Sunday, August 07, 2016

Negosiasi dan Kekerasan Saat Perdamaaian Di Aceh


Kekerasan baik yang terjadi secara nyata maupun sebagai sebuah ancaman menjadikan alat yang efektif untuk mendatangkan kepatuhan. Pesan yang terkandung dalam di dalam ancaman berisi informasi yang lebih banyak mengenai konsekuensi yang akan terjadi.  Dengan kata lain, munculnya kekerasan dan ancaman sebagai bagian dari bargaining dalam melakukan negosiasi.

Mengutip pendapat Pilar dan Aggestam & J nsson, Kristine Hoglund mengatakan bahwa berakhirnya perang dapat dilihat sebagai proses tawarmenawar. Ada tiga hal yang dikemukakan oleh Hoglund tentang kekerasan dan negosiasi. Pertama, insiden kekerasan dapat mempengaruhi proses negosiasi. Tindakan kekerasan dapat menyebabkan salah satu pihak untuk menarik atau melanjutkan mendukung negosiasi. Misalnya, pada Juni 1992, Kongres Nasional Afrika (ANC) memutuskan hubungan resmi dengan pemerintah dalam menanggapi pembantaian ANC-pendukung di Boipatong di selatan Transvaal. Akibatnya, pembicaraan di Afrika Selatan hanya bisa dilanjutkan setelah keterlibatan PBB dan kekerasan tambahan.

Kedua, kekerasan dapat mempengaruhi pihak yang sedang bernegosiasi. Bom yang meledak di kota Omagh, Co Tyrone, Irlandia Utara pada tanggal 15 Agustus 1998 dimana kelompok IRA mengakui bertanggung jawab atas serangan tersebut, memberikan ilustrasi contoh ketika kedua belah pihak bereaksi terhadap insiden kekerasan. Bom tersebut menewaskan 29 orang dari kedua komunitas. Akibatnya kedua belah pihak bergabung untuk mengutuk serangan itu. Selain itu, Pemerintah Inggris dan Irlandia menanggapi pemboman tersebut sebagai langkah bersama untuk melawan terorisme.

Ketiga, kekerasan dapat mempengaruhi keterlibatan aktor eksternal untuk negosiasi. Meskipun aktor eksternal mungkin tidak terlalu berpengaruh, namun pengaruh mereka secara tidak langsung dapat melemahkan atau memperkuat proses perdamaian dengan menarik atau meningkatkan dukungan untuk negosiasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan didefiniskan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kompleksitas motivasi manusia, Menurut T. Robert Gurr, seorang pakar resolusi konflik mengatakan bahwa para neurofisiologis menemukan dua sistemhasrat (appetitive system) besar sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada manusia.

Pertama stimulasi yang menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Kedua, stimulasi yang menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan kemarahan. Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia dan mendorong tindakan-tindakannya. Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan menimbulkan tindakan agresi. Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi bagi kekerasan kolektif. Deprivasi relatif (relative deprivation) menurut Gurr adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi (is) dalam kepuasan nilai kolektif, dan yang mendorong manusia untuk melakukan kekerasan.
Dengan kata lain Gurr hendak mengatakan bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan adalah karena ketidakpuasan. Sementara Johan Galtung menyimpulkan bahwa kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensinya secara wajar. Galtung menambahkan bahwa penghalang itu adalah sesuatu yang dapat dihindarkan. Dengan kata lain, kekerasan dapat dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan

Lebih detail lagi Johan Galtung (1981), mengelompokkan kekerasan menjadi empat bagian.

1.      Kekerasan langsung (direct violence): Tindakan yang menyerang secara fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Dengan kata lain, kekerasan yang terjadi berupa kontak langsung antara pelaku dan korban. Kekerasan ini meliputi pemusnahan etnis, kejahatan perang, pengusiran paksa, serta perkosaan dan penganiayaan. Kekerasan langsung mengancam HAM, khususnya hak untuk hidup.
2.      Kekerasan tak langsung (indirect violence); Tindakan yang membahayakan manusia, bahkan sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut. Dalam arti kekerasan yang terjadi melalui sebuah mendium, tidak secara langsung mengenai korban baik secara fisik maupun psikologis.

Ada dua jenis kekerasan tak langsung.
a.      Kekerasan karena kelalaian (violence by ommision) Yakni kekerasan yang menyebabkan seseorang dalam bahaya dan tidak ada orang yang menolongnya. Jenis kekerasan ini meliputi kekerasan sosial (misalnya distribusi makanan yang tidak merata) dan ’kekerasan bisu’ (misalnya kelaparan).
b.      Kekerasan perantara (mediated violence). Yakni kekerasan yang merupakan hasil dari intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain. Salah satu bentuk kekerasan perantara yaitu ecocide (tindak penghancuran, mengganggu dan perusakan lingkungan alam karena mengganggu kesehatan, menyebabkan manusia menderita dan sengsara.
3.      Kekerasan represif; Kekerasan yang dilakukan dengan mengekang kebebasan hak-hak seseorang, yang meliputi pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. Kekerasan represif terkait dengan tiga hak dasar, yaitu hak sipil, hak politik dan hak sosial.
4.      Kekerasan alienatif; Kekerasan yang mengakibatkan seseorang terasingkan dengan lingkungannya. Mencakup pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya atau intelektual. Jenis kekerasan ini penting untuk menegaskan bahwa keberadaan manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non-materi. Salah satu bentuk kekerasan ini adalah ethnocide, yaitu kebijakan atau tindakan yang betul-betul mengubah kondisi material atau sosial menjadi di bawah satu identitas kultural kelompok tertentu.

Analisa lain tentang kekerasan adalah dari Don R. Bowen dan Louis H. Masotti. Menurutnya kekerasan sipil (civil violence) adalah suatu kekerasan yang bertujuan untuk melakukan perlawanan secara langsung terhadap orang-orang, barang-barang yang merupakan simbol-simbol dari politik pemerintahan sipil.
Ada dua hal yang menjadi penyebab kekerasan sipil ini. Pertama, perasaan tidak puas antara apa yang diperoleh dengan apa yang dicita-citakan atau apa yang diharapkan tidak sesuai. Dengan kata lain, ada jarak atau perbedaan antara kenyataan dengan keinginan. Kedua, adanya konflik kelompok yang merupakan hasil dari perjuangan kelompok dalam masyarakat, sehingga menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Seperti etnis, ras, agama, pembagian wilayah, kepemimpinan dan sebagainya.


Sikap saling menyerang satu sama lain merupakan cermin perbedaan sosial yang menimbulkan kekerasan sipil. Dengan adanya konflik antar kelompok, maka kekerasan menjadi semakin meningkat. Dan Penyebab yang mendasar kekerasan sipil adalah adanya pemerintahan yang kehilangan legitimasi. Kalaupun legitimasi itu masih ada, maka kekerasan sipil yang ada berupa kerusuhan sosial. Untuk menyelesaikan kekerasan sipil ini, pemerintah harus memiliki kapasitas sistem yang berhubungan dengan kemampuan untuk merespon kekerasan sipil ini dengan kekuatan melakukan perubahan. 

0 comments: