Wednesday, August 10, 2016

Militer Dan Budaya Kekerasan Dalam Politik Indonesia


Peristiwa kudeta berdarah pada kurun waktu tahun 1965-1966 mengindikasikan keterlibatan sekelompok elit militer dalam menyingkirkan kelompok komunis yang berkembang secara pesat sebagai kekuatan politik di Indonesia. Berbagai argumen mengenai siapa pihak paling bertanggunjawab terhadap peristiwa tragis tersebutpun bermunculan, seperti PKI, elit militer, ataupun Soeharto sendiri, namun belum ada satupun bukti yang cukup meyakinkan siapa pelaku utama. Menurut Benedict R. Anderson dan Ruth McVey, berpendapat bahwa kudeta tersebut lebih merupakan karena adanya perpecahan dikalangan Angkatan Darat.
Indikasi keterlibatan militer dalam membunuh ratusan ribu jiwa di bawah komando Soeharto menjadi fokus penelitian para cendekiawan manca negara, seperti halnya penelitian Robert Hefner tentang kekerasan di wilayah Jawa Timur, berkesimpulan bahwa, “Pada akhirnya, kekerasan di dataran tinggi Pasuruan dalam pemahaman yang sederhana sekalipun bukanlah semata-mata hasil/produk dari pembelahan sosial kelas lokal atau keagamaan. Itu semua diatur oleh aparat-aparat negara dan termasuk di dalamnya adalah wakil-wakil dari berbagai macam lembaga swadaya masyarakat, khususnya Nahdlatul Ulama.”
Situasi ekonomi dan politik memburuk di tahun 1965 seolah mendapatkan kesempatan mengikis habis PKI yang dianggap sebagai biang keladi gerakan melawan pemerintah, yaitu dengan cara mempersenjatai kelompok pemuda seperti analisa Damien Kingsbury:
“Pemerintahan dibawah Sukarno nyaris kehilangan kendali atas ekonomi...laju inflasi secara umum mencapai 500%, dan harga beras yang berada dalam persediaan yang menipis naik sekitar 900%. Defisit anggaran naik menjadi 300% dari pendapatan pemerintah, dan jika pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri untuk tahun 1966 dilakukan sesuai jadual, maka hal itu senilai dengan hampir keseluruhan pendapatan dari ekspor."
Percaya atau tidak, sejarah kekerasan oleh militer dengan dalih menjaga stabilitas politik Indonesia tumbuh menjadi budaya. Militer tumbuh dari rakyat merupakan awal terbentuknya militia (kelompok sipil bersenjata atau paramiliter) dalam memperjuangkan kemerdekaan. Setelah perang kemerdekaan para pemuda yang tergabung dalam kelompok paramiliter mendapatkan pelatihan khusus dari tentara untuk membantu mengatasi perlawanan separatis seperti di Aceh dan Timor Timur.
Oleh karena, kelompok paramiliter berkembang dengan tempaan militer, maka merekapun terlatih untuk menggunakan berbagai cara-cara ala militer, termasuk senjata. Mereka tidak segan menggunakan kekerasan seperti membunuh dengan cara yang keji. Tidak jarang, kelompok-kelompok ini tumbuh menjadi liar, berani menteror rakyat tidak bersalah, memeras, dan berbuat kriminal. Fungsi mereka membantu milter berubah menjadi semacam tentara bayaran, bertindak sesuai pesanan pihak berkuasa. Kelompok paramiliter yang tidak masuk dalam struktur kekuasaan ini rupanya dimanfaatkan elit tertentu untuk menekan pihak oposan di masa orde baru.


0 comments: