Persepsi
seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya.
Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau
harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya,
jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga
dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik.
Adapun
faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik yaitu sebagai berikut:
1.
Perbedaan individu yang meliputi
perbedaan pendirian dan perasaan.Setiap manusia adalah individu yang unik.
Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu
dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu
karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.
Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok.
Manusia memiliki
perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab
itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang
sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
4.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik
sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses
industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai
lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu
seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah
yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser
menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Menurut Mulyasa
(2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak
merasa dirugikan, baik secara material maupun nonmaterial. Untuk mencegahnya
harus dipelajari peneyababnya, antara lain:
a.
Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena
perbedaan pendapat dan masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan
pendapat ini meruncing dan mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan
ketegangan.
b.
Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah
paham (mis understanding), misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya
baik, tetapi dianggap merugikan oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan
menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati dan kebencian.
c.
Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan.
Konflik dapat terjadi karena tindakan salah satu pihak mungkin dianggap
merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang
dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati atau benci.
Perasaan-perasaan ini dapat menimbulkan konflik yang mengakibatkan kerugian
baik secara materi, moral, maupun sosial.
d.
Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena
terlalu sensitif, mungkin tindakan seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak
lain terlalu sensitive maka dianggap merugikan, dan menimbulkan konflik,
walapun secara etika tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap siswa dan tidak satu
siswa pun yang tidak pernah mengalami konflik antar temannya atau dengan
kelompok kelas lainnya.
0 comments:
Post a Comment