Thursday, August 18, 2016

Partisipasi Rakyat Terhadap Pemilu


Partisipasi rakyat dalam pemilu merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Apabila masyarakat, memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, maka proses pembangunan politik akan berjalan dengan baik, dan ini akan sangat berarti pada perkembangan bangsa dan Negara. Sebaliknya partisipasi politik juga tidak akan bermakna apa-apa dan tidak berarti sama sekali kalau ia tidak memenuhi syarat dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu partisipasi rakyat terhadap pemilu merupakan hal yang penting untuk dilihat karena rendah atau tingginya partisipasi merupakan indikator pengejawantahan dari kedaulatan rakyat.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Seperti ditegaskan oleh Huntington (dalam Budiarjo 1998 : 3). Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
Dari apa yang diutarakan di atas maka masyarakat yang bijak adalah masyarakat yang ikut serta dalam proses pemilihan umum dalam rangka menentukan pemimpin yang akan menentukan kehidupan kita. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat secara tidak langsung dipengaruhi oleh seseorang yang ikut ambil bagian dalam proses pemilihan umum. Sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye.
Kebalikan dari partisipasi adalah apatis. Sikap ini dapat diambil karena orang kurang paham mengenai masalah politik, atau ada juga karena tidak yakin usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidak sertaan merupakan hal yang terpuji.
Menurut MC Closky dalam Budiarjo (1998 : 6) bahwa sikap acuh tak acuh dari beberapa sarjana malahan dapat dianggap sebagai hal yang positif karena memberi fleksibilitas kepada system politik, dibanding dengan masyarakat yang warga negaranya terlalu aktif sehingga menjurus ke pertikaian yang berlebihan, fragmentasi dan instabilitas.
Disamping itu mereka tidak ikut berpartisipasi karena menurut mereka keadaan tidak terlalu buruk dan mereka percaya bahwa siapapun yang akan dipilih tidak akan mengubah keadaan yang ada, sehingga tidak perlu untuk memanfaatkan hak pilihnya. Malah dengan kondisi yang demikian itu menurut Robert Dahl perasaan puas semacam ini menyebabkan partisipasi menjadi rendah.
Di Amerika pada umumnya partisipasinya lebih rendah daripada di Negara-negara Eropa Barat. Pada th 1990 angka itu mencapai 52 %, tetapi di Eropa pada tahun yang sama misalnya Perancis dan Jerman 86 % dan 90 %, di Inggris 77,7% pada tahun 1992. Di negeri Belanda angka partisipasi mencapai 86 % dan di Malaysia 82 %.
Penelitian Lipset ini kemudian diperkuat lagi bahwa orang kota lebih banyak memberikan suara dari pada orang desa, pria lebih banyak daripada wanita, dan yang kawin lebih banyak daripada yang belum kawin (Budiarjo, 1998 : 8). Ternyata di Amerika sepertiga dari kelompok warga Negara yang paling tinggi status serta pendapatannya mengadakan partisipasi enam kali lebih banyak daripada sepertiga dari kelompok warga Negara yang paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak tanggapan positif dari pemerintah.
Indonesia juga menghadapi masalah dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi pemilih yang telah dibuktikan lewat penyelenggaraan Pemilu yang setiap tahunnya selalu menurun. Pemilu yang diadakan sejak tahun 1999 hingga 2009, terjadi penurunan yang signifikan. Tingkat partisipasi pemilu yang diadakan pada tahun 1999 adalah 92% menjadi 84% pada tahun 2004, dan terus menurun pada Pemilu yang diadakan pada tahun 2009 yakni hanya sebesar 71%. Secara konsisten rata-rata penurunan dari 3 periode pemilu tersebut sebesar 10%. Jika trend ini diikuti maka sangat mungkin pemilu tahun 2014 tingkat partisipasinya tinggal 60 %. Selain menurunnya angka partsisipasi pada 3 periode pemilu, jumlah suara yang tidak syah juga mengalami kenaikan dai 3,3 % pada pemilu 1999 menjadi 9,7 % pada pemilu 2004, dan melonjak pada angka 4,4 % pada Pemilu 2009 (PERLUDEM 2014)
Masalah yang berkaitan dengan partisipasi juga dialami oleh India, mengingat tingkat partisipasinya dalam kurun waktu 60 tahun terakhir dibawah 60 %. Oleh karena itu KPU India menggandeng berbagai pihak dari media, masyarakat sipil untuk bersama-sama mensukseskan pemilu. Kondisi ini berbeda denga Australia, dengan lembaga yang menangani pemilu adalah Australian electoral Commision (AEC). AEC membedakan antara education dan information. Education dimaknai sebagai proses yang panjang dan berkaitan dengan pendidikan politik. Sedangkan information lebih pada upaya jangka pendek untuk penyampaian informasi kepada pemilih terkait dengan pemilu.
Sedangkan apa yang mendorong mereka berpartisipasi menurut Alford yang dikutip oleh Rush dan Althoff (1983:73) ditentukan oleh Individual choice yang didasarkan pada untung rugi, pendekatan ini menyatakan bahwa memahami sikap pemilih tidak jauh berbeda dengan memahami sikap masyarakat di pasar. Individual choice yang dijelaskan dalam pendekatan ini sangat pasti berdasarkan pada preferensi pembeli, dikaitkan dengan sikap politik masyarakat di Indonesia. Sehingga manakah calon anggota legislatif yang menawarkan program-program nya yang menarik pada pemilih, maka pemilih akan menyadarkan tawaran program tersebut pada preferensi atau kebutuhan-kebutuhannya ke depan, atau paling tidak mendekati keinginan-keinginan/kebutuhannya ke dapan.
Individual choice yang dimiliki seseorang adalah hubungan antara pilihan partai dan karakteristik para pemberi suara yang berkaitan dengan lingkungan dan pengalamannya. Karakteristik social seseorang yang meliputi status social ekonomi, kelompok rasa tau etnik, usia, jenis kelamin, dan agama baik yang hidup di perkotaan maupun di pedesaan mempengaruhi partisipasi politik mereka.
Berbeda dengan Alford menurut pendapat Soewondo (2005) bahwa partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa pendekatan yaitu, Pertama pendekatan yang menekankan pada faktor sosiologis didalam membentuk sikap dan tindakan masyarakat untuk melakukan pilihan di pemilihan umum. Pendekatan sosiologis melihat dari pendekatan pada pentingnya peranan kelas atas preferensi seseorang. Pendekatan ini meyakini bahwa kelas merupakan basis pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompokkelompok yang ada di masyarakat yang berlainan karena kepentingan ekonomi.
Pendekatan partisipasi tidak hanya didasarkan pada perbedaan kelas tetapi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan seseorang, daerah tinggal seseorang, pekerjaan seseorang dan lain sebagainya, khususnya yang berdekatan dengan sisi sosiologis. Misalnya individu/ masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “orang kecil” akan memberikan suaranya kepada calon anggota legislative atau partai politik yang mempunyai positioning dengan cara mengidentifikasikan dirinya sendiri seperti rakyat pemilih sebagai wong cilik. Selain itu rakyat pemilih yang tinggal di suatu daerah / bekerja di suatu kantor/ bekerja di suatu tempat, yang kebetulan daerah atau kantor atau tempat tersebut dikenal sebagai basis suatu kelompok tertentu, sehingga secara tidak langsung akan memilih calon-calon anggota legislative dan partai politik di tempat tingalnya atau di tempat mereka bekerja. Selain dari kedua pemilih itu ada pemilih/individu/masyarakat yang berpendidikan tinggi akan memilih calon-calon anggota legislative dan partai politik yang mengidentifikasikan diri pemilihnya sebagai orang-orang pintar atau cendekiawan. Untuk itu jika dilihat dari sisi pekerjaan, akan ditarik kesimpulan yang menyatakan bahwa pemilih yang bekerja sebagai guru akan memilih calon anggota legislative yang berasal dari golongan guru pula, para pegawai kantor atau suatu dinas akan cenderung memilih calon anggota legislative yang berasal dari lingkungan mereka sendiri dan seterusnya.
Kedua, pendekatan yang lebih memberikan penekanan pada faktor psikologis dari pemilih itu sendiri. Pendekatan psikologis, menjelaskan bahwa partisipasi menitik beratkan pada kedekatan seseorang terhadap calon anggota legislatif, karena kedekatannya dengan agama yang dianut, atau juga pekerjaan orang tua dan lain sebagainya. Misalnya seorang yang mempunyai agama yang kental (santri) akan secara pasti memilih calon anggota legislative yang diidentifikasikan oleh rakyat pemilih sebagai person yang memiliki nilai keislaman yang lebih tinggi dibanding calon legislative lainnya. Sedangkan orang abangan akan memilih calon anggota legislative dari kelompok abangan pula.

Sedangkan menurut Milbrath dalam Maran (2007 : 156) ada 5 faktor utama yang mendorong orang berpartisipasi politik, yaitu: (1) sejauh mana orang menerima perangsang politik. Dalam hal ini minat berpartisipasi dipengaruhi misalnya sering mengikuti diskusi-diskusi politik melalui media massa atau melalui diskusi formal maupun informal. (2) faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial yang mempunyai kepedulian sosial yang besar terhadap problem social, politik, ekonomi, social budaya, biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik. (3) karakteristik social menyangkut status social ekonomi, kelompok ras, etnis, dan agama seseorang. Bagaimanapun lingkungan social itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap perilaku seseorang dalam bidang politik. (4) situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik daripada dalam lingkungan politik yang otoriter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitas aktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik. (5) pendidikan politik.

0 comments: