yang berkembang pada kebudayaan Jawa. Jackson (1978:23) misalnya, menyatakan bahwa lingkaran hubungan patron-klien pada masyarakat Jawa disusun atas relasi hubungan yang bersifat diadik, face to face, tidak setara, tetapi saling menghargai antara pemimpin dengan pengikutnya (leaders and followers). Sementara Gaffar (206:109) menyoroti dasar dari pola hubungan antara patron (patron) dan klien (client) tersebut sebagai hubungan yang bersifat resiprokal dengan mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Pola hubungan tersebut walaupun bersifat asimetris, akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak memiliki sumber daya tersebut.
Dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, Gaffar (206:107) memandangnya sebagai struktur yang bersifat hiearkhis yang didasarkan pada aspek kekuasaan (politis) ketimbang atribut sosial yang bersifat materialistik. Dalam hal ini ada pemilihan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan (priyayi sebagai pihak penguasa atau wong gedhe) dan rakyat kebanyakan (wong cilik), yang termanifestasi dalam kehidupan sosial di mana birokrat seringkali menampakkan diri dengan self-image atau citra diri yang bersifat benevolensi, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau guru/pendidik bagi rakyatnya, sehingga mewajibkan rakyat loyal kepada mereka. Implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kehidupan berdemokrasi adalah rakyat mengalami proses alienasi dari proses politik. Rakyat diposisikan sebagai objek yang harus selalu menerima segala keputusan pemerintah dalam setiap kebijakan publik.
Dalam kajian selanjutnya, Gaffar (2006:114) mensinyalir kemunculan budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik dalam perpolitikan di Indonesia.Dikatakan neo-patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi; tetapi juga memperlihatkan beberapa atribut yang bersifat patrimonialistik sebagaimana konsep patrimonialisme yang dikembangkan oleh Max Weber.
Pendapat Rusadi Kantaprawira (2006:37-39) selaras dengan dua ahli sebelumnya. Menurutnya, budaya politik Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi viariabel feodalismepaternalisme, dan primordialisme. Indikator dari paternalisme dan patrimonial yang masih cukup kuat mewarnai budaya politik Indonesia adalah asal bapak senang (bapakisme); sedangkan indikator primordialisme berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekataan terhadap agama tertentu, puritanisme dan non-puritanisme, dan sebagainya. Namun ditengah-tengah pengaruh tradisionalisme tersebut, Kantaprawira mengidentifikasi tumbuhnya kelompok elit di Indonesia sebagai akibat pengaruh pendidikan modern (Barat) yang merupakan partisipan aktif. Atas dasar analisis pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap budaya politik masyarakat, Kantaprawira (2006:38) berkesimpulan bahwa budaya politik Indonesia merupakan mixed political culture yang diwarnai oleh besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-subyek.
Adapun di Era Reformasi, berdasarkan kajian Budi Winarno (2008:66-70), budaya politik masyarakat Indonesia ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan, karena masih tetap diwarnai oleh paternalisme, parokhialisme, mempunyai orientasi yang kuat terhadap kekuasaan, dan patrimonialisme yang masih berkembang dengan sangat kuat.Hal ini disebabkan adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya (yang biasanya diwujudkan dalam konstitusi), namun tidak pada semangat budaya yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut. Dalam mengkaji budaya politik masyarakat Indonesia atas dasar empat budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Gabriel Almond, Winarno (2008:66-68) berkesimpulan bahwa budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara parochial-subject culture, subject-participant culture, parochial-participant culture, dan civic culture. Dalam hal ini budaya politik Indonesia, menurutnya, bergerak di antara subject-participant culture dan parochial-participant culture. Subject-participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Rasa sebagai wong cilik, orang-orang tidak mampu, dan termarginalkan membuat mereka hanya berorientasi pada output sistem politik dibandingkan dengan kepedulian terhadap proses input sistem politik.
 Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di daerah-daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan di mana masyarakat miskin dan termarginalkan tumbuh subur.Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neo-liberal mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar. Parochial-participant culture ditandai semangat primordialisme secara berlebihan, yakni menguatnya wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah.Dalam hal ini terdapat tekanan dan desakan yang kuat di beberapa daerah agar pemimpin lokal seperti walikota/bupati dan gubernur dipilih dari putra-putra daerah. Situasi ini jelas akan merugikan sistem politik secara keseluruhan karena cenderung menimbulkan konflik horizontal dan menghambat rasa kebangsaan (nation building) yang pada akhirnya menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi. Sejauh ini belum ditemukan kajian ahli tentang budaya politik masyarakat Indonesia dengan menyertakan proporsi pada tiap kategori tipe budaya politik dalam konteks mengetahui model orientasi masyarakat terhadap pemerintahan dan politik. Tulisan ini mencoba memetakan budaya politik masyarakat Indonesia berdasarkan klasifikasi tipe-tipe budaya politik menurut Almond dengan menyertakan proporsi kuantitatif pendukung pada setiap klasifikasi.
Langkah pemetaan dilakukan dengan melakukan dikotomi dua struktur komunitas: perkotaan dan perdesaan. Selanjutnya warga pada masing-masing komunitas dikelompokanberdasarkan status sosioekonomi mereka. Hal ini didasari pada pendapat Lipset (dalam Asrinaldi, 2012:68) bahwa masyarakat yang memiliki status ekonomi yang lebih baik akan lebih mudah berpartisipasi secara efektif ketimbang yang memiliki status ekonomi yang berkekurangan. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara status sosioekonomi seseorang dengan perkembangan demokrasi.Selain sosio-ekonomi, dimensi lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan demokrasi adalah tingkat pendidikan formal. Tinggi-rendah pendidikan individu berkaitan dengan rasionalitas seseorang dalam melakukan evaluasi terhadap aktivitas politik.Dalam hal ini terdapat korelasi antara sosio-ekonomi dengan tingkat pendidikan di mana pendidikan yang rendah pada umumnya ditemukan pada masyarakat kalangan miskin.

Berdasarkan hal tersebut, masyarakat perkotaan dibagi dalam tiga stratifikasi: masyarakat miskin, kelas menengah, dan kelas atas. Sementara warga komunitas perdesaan dibagi berdasarkan stratifikasi: elit − massa.

0 comments: