Peristiwa kudeta berdarah pada kurun waktu tahun
1965-1966 mengindikasikan keterlibatan sekelompok elit militer dalam
menyingkirkan kelompok komunis yang berkembang secara pesat sebagai kekuatan
politik di Indonesia. Berbagai argumen mengenai siapa pihak paling
bertanggunjawab terhadap peristiwa tragis tersebutpun bermunculan, seperti PKI,
elit militer, ataupun Soeharto sendiri, namun belum ada satupun bukti yang
cukup meyakinkan siapa pelaku utama. Menurut Benedict R. Anderson dan Ruth
McVey, berpendapat bahwa kudeta tersebut lebih merupakan karena adanya
perpecahan dikalangan Angkatan Darat.
Indikasi keterlibatan militer dalam membunuh ratusan
ribu jiwa di bawah komando Soeharto menjadi fokus penelitian para cendekiawan
manca negara, seperti halnya penelitian Robert Hefner tentang kekerasan di
wilayah Jawa Timur, berkesimpulan bahwa, “Pada akhirnya, kekerasan di dataran
tinggi Pasuruan dalam pemahaman yang sederhana sekalipun bukanlah semata-mata
hasil/produk dari pembelahan sosial kelas lokal atau keagamaan. Itu semua
diatur oleh aparat-aparat negara dan termasuk di dalamnya adalah wakil-wakil
dari berbagai macam lembaga swadaya masyarakat, khususnya Nahdlatul Ulama.”
Situasi ekonomi dan politik memburuk di tahun 1965
seolah mendapatkan kesempatan mengikis habis PKI yang dianggap sebagai biang
keladi gerakan melawan pemerintah, yaitu dengan cara mempersenjatai kelompok
pemuda seperti analisa Damien Kingsbury:
“Pemerintahan dibawah Sukarno nyaris kehilangan
kendali atas ekonomi...laju inflasi secara umum mencapai 500%, dan harga beras
yang berada dalam persediaan yang menipis naik sekitar 900%. Defisit anggaran
naik menjadi 300% dari pendapatan pemerintah, dan jika pembayaran kembali
hutang-hutang luar negeri untuk tahun 1966 dilakukan sesuai jadual, maka hal
itu senilai dengan hampir keseluruhan pendapatan dari ekspor."
Percaya atau tidak, sejarah kekerasan oleh militer
dengan dalih menjaga stabilitas politik Indonesia tumbuh menjadi budaya.
Militer tumbuh dari rakyat merupakan awal terbentuknya militia (kelompok sipil
bersenjata atau paramiliter) dalam memperjuangkan kemerdekaan. Setelah perang
kemerdekaan para pemuda yang tergabung dalam kelompok paramiliter mendapatkan
pelatihan khusus dari tentara untuk membantu mengatasi perlawanan separatis
seperti di Aceh dan Timor Timur.
Oleh karena, kelompok paramiliter berkembang dengan
tempaan militer, maka merekapun terlatih untuk menggunakan berbagai cara-cara
ala militer, termasuk senjata. Mereka tidak segan menggunakan kekerasan seperti
membunuh dengan cara yang keji. Tidak jarang, kelompok-kelompok ini tumbuh
menjadi liar, berani menteror rakyat tidak bersalah, memeras, dan berbuat
kriminal. Fungsi mereka membantu milter berubah menjadi semacam tentara bayaran,
bertindak sesuai pesanan pihak berkuasa. Kelompok paramiliter yang tidak masuk
dalam struktur kekuasaan ini rupanya dimanfaatkan elit tertentu untuk menekan
pihak oposan di masa orde baru.
0 comments:
Post a Comment