Partisipasi rakyat dalam pemilu
merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Apabila
masyarakat, memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, maka proses pembangunan
politik akan berjalan dengan baik, dan ini akan sangat berarti pada
perkembangan bangsa dan Negara. Sebaliknya partisipasi politik juga tidak akan
bermakna apa-apa dan tidak berarti sama sekali kalau ia tidak memenuhi syarat
dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu partisipasi rakyat
terhadap pemilu merupakan hal yang penting untuk dilihat karena rendah atau
tingginya partisipasi merupakan indikator pengejawantahan dari kedaulatan
rakyat.
Partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi
anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan
pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Seperti ditegaskan
oleh Huntington (dalam Budiarjo 1998 : 3). Partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif.
Dari apa yang diutarakan di atas
maka masyarakat yang bijak adalah masyarakat yang ikut serta dalam proses
pemilihan umum dalam rangka menentukan pemimpin yang akan menentukan kehidupan
kita. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat secara tidak langsung
dipengaruhi oleh seseorang yang ikut ambil bagian dalam proses pemilihan umum. Sebagai
masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang terbaik yang
sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang akan
dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya
mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji
yang sudah diucapkan dalam masa kampanye.
Kebalikan dari partisipasi adalah
apatis. Sikap ini dapat diambil karena orang kurang paham mengenai masalah
politik, atau ada juga karena tidak yakin usaha untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan
kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidak sertaan
merupakan hal yang terpuji.
Menurut MC Closky dalam Budiarjo
(1998 : 6) bahwa sikap acuh tak acuh dari beberapa sarjana malahan dapat
dianggap sebagai hal yang positif karena memberi fleksibilitas kepada system
politik, dibanding dengan masyarakat yang warga negaranya terlalu aktif
sehingga menjurus ke pertikaian yang berlebihan, fragmentasi dan instabilitas.
Disamping itu mereka tidak ikut
berpartisipasi karena menurut mereka keadaan tidak terlalu buruk dan mereka
percaya bahwa siapapun yang akan dipilih tidak akan mengubah keadaan yang ada,
sehingga tidak perlu untuk memanfaatkan hak pilihnya. Malah dengan kondisi yang
demikian itu menurut Robert Dahl perasaan puas semacam ini menyebabkan
partisipasi menjadi rendah.
Di Amerika pada umumnya
partisipasinya lebih rendah daripada di Negara-negara Eropa Barat. Pada th 1990
angka itu mencapai 52 %, tetapi di Eropa pada tahun yang sama misalnya Perancis
dan Jerman 86 % dan 90 %, di Inggris 77,7% pada tahun 1992. Di negeri Belanda angka
partisipasi mencapai 86 % dan di Malaysia 82 %.
Penelitian Lipset ini kemudian
diperkuat lagi bahwa orang kota lebih banyak memberikan suara dari pada orang
desa, pria lebih banyak daripada wanita, dan yang kawin lebih banyak daripada
yang belum kawin (Budiarjo, 1998 : 8). Ternyata di Amerika sepertiga dari
kelompok warga Negara yang paling tinggi status serta pendapatannya mengadakan partisipasi
enam kali lebih banyak daripada sepertiga dari kelompok warga Negara yang
paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak tanggapan positif dari
pemerintah.
Indonesia juga menghadapi masalah
dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Hal ini dapat dilihat
dari partisipasi pemilih yang telah dibuktikan lewat penyelenggaraan Pemilu
yang setiap tahunnya selalu menurun. Pemilu yang diadakan sejak tahun 1999
hingga 2009, terjadi penurunan yang signifikan. Tingkat partisipasi pemilu yang
diadakan pada tahun 1999 adalah 92% menjadi 84% pada tahun 2004, dan terus
menurun pada Pemilu yang diadakan pada tahun 2009 yakni hanya sebesar 71%.
Secara konsisten rata-rata penurunan dari 3 periode pemilu tersebut sebesar
10%. Jika trend ini diikuti maka sangat mungkin pemilu tahun 2014 tingkat
partisipasinya tinggal 60 %. Selain menurunnya angka partsisipasi pada 3
periode pemilu, jumlah suara yang tidak syah juga mengalami kenaikan dai 3,3 %
pada pemilu 1999 menjadi 9,7 % pada pemilu 2004, dan melonjak pada angka 4,4 %
pada Pemilu 2009 (PERLUDEM 2014)
Masalah yang berkaitan dengan
partisipasi juga dialami oleh India, mengingat tingkat partisipasinya dalam
kurun waktu 60 tahun terakhir dibawah 60 %. Oleh karena itu KPU India
menggandeng berbagai pihak dari media, masyarakat sipil untuk bersama-sama
mensukseskan pemilu. Kondisi ini berbeda denga Australia, dengan lembaga yang menangani
pemilu adalah Australian electoral Commision (AEC). AEC membedakan antara
education dan information. Education dimaknai sebagai proses yang panjang dan
berkaitan dengan pendidikan politik. Sedangkan information lebih pada upaya
jangka pendek untuk penyampaian informasi kepada pemilih terkait dengan pemilu.
Sedangkan apa yang mendorong
mereka berpartisipasi menurut Alford yang dikutip oleh Rush dan Althoff
(1983:73) ditentukan oleh Individual choice yang didasarkan pada untung rugi,
pendekatan ini menyatakan bahwa memahami sikap pemilih tidak jauh berbeda
dengan memahami sikap masyarakat di pasar. Individual choice yang dijelaskan dalam
pendekatan ini sangat pasti berdasarkan pada preferensi pembeli, dikaitkan
dengan sikap politik masyarakat di Indonesia. Sehingga manakah calon anggota
legislatif yang menawarkan program-program nya yang menarik pada pemilih, maka
pemilih akan menyadarkan tawaran program tersebut pada preferensi atau
kebutuhan-kebutuhannya ke depan, atau paling tidak mendekati
keinginan-keinginan/kebutuhannya ke dapan.
Individual choice yang dimiliki
seseorang adalah hubungan antara pilihan partai dan karakteristik para pemberi
suara yang berkaitan dengan lingkungan dan pengalamannya. Karakteristik social
seseorang yang meliputi status social ekonomi, kelompok rasa tau etnik, usia,
jenis kelamin, dan agama baik yang hidup di perkotaan maupun di pedesaan mempengaruhi
partisipasi politik mereka.
Berbeda dengan Alford menurut
pendapat Soewondo (2005) bahwa partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa
pendekatan yaitu, Pertama pendekatan yang menekankan pada faktor sosiologis
didalam membentuk sikap dan tindakan masyarakat untuk melakukan pilihan di pemilihan
umum. Pendekatan sosiologis melihat dari pendekatan pada pentingnya peranan
kelas atas preferensi seseorang. Pendekatan ini meyakini bahwa kelas merupakan
basis pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang
berdasarkan kelompokkelompok yang ada di masyarakat yang berlainan karena
kepentingan ekonomi.
Pendekatan partisipasi tidak
hanya didasarkan pada perbedaan kelas tetapi juga sangat dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan seseorang, daerah tinggal seseorang, pekerjaan seseorang dan
lain sebagainya, khususnya yang berdekatan dengan sisi sosiologis. Misalnya
individu/ masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “orang kecil” akan
memberikan suaranya kepada calon anggota legislative atau partai politik yang
mempunyai positioning dengan cara mengidentifikasikan dirinya sendiri seperti
rakyat pemilih sebagai wong cilik. Selain itu rakyat pemilih yang tinggal di
suatu daerah / bekerja di suatu kantor/ bekerja di suatu tempat, yang kebetulan
daerah atau kantor atau tempat tersebut dikenal sebagai basis suatu kelompok
tertentu, sehingga secara tidak langsung akan memilih calon-calon anggota
legislative dan partai politik di tempat tingalnya atau di tempat mereka
bekerja. Selain dari kedua pemilih itu ada pemilih/individu/masyarakat yang
berpendidikan tinggi akan memilih calon-calon anggota legislative dan partai
politik yang mengidentifikasikan diri pemilihnya sebagai orang-orang pintar atau
cendekiawan. Untuk itu jika dilihat dari sisi pekerjaan, akan ditarik kesimpulan
yang menyatakan bahwa pemilih yang bekerja sebagai guru akan memilih calon
anggota legislative yang berasal dari golongan guru pula, para pegawai kantor
atau suatu dinas akan cenderung memilih calon anggota legislative yang berasal
dari lingkungan mereka sendiri dan seterusnya.
Kedua, pendekatan yang lebih
memberikan penekanan pada faktor psikologis dari pemilih itu sendiri.
Pendekatan psikologis, menjelaskan bahwa partisipasi menitik beratkan pada
kedekatan seseorang terhadap calon anggota legislatif, karena kedekatannya
dengan agama yang dianut, atau juga pekerjaan orang tua dan lain sebagainya.
Misalnya seorang yang mempunyai agama yang kental (santri) akan secara pasti
memilih calon anggota legislative yang diidentifikasikan oleh rakyat pemilih
sebagai person yang memiliki nilai keislaman yang lebih tinggi dibanding calon
legislative lainnya. Sedangkan orang abangan akan memilih calon anggota
legislative dari kelompok abangan pula.
Sedangkan menurut Milbrath dalam
Maran (2007 : 156) ada 5 faktor utama yang mendorong orang berpartisipasi
politik, yaitu: (1) sejauh mana orang menerima perangsang politik. Dalam hal
ini minat berpartisipasi dipengaruhi misalnya sering mengikuti diskusi-diskusi
politik melalui media massa atau melalui diskusi formal maupun informal. (2) faktor
karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial yang
mempunyai kepedulian sosial yang besar terhadap problem social, politik,
ekonomi, social budaya, biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik. (3)
karakteristik social menyangkut status social ekonomi, kelompok ras, etnis, dan
agama seseorang. Bagaimanapun lingkungan social itu ikut mempengaruhi persepsi,
sikap perilaku seseorang dalam bidang politik. (4) situasi atau lingkungan
politik itu sendiri. Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa
lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik
daripada dalam lingkungan politik yang otoriter. Lingkungan politik yang sering
diisi dengan aktivitas aktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya
menjauhkan masyarakat dari wilayah politik. (5) pendidikan politik.
0 comments:
Post a Comment