Tuesday, August 23, 2016

PERAN PARA AKTOR DALAM MEWUJUDKAN PILKADA ACEH YANG DAMAI


Pilkada menjadi gerbang awal bagi proses demokratisasi di Aceh. Namun, Pilkada bukan ajang konflik. Memang, dalam setiap kegiatan politik akan selalu ditemui gesekan-gesekan karena perbedaan kepentingan. Hal ini yang seringkali menjadi konflik. Namun jika para aktor dalam suatu event pilkada dapat mengelola potensi konflik, maka konflik bukan sesuatu yang harus dihindari tapi dimaknai secara arif. Maka inilah yang perlu dilakukan oleh para aktor dalam pilkada.
1.      KIP (KOMISI INDEPENDEN PEMILU)
Peran KIP dalam Pilkada di Aceh ini sangat krusial. Lembaga inilah yang menyelenggarakan pelaksaan pemilu di Aceh. Oleh karena itu, lembaga ini harus memiliki profesionalitas yang teruji dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KIP perlu menyelenggarakan pilkada secara seksama dan terstruktur seperti yang telah direncanakan. Sebagai penyelenggara pilkada, KIP mesti bersifta netral. Jelas, bahwa posisinya bukan sebagai pendukung para calon tapi mengakomodasi para calon untuk maju ke pertarungan politik melalui pilkada.

            Konflik yang terjadi bisa saja muncul dari kurang tanggapnya KIP terhadap permasalahan mengenai pilkada di masyarakat. Seperti yang diberitakan, terdapat salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang akhirnya tidak ada didatangi oleh sekitar 300an warga masyarakat karena ada permasalahan. Ini adalah bentuk ketidakpuasan warga masyarakat karena ternyata ada warga yang seharusnya bisa mencoblos tetapi oleh panitia pengumungutan setempat tidak diperkenankan mencoblos karena hanya membawa KTP. Padahal, di media massa di Aceh sudah disiarkan, bagi mereka yang hanya memiliki KTP juga bisa turut mencoblos.4 Kenyataan di lapangan berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi di salah satu TPS saja tetapi di berbagai TPS. Masyarakat menjadi tidak percaya terhadap kinerja KIP. Inipun tidak ada tanggapan yang positif dari KIP.
2.      MASYARAKAT DAN PILKADA
Bagaimanapun juga, pelaksanaan pilkada merupakan suatu kebutuhan bernuansa politis bagi kesejahteraan masyarakat nantinya. Pilkada diharapkan mampu menghasilkan para pemimpin-pemimpin daerah yang mempunyai kapabilitas memimpin di Aceh, kecakapan, sikap yang baik dan tentu saja sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan dari masyarakat. Masyarakat Aceh selama ini mengalami masa krisis yang luar biasa. Sejak berlangsungnya konflik dengan GAM dan bencana gempa serta tsunami membuat masyarakat Aceh mengalami pengalaman psikologis yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu, pilkada menjadi harapan bagi masyarakat Aceh untuk mendapatkan pemimpin yang kiranya dapat mendengarkan keluahan dan aspirasi mereka. Pilkada membuka harapan baru untuk dapat keluar dari keterpurukan. Masalah lain, adalah kemiskinan yang ada di Aceh. Harapannya, dengan pilkada masyarakat bisa menemukan sosok yang bisa memperbaiki nasib mereka di kemudian hari.

            Namun, harapan tanpa aksi adalah sia-sia. Dalam pilkada langsung yang istimewa ini, masyarakat wajib untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan lingkungan politik yang lebih demokratis. Partisipasi aktif sederhana bisa ditunjukkan dengan mengikuti pencoblosan. Ini tanda awal bagi masyarakat bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang mengantarkan pada pintu perubahan yang lebih baik. Selain itu, menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai juga merupakan tanggungjawab bersama antara seluruh pihak termasuk masyarakat.Peran aktif masyarakat dalam menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai sangat penting. Konflik tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Munculnya konflik juga berasal dari gesekan-gesekan masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan dalam pilkada hendaknya tidak perlu menjadi konflik fisik yang hanya akan menghancurkan dan menambah beban bagi masyarakat sendiri. Justru, ketika ditemukan kecurangan-kecurangan di dalam pilkada, masyarakat hendaknya melihat ini sebagai kasus hukum kriminal yang harus diselesaikan lewat jalur hukum juga, bukan melalui kontak senjata.

            Kampanye yang melibatkan masyarakat dan memobilisasi massa perlu juga diperlihatakan bahwa rasa damai tetap ada dalam pilkada. Jangan sampai, aksi mobilisasi massa menjadi ajang kerusuhan antar pendukung calon. Bom yang meledak pada saat pencoblosan melukai jalannya pilkada damai. Apalagi, bom meledak di salah satu TPS di Aceh Utara. Peran serta masyarakat untuk menjaga perdamaian belum sepenuhnya dipahami sebagai sebuah proses yang membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan hati. Masih ada beberapa warga yang meneror warga lain dan berusaha menggagalkan pilkada. Rasa ketidakpuasan ini tidak disalurkan ke tempat yang tepat, tetapi justru menimbulkan ketegangan dan kerusuhan.


3.      PANITIA PENGAWAS DAN PEMANTAU PILKADA
Dari data yang didapatkan, pilkada di Aceh termasuk pilkada yang ramai pemantau. Artinya, banyak sekali lembaga-lembaga pemantau pilkada, baik yang berasal dari dalam negri maupun, dari luar negeri maupun dari badan-badan internasional. Tercatat, ada 6 lembaga asing yang memantau pilkada, yakni: European Union Election Observation Mission (EUEOM), International Republican Institute (IRI), Asian Networking For Free Election (ANFREL), National Democratic Intitute (NDI), Pemerintah Amerika Serikat (AS), dan Local Government Support Program (LGSP). Sedangkan dari dalam negeri terdapat 5 lembaga yakni: Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP). Adapun pemantau lokal adalah Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh, Aceh International Recovery Program dan I-Card.6
Selain ada pemantau pilkada juga diawasi oleh Panwaslih. Fungsi dari Panwas Pilkada sebenarnya sama pentingnya dengan proses pilkada itu sendiri. Jika ternyata dalam pilkada ditemukan berbagai macam penyelewengan dan pelanggaran maka akan menorehkan tinta merah dalam demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para pengawas dan pemantau pilkada. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pilkada haruslah mendapatkan sanksi yang tegas dengan diproses secara hukum. Panwas harus bekerja ekstra sepanjang berlangsungnya pilkada mulai dari tahap persiapan hingga pelantikan gubernur. Mengawasi jalannya pencoblosan pada 11 Desember 2006 yang lalu menjadi salah satu contoh tugas pengawas pemilu.

            Panitia pengawas harus memiliki kompetensi khusus. Mereka harus bisa solid dan bekerjasama. Jangan sampai pengawas pilkada justru berada di balik money politic selama pilkada. Sebelumnya, anggota panwas memang dibekali dengan pelatihan yang dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh bekerja sama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Kemitraan) yang diselenggarakan dua kali, yakni: 7-8 November dan 10-11 November. Tujuannya adalah membangun kredibilitas dan kompetensi anggota panwas dalam rangka pilkada. Panwas juga dibekali pengetahuan hukum tentang pilkada. Dengan demikian Panwas tidak hanya bekerja secara formalitas, namun juga benar-benar memiliki semangat untuk menjadikan pilkada Aceh menjadi momen yang sangat penting bagi tumbuhnya iklim demokrasi di Aceh. Jangan sampai pilkada diwarnai dengan money politic, aksi-aksi curang dan tidak adil lainnya.
4.      KETERLIBATAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
Sejak adanya otonomi khusus dan penandatanganan MoU, peran pemerintah pusat dalam mengurus Aceh menjadi sangat minim. Namun, peran yang kecil ini jangan mudah dilupakan oleh pemerintah pusat, khususnya dalam pilkada. Jika fungsi dan peran pemerintah pusat di daerah terlupakan, yang terjadi adalah saling lempar tanggungjawab. Ketika ada permasalahan di daerah, maka pemerintah pusat hanya mengandalkan daerah dengan mengatakan “itu adalah urusan daerah, pusat tidak harus tahu”. Begitu juga di pemerintahan pusat, akan terjadi saling hujat “pemerintah pusat dirasa kurang tanggap”. Inilah memang kelemahan dar otonomi khusus di Aceh. Jika yang terjadi demikian maka, bisa jadi Pilkada Aceh menjadi ajang konflik.

Memang, MoU dan UU PA membuat peran daerah menjadi sangat besar. Namun kemampuan daerah juga sangat terbatas. Apalagi pelaksanaan pilkada serentak di satu provinsi Oleh karena itu, perlu ada kerjasama antar daerah untuk mewujudkan pemilu yang damai dan aman. Pemerintah pusat harus memonitor dan juga turut mengevaluasi proses pilkada yang terjadi di Aceh. Tidak semena-mena dengan meninggalkan tanggungjawabnya di Aceh apalagi penandatanganan MoU di Helsinski jelas bukan antara pemerintah daerah dan GAM melainkan dengan pemerintah pusat dengan GAM.
5.      PESERTA PILKADA DAN PERWUJUDAN DAMAI
Peserta Pilkada dalam hal ini para calon walikota/bupati dan gubernur sungguh menjadi sorotan. Merekalan yang nantinya menjadi pemimpin-pemimpin Aceh. Tugas mereka nantinya sangat berat, karena berbagai permasalahan masih menghantui masyarakat Aceh, yakni masalah ekonomi dan penyelesaian rekonstruksi pasca gempa dan tsunami.
Pilkada NAD diawali dengan ikrar damai para calon yang maju untuk menjadi Gubernur. Sebelas orang dari 8 pasangan menandatangani keputusan bersama untuk menjaga agar pemilu NAD berjalan damai, jujur dan adil. Keputusan bersama ini menunjukkan sikap arif yang dimiliki para calon untuk menciptakan stabilitas politik dalam pilkada menuju arah lebih baik. Oleh karena itu, para calon ini harus benar-benar mentaati apa yang telah diputuskan secara bersama-sama ini. Kotrak damai tidak hanya di awal pilkada namun harus diresapkan oleh para calon hingga pilkada selesai yakni saat pelantikan para pemimpin Aceh ini.
            Salah satu kelemahan dari ikrar damai adalah kurangnya sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran oleh salah satu calon. Semuanya masih tergantung Undang-undang. Ikrar damai hanya bentuk pernyataan moral para calon kepada masyarakat, pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu, hendaknya ikrar damai tidak hanya berada di jajaran para calon. Para calon juga harus mengajak masyarakat pendukungnya khususnya, dan masyarakat umumnya untuk menciptakan tatanan politik yang damai selama Pilkada. Bagaimanapun juga, konflik selalu ada dalam masyarakat, apalagi masyarakat Aceh masih memiliki trauma politik akibat konflik. Sangat rentan sekali terjadi konflik jika tidak dikendalikan. Para calon bertugas untuk bisa mengendalikan masyarakat. Pada akhirnya, ikrar damai dihayati dari tingkat atas hingga ke akar rumput. Damai Pilkada diharapkan juga berlangsung dan bertahan selamanya.
            Para calon yang mengadakan kampanye harus berhati-hati. Mobilisasi massa bisa menjadi salah satu pemicu konflik. Jika dilihat dari background para calon gubernur, ada yang berasal dari GAM dan mendapat dukungan cukup luas. Ada juga yang berasal dari partai politik tertentu. Jika para pendukung ini bertemu, bisa jadi terjadi konflik. Namun pencoblosan berlangsung, hal ini tidak terjadi. Pengendalian dari para calon terhadap pendukungnya ternyata cukup efektif. Sepertinya, masyarakat Aceh sudah cukup lelah untuk berkonflik. Namun, tercatat ada konflik kecil, yakni penyerangan secara sporadis kepada calon gubernur Humam Hamid pada saat kampanye. Akibatnya, sebuah bus kampanye rusak dan banyak umbul-umbul yang dibakar di lokasi kejadian. Meski demikian, pada umumnya, kampanye di Aceh berlangsung cukup aman.

            Para calon akan selalu berjanji tetapi tidak perlu memprovokasi. Prokasi yang dilakukan oleh calon pemilu memunculkan stereotipe kepada kelompok lain. Hal ini yang seringkali menjadi pemicu konflik. Kampanye berusaha memperlihatkan kapasitas diri yang terbaik, bukan ajang menjatuhkan, menjelek-jelekkan calon lain. Semua calon harus bisa menunjukkan kemampuannya sebagai gubernur agar masyarakat menaruh perhatian dan simpati yang mendalam. Tetapi di ujungnya nanti, bagi calon yang terpilih harus bisa melaksanakan janji-janjinya. Jangan sampai perhatian dan simpati masyarakat hilang ketika pemimpin mereka tidak bisa menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan janji-janji yang diucapkan
6.      TNI/POLRI HARUS MENCIPTAKAN SUASANA DAMAI
            Keberadaan TNI di Aceh membuat trauma bagi masyarakat Aceh. Peran TNI sebagai pelindung masyarakat ternyata tak cukup dibuktikan selama 30 tahun saat konflik. TNI cenderung menjadi pembunuh bagi GAM yang juga bagian dari masyarakat Aceh. Peran TNI benar-benar tidak bisa membuat masyarakat menjadi lebih tenang, tetapi jutsru ketegangan. Masyarakat telah terlanjur memberikan stigma yang negatif terhadap keberadaan TNI di Aceh. Apalagi, selama konflik, jumlah personel yang diterbangkan ke Aceh selalu ditambah. Aceh bukan menjadi lahan hidup masyarakat tetapi justru menjadi medan perang.
Setelah MoU, stigma terhadap TNI mulai bergeser. Menurut perjanjian, TNI mulai banyak yang ditarik dari bumi Aceh. TNI menjadi alat pangaman masyarakat Aceh, bukan lagi alat negara untuk menghancurkan pemerontak. Stigma negatif selama konflik terhadap TNI memang mulai pudar, namun semata-mata bukan sikap TNI yang berubah tetapi lebih pada tuntutan situasi. Satu hal yang menonjol adalah adanya penandatanganan MoU.
TNI di Aceh harus mereformasi sikap di tengah masyarakat. Secara individu, TNI harus bisa bergabung dalam masyarakat luas, menjadi pengayom dan pelindung. TNI tidak harus memandang masyarakat menjadi dua, mana yang GAM dan mana yang bukan GAM. Pasca MoU, tidak ada kata GAM dan bukan GAM, yang ada hanyalah masyarakat Aceh. Mereka yang memang mengacaukan keamanan baru bisa ditindak. Dari pihak TNI, stigma negatif tentang GAM juga harus dihilangkan. Kenyataannya, selama 30 tahun konflik yang terjadi selalu antara pihak TNI dan GAM, oleh karena itu pengendalian konflik juga harus berasal dari TNI. Mulai dari atasan hingga bawahan. Mau tidak mau, Pilkada Aceh yang rentan konflik harus diantisipasi. TNI dan POLRI harus mewujudkan damai di tengah masyarakat.
7.      PERS DAN KEHIDUPAN POLITIK ACEH
            Peran yang tak kalah penting dalam suanana kehidupan demokrasi suatu masyarakat adalah media massa. Media massa atau pers merupakan sarana pencapaian demokratisasi pemilu yang bisa menyentuh semua kalangan, baik di tingkat masyarakat hingga pejabat pemerintahan. Memberdayakan media massa dalam memberikan suasana demokratis merupakan usaha yang efektif dalam suatu negara. Dalam artian ini, Media massa tidak menutup diri dalam kehidupan politik suatu negara tetapi menjadi sarana yang terbuka bagi siapa saja untuk memberikan informasi maupun pemberitaan yang penting bagi masyarakat yang menyangkut informasi politik.

            Namun, di dalam kehidupan politik yang penuh konflik, media massa menjadi sarana yang melanggengkan konflik. Dengan bahasa, media massa bisa memberikan informasi yang sifatnya profokatif. Media massa mampu menggerakkan massa. Sebelumnya, terbentuk suatu opini publik mengenai issue politik krusial yang berkaitan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kelompok lain ditonjolkan lainnya dimarjinalkan. Oleh karena itu, aktor di media massa perlu menjadi titik perhatian dalam kehidupan politik.
Sama halnya yang harus terjadi di Aceh. Media massa harus menjadi media yang memanusiakan manusia, memberikan informasi yang tepat tanpa dilebihkan dan ditutup-tutupi. Pemberitaan-pemberitaan harus senetral mungkin dan tidak memihak manapun. Dalam konteks pilkada, media harus menjadi saluran aspirasi bagi semua calon dan masukan juga dari masyarakat. Dengan demikian, media massa juga turut mengembangkan kehidupan politik yang lebih demokratis di Aceh.

            Pemberitaan di media massa, baik lokal di Aceh maupun nasional harus mampu membangun pemikiran yang kritis bagi masyarakat. Selain itu, pers harus memberikan informasi terbuka dan jujur jika mendapati terjadinya penyelewengan-penyelewengan oknum pilkada. Inilah yang dinamakan watchdog, media berperan sebagai pengawas bagi jalannya perpolitikan, dalam hal ini adalah keberlangsungan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai. Bukan malah menjelek-jelekkan salah satu calon dan mengagungkan calon lain. Jika terjadi demikian, netralitas pemberitaan di media massa perlu dipertanyakan kembali.

            Pers juga bisa menjadi tempat untuk berdialog antara para calon dan masyarakat. Pers harus mampu akomodatif dalam menginformasikan para calon gubernur dan walikota/bupati. Informasi yang disampaikan tentu saja yang benar. Pers juga bisa mencatat janji-janji yang dikeluarkan para calon. Nantinya, para calon yang sudah membuat janji, bisa ditagih melalui pers, karena pers telah menjadi monitoring kampanye para calon.


0 comments: