Kekerasan
baik yang terjadi secara nyata maupun sebagai sebuah ancaman menjadikan alat
yang efektif untuk mendatangkan kepatuhan. Pesan yang terkandung dalam di dalam
ancaman berisi informasi yang lebih banyak mengenai konsekuensi yang akan
terjadi. Dengan kata lain, munculnya kekerasan
dan ancaman sebagai bagian dari bargaining dalam melakukan negosiasi.
Mengutip
pendapat Pilar dan Aggestam & J nsson, Kristine Hoglund mengatakan bahwa
berakhirnya perang dapat dilihat sebagai proses tawarmenawar. Ada tiga hal yang
dikemukakan oleh Hoglund tentang kekerasan dan negosiasi. Pertama, insiden
kekerasan dapat mempengaruhi proses negosiasi. Tindakan kekerasan dapat menyebabkan
salah satu pihak untuk menarik atau melanjutkan mendukung negosiasi. Misalnya,
pada Juni 1992, Kongres Nasional Afrika (ANC) memutuskan hubungan resmi dengan
pemerintah dalam menanggapi pembantaian ANC-pendukung di Boipatong di selatan
Transvaal. Akibatnya, pembicaraan di Afrika Selatan hanya bisa dilanjutkan
setelah keterlibatan PBB dan kekerasan tambahan.
Kedua,
kekerasan dapat mempengaruhi pihak yang sedang bernegosiasi. Bom yang meledak
di kota Omagh, Co Tyrone, Irlandia Utara pada tanggal 15 Agustus 1998 dimana
kelompok IRA mengakui bertanggung jawab atas serangan tersebut, memberikan
ilustrasi contoh ketika kedua belah pihak bereaksi terhadap insiden kekerasan.
Bom tersebut menewaskan 29 orang dari kedua komunitas. Akibatnya kedua belah
pihak bergabung untuk mengutuk serangan itu. Selain itu, Pemerintah Inggris dan
Irlandia menanggapi pemboman tersebut sebagai langkah bersama untuk melawan
terorisme.
Ketiga,
kekerasan dapat mempengaruhi keterlibatan aktor eksternal untuk negosiasi.
Meskipun aktor eksternal mungkin tidak terlalu berpengaruh, namun pengaruh
mereka secara tidak langsung dapat melemahkan atau memperkuat proses perdamaian
dengan menarik atau meningkatkan dukungan untuk negosiasi.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan didefiniskan sebagai perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kompleksitas motivasi
manusia, Menurut T. Robert Gurr, seorang pakar resolusi konflik mengatakan
bahwa para neurofisiologis menemukan dua sistemhasrat (appetitive system) besar
sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada manusia.
Pertama
stimulasi yang menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Kedua,
stimulasi yang menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan kemarahan.
Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia dan mendorong tindakan-tindakannya.
Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan menimbulkan tindakan agresi.
Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya dinamika psikologis untuk
hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi bagi kekerasan kolektif.
Deprivasi relatif (relative deprivation) menurut Gurr adalah istilah yang
digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan
antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi (is) dalam kepuasan nilai
kolektif, dan yang mendorong manusia untuk melakukan kekerasan.
Dengan
kata lain Gurr hendak mengatakan bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan
adalah karena ketidakpuasan. Sementara Johan Galtung menyimpulkan bahwa
kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk
mengaktualisasikan potensinya secara wajar. Galtung menambahkan bahwa
penghalang itu adalah sesuatu yang dapat dihindarkan. Dengan kata lain,
kekerasan dapat dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan
Lebih
detail lagi Johan Galtung (1981), mengelompokkan kekerasan menjadi empat
bagian.
1.
Kekerasan
langsung (direct violence): Tindakan yang
menyerang secara fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Dengan kata lain,
kekerasan yang terjadi berupa kontak langsung antara pelaku dan korban.
Kekerasan ini meliputi pemusnahan etnis, kejahatan perang, pengusiran paksa,
serta perkosaan dan penganiayaan. Kekerasan langsung mengancam HAM, khususnya
hak untuk hidup.
2.
Kekerasan tak langsung (indirect violence); Tindakan yang membahayakan
manusia, bahkan sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung
antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggung
jawab atas tindakan kekerasan tersebut. Dalam arti kekerasan yang terjadi
melalui sebuah mendium, tidak secara langsung mengenai korban baik secara fisik
maupun psikologis.
Ada
dua jenis kekerasan tak langsung.
a.
Kekerasan
karena kelalaian (violence by ommision) Yakni kekerasan yang menyebabkan
seseorang dalam bahaya dan tidak ada orang yang menolongnya. Jenis kekerasan
ini meliputi kekerasan sosial (misalnya distribusi makanan yang tidak merata)
dan ’kekerasan bisu’ (misalnya kelaparan).
b.
Kekerasan
perantara (mediated violence). Yakni kekerasan yang merupakan hasil dari
intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang
membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain. Salah satu bentuk kekerasan
perantara yaitu ecocide (tindak penghancuran, mengganggu dan perusakan
lingkungan alam karena mengganggu kesehatan, menyebabkan manusia menderita dan sengsara.
3.
Kekerasan represif; Kekerasan yang
dilakukan dengan mengekang kebebasan hak-hak seseorang, yang meliputi pencabutan
hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan.
Kekerasan represif terkait dengan tiga hak dasar, yaitu hak sipil, hak politik
dan hak sosial.
4.
Kekerasan alienatif; Kekerasan yang
mengakibatkan seseorang terasingkan dengan lingkungannya. Mencakup pencabutan
hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya
atau intelektual. Jenis kekerasan ini penting untuk menegaskan bahwa keberadaan
manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non-materi. Salah satu
bentuk kekerasan ini adalah ethnocide, yaitu kebijakan atau tindakan
yang betul-betul mengubah kondisi material atau sosial menjadi di bawah satu
identitas kultural kelompok tertentu.
Analisa
lain tentang kekerasan adalah dari Don R. Bowen dan Louis H. Masotti.
Menurutnya kekerasan sipil (civil violence) adalah suatu kekerasan yang bertujuan
untuk melakukan perlawanan secara langsung terhadap orang-orang, barang-barang
yang merupakan simbol-simbol dari politik pemerintahan sipil.
Ada
dua hal yang menjadi penyebab kekerasan sipil ini. Pertama, perasaan tidak puas
antara apa yang diperoleh dengan apa yang dicita-citakan atau apa yang
diharapkan tidak sesuai. Dengan kata lain, ada jarak atau perbedaan antara
kenyataan dengan keinginan. Kedua, adanya konflik kelompok yang merupakan hasil
dari perjuangan kelompok dalam masyarakat, sehingga menimbulkan perpecahan
dalam masyarakat. Seperti etnis, ras, agama, pembagian wilayah, kepemimpinan
dan sebagainya.
Sikap
saling menyerang satu sama lain merupakan cermin perbedaan sosial yang
menimbulkan kekerasan sipil. Dengan adanya konflik antar kelompok, maka
kekerasan menjadi semakin meningkat. Dan Penyebab yang mendasar kekerasan sipil
adalah adanya pemerintahan yang kehilangan legitimasi. Kalaupun legitimasi itu
masih ada, maka kekerasan sipil yang ada berupa kerusuhan sosial. Untuk menyelesaikan
kekerasan sipil ini, pemerintah harus memiliki kapasitas sistem yang
berhubungan dengan kemampuan untuk merespon kekerasan sipil ini dengan kekuatan
melakukan perubahan.
0 comments:
Post a Comment