Wednesday, August 31, 2016

Partai Politik


Partai poliltik adalah salah satu komponen yang penting dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Partai politik dipandang sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan. Argumen seperti ini sudah biasa kita dengar di berbagai media massa dan dalam seminar-seminar yang kita ikuti khususnya yang membahas tentang partai politik.
Secara etimologi politik berasal dari kata polis (Yunani) yang berarti kota atau negara kota. Kemudian diturunkan kata-kata polities yang berarti warga negara, politike te ckne’ berarti kemahiran politik dan politike episteme yang berarti ilmu politik. Secara istilah politikadalah usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita atau idiologi.
Orang pertama yang memperkenalkan kata politik adalah Aristotelesmelalui pengamatannya tentang “ manusia yang pada dasarnya adalah binatang politik”. Ia menjelaskan hakikat kehidupan sosial sesungguhnya merupakan politik dan interaksi satu sama lain dari dua atau lebih orang sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Dalam arti luas setiap orang adalah politisi. Dalam hal ini Aristoteles berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk memaksimalkan kemampuan seorang individu dan untuk mencapai bentuk kehidupan sosial yang tertinggi adalah melalu interaksi politik dengan orang lain dalam suatu kerangka kelembagaan, yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan untuk membentuk tujuan kolektif-negara. Karena itu semua orang adalah politisi, meski sebagian (penjabat negara) lebih banyak melakukan kegiatan politik bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Secara umum dapat dikatakan Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotnya mempunyai Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012 orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Menurut Carl J. Friedrich yang dikutip Miriam Budiardjo, Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Sigmund Neumann menyebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Batasan partai politik menurut RH Soltau dalam An Introduction to Politics ternyata sama dengan batasan yang diberikan oleh Raymond Garfield Gettel dalam Political Science. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah organisasi dengan mana orang ataupun golongan berusaha untuk memperoleh serta menggunakan kekuasaan.


MEDIA SEBAGAI INSTRUMEN PROPAGANDA

MEDIA SEBAGAI INSTRUMEN PROPAGANDA
Herman (1998:200-201) mengemukakan bahwa perubahan dramatik di bidang ekonomi, industri komunikasi, dan juga politik dalam satu dekade belakangan adalah kecenderungan mulai diterapkannya model propaganda. Dua filter yang paling pokok bagi berlangsungnya proses ini adalah pengaruh kepemilikan dan periklanan yang semakin meningkat. Di era globalisasi sekarang ini, terdapat trend bahwa media dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok masyarakat. Akibatnya, liputan media menjadi cenderung menguntungkan pemilik modal dan demi dukungan periklanan yang lebih besar. Filter ketiga dan keempat adalah -sourcing and flak-yang telah pula memperkuat pengaruh elit dalam kehidupan politik. Hiperkomersialisasi telah memunculkan gejala baru dalam bentuk pendangkalan laporan jurnalisme sebagai akibat efisiensi. Laporan jurnalisme investigatif dikurangi, demikian juga dengan biaya untuk pelatihan jurnalis. Media hanya mengandalkan liputan-liputan yang berorientasi ke atas dengan mengandalkan sumber-sumber elit politik dan ekonomi. Filter kelima adalah ideologi antikomunis. Hancurnya Uni Soviet telah membuat keyakinan terhadap “keajaiban pasar” (miracle of the market) semakin kuat. Keyakinan ini berujung pada “pentasbihan” ideologi pasar sebagai satu-satunya mekanisme yang diyakini paling efisien dalam mengelola sumber-sumber ekonomi. Dalam kehidupan media, berkuasanya ideologi pasar ini telah menciptakan market-driven journalism, telah mendorong media yang semata berorientasi pada kepentingan pasar/profit dibandingkan dengan melayani warga negara dan sistem politik demokrasi.
Dalam politik internasional, propaganda telah memainkan peranan yang menentukan dalam upayanya suatu negara untuk meraih tujuan-tujuan politik yang sudah ditetapkan (Holsti, 1983). Peranan semacam ini akan semakin kuat dalam masyarakat demokratis. Edward L. Bernays mengemukakan bahwa manipulasi kesadaran yang diorganisasikan dalam kebiasaan dan opini massa merupakan ciri-ciri paling utama masyarakat demokrasi. Suatu esensi demokrasi yang juga merupakan cara untuk memelihara struktur kekuasaan, struktur otoritas, kesejahteraan, dan lain sebagainya (Dikutip dari Chomsky, 1998:181). Dalam kaitan ini, propaganda digunakan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri dan sikap-sikap masyarakat yang menjadi target. Perkembangan teknologi komunikasi dan beroperasinya media-media lintas batas negara bangsa yang telah menstransformasi politik internasional membuat aktor-aktor propaganda tidak lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga warga negara (lihat gambar 1), dan dalam konteks tersebut media berperan dalam menyebarluaskan pesan-pesan propaganda melalui berita dan pesan-pesan lain ke target.
Realitas Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 menjadi contoh konkret bagaimana media menjadi agen propaganda yang efektif dalam membangun dukungan domestik untuk merencanakan perang besar. Bahkan, dalam konteks Perang Teluk, media terlibat dalam skandal ‘penipuan’ yang dilakukan oleh Pentagon melalui penyesatan informasi (Kellner, 1992). Kellner (1992:6) mengemukakan “the tv networks, by contrast, tended merely to reproduce what they were told or shown by US government and military”. Liputan media-media mainstream dan terutama televisi telah memengaruhi cara pandang orang tentang perang. Dalam hal ini, dukungan dan antipati sangat ditentukan oleh bagaimana media menyiarkan perang tersebut. Kondisi ini berulang ketika AS melakukan invasi ke Iraq guna menjatuhkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Di sini, media berperan besar dalam memobilisasi dukungan terhadap Perang Iraq dengan hanya menampilkan opini Gedung Putih (Chomsky, 2006). Media gagal memberikan konteks, dan karenanya gagal pula dalam memberikan informasi kepada warga negara AS secara lengkap. Seperti dikemukakan Dennet (2006: 80), dalam kasus Perang Iraq dan Terorisme, salah satu kelemahan besar laporan media arus utama (di AS) adalah kegagalan menempatkan konteks, dan ironisnya sekolah-sekolah dan universitas di Amerika juga mengidap kekurangan ini. Konteks yang dimaksud Dennet adalah apa sebenarnya motif dan latar belakang perang AS di Timur Tengah. Menurutnya, perang tersebut bukan karena motif perang melawan terorisme, tetapi dalam kajian sejarah yang panjang perang tersebut sebenarnya berkenaan dengan minyak. Media gagal menghadirkan informasi ini dan hanya mengandalkan apa yang disampaikan para pejabat Gedung Putih. Akibatnya, masyarakatAS mendukung invasi pemerintahan Bush secara keliru karena informasi yang disampaikan kepada mereka juga keliru.
Menurut Dennet (2006:80), hal ini menjelaskan mengapa orang Amerika tampak naif tidak ketulungan, bahkan bodoh. Padahal, tidaklah demikian. Orang-orang Amerika, sebagaimana dikemukakan Dennet, hanya memerlukan konteks, yang gagal dipenuhi oleh media mainstream. Faktor penyebabnya, salah satunya, adalah komersialisasi produk mediaatau bahkan hiperkomersialisasi. Merujuk pendapat para senior di CNN, Borjesson (2006:17) mengemukakan bahwa dalam kasus Perang Iraq, audiens hanya memerlukan pemandu sorak dan bukannya liputan kritis. Oleh karenanya, menyediakan peliputan yang sedikit atau tidak ada peminatnya buruk buat rating dan buruk buat bisnis. Oleh karena itu, di saat-saat kritis semacam itu, CNN sebagai “Nama Terpercaya untuk Berita” sengaja mengorbankan integritas jurnalistik demi memberikan khalayak pemirsa apa yang mereka inginkan.
Dimensi lain dari persoalan globalisasi media adalah konsentrasi kepemilikan media-media tersebut di tangan segelintir orang, dan sebagian besar beroperasi di negara maju. Dalam suatu struktur yang monopolistik dan oligopolistik, orientasi media akan cenderung menguntungkan elit politik, yang akhirnya mengerucut ke dalam elit-elit transnasional. Media global akan lebih menyerukan kepentingan negara-negara besar dibandingkan dengan sebaliknya. Sayangnya, banyak penonton televisi yang tidak mengetahui hal ini. Menurut Hacten (1993:57), berita-berita asing di televisi ditunjang oleh dua agen berita televisi yang didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris. Kondisi semacam ini, tentunya, tidak begitu mengherankan karena media-media AS dan Inggris memonopoli siaran-siaran nasional dan dunia. Seperti dicatat Chalaby (2003:457), saluran-saluran televisi transnasional telah mempunyai dampak-dampak yang berbeda pada pasar-pasar media dan juga meningkatkan isu-isu penting globalisasi. Saluran-saluran televisi transnasional ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan saluran-saluran nasional.
Media bukanlah kekuatan netral dan tidak akan pernah menjadi kekuatan netral. Meskipun para akademisi dan wartawan dengan gigih menyerukan pentingnya jurnalisme yang mengabdi pada kebenaran, obyektivitas, dan orientasi pada kepentingan warga negara (Kovach dan Rosenthiel, 2004), tetapi pada kenyataannya jurnalisme dan media selalu berpihak pada kelompok elit. Edward S. Herman dan Noam Chomsky (2002, xi) dengan tegas mengemukakan bahwa di luar fungsi-fungsi lainnya media melayani dan mempropagandakan kepentingan-kepentingan kelompok sosial yang mengontrol dan membiayainya.
Dalam artikel yang berjudul “Paternalisme Baru: Membentuk Opini Publik”, John Dewey (1918) mengemukakan bahwa “demokrasi dikontrol melalui opini mereka (baca jurnalis), opini yang dibentuk atas dasar materi yang mereka peroleh, dan bahwa propaganda disamarkan sebagai distribusi berita melalui cara yang termurah dan terefektif untuk mengembangkan perasaan publik yang paling diinginkan (dikutip dari Combs dan Nimmo, 1993:56). Selanjutnya, Dewey mengkritik lebih jauh dengan mengatakan bahwa para penguasa selalu menggunakan pengaruh terhadap opini, dan ketika penemuan media massa telah mulai menyebar dan menarik perhatian membuat propaganda menjadi suatu pengaruh komunikasi lebih besar pada era modern.


Pembangunan Politik

Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman seperti itu, “pembangunan” disejajarkan dengan kata “perubahan social”. Bagi penganut pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga membutuhkan keterangan lain, seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme, ataupun pembangunan model Indonesia. Dalam pengertian seperti ini, teori pembangunan berarti teori sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan yang menguasai hampir setiap diskursus mengenai sosial.
Sementara itu, di lain pihak terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata ”pembangunan” itu sendiri adalah sebuah discourse, suatu idiologi dan teori tertang perubahan sosial. Dalam pandangan ini konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat netral, melainkan suatu aliran dan keyakinan idiologis dan teoritis serta praktik mengenai perubahan sosial.
Jika dilihat secara lebih mendalam dari pengertian dasarnya, pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam konteks politk dan idiologi tertentu. Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata pembangunan, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi. Dari kata-kata tersebut hanya perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah yang lebih positif. Oleh karena itu makna pembangunan bergantung dari konteks siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa.
Dalam konteks pembangunan politik, pendidikan nasional selalu diindikasikan memiliki dua sisi yang dilematik. Pada satu sisi, keharusan untuk melaksanakan pendidikan nasional secara merata dan berkesinambungan memang perlu dilakukan, setidaknya agar setiap lapisan masyarakat (terutama di negara berkembang seperti Indonesia) menjadi lebih sadar politik, sadar hukum, serta sadar lingkungan dalam arti seluas-luasnya. Pendidikan nasional mempunyai peran amat vital dalam mempersatukan bangsa (nation building).
Disisi lain, ketika pendidikan nasional talah menghasilkan sejumlah masyarakat terdidik, ketika itu pula konsep manusia seutuhnya menjadi mengemuka untuk dicarikan manifestasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan nasional yang semula ditujukan bagi nation building ternyata tidaklah cukup dibangun di atas pertimbangan-pertimbangan formalitas pendidikan akademik saja melainkan harus juga berdasarkan pada tuntutan aspirasi politk yang diakibatkan oleh pendidikan akademik tersebut.

Pembangunan politik bukanlah sekedar perubahan politik, melainkan pengembangan kesadaran politik masyarakat secara berkesinambungan dan berkeadilan. Artinya jika pendidikan nasional harus juga mengemban misi pembangunan politk, maka ia harus juga memajukan semua orang, meningkatkan kesadaran hak dan tanggung jawab politik mereka, meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, dan tentu saja juga harus melengkapi prediksi mereka sebagai manusia seutuhnya. Pendidikan nasional dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan untuk memajukan kemanusiaan, bukan sekedar kecerdasan untuk menyiasati pembangunan, juga bukan kecerdasan untuk membodohi sesama.

Saturday, August 27, 2016

Pengertian Budaya Politik

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu.7 Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh paling tidak dua manfaat, yakni: (1) sikap-sikap warga Negara terhadap sistem politik akanmempengaruhi tuntutan -tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu; (2) dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan kegiatan dalam sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat di mengerti. Budaya politik selalu inhern pada setiap masyarakat yang terdiri dari sejumlah individu yang hidup dalam sistem politik tradisional, transnasional, maupun modern. Almond dan Verba melihat bahwa pandangan tentang obyek politik, terdapat tiga komponen yakni komponen kognitif, efektif, dan evaluatif.
Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan itu sebagai pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat. Hal ini terjadi melalui proses sosialisasi politik agar masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai sosial budaya dan agama.
Tipe Budaya Politik
1.      Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a.       Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b.      Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men¬ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a.       Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b.      Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi,  kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.





Semangat Yang Tak Terkalahkan

Semangat Yang Tak Terkalahkan Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Ini sebuah kisah tentang perjalanan seorang Insan menatapi jejak kehidupan, ia lahir ke Dunia dari keluarga tidak miskin kurang kaya tapi sederhana. Ayah berdagang ibu mengasuh dia di rumah, sejak kecil hanya bersikap pasrah. Dirinya Di beri nama Muhammad Raditya Dika, Seorang Anak Laki-Laki yang Sejak kecil hidupnya sangat sederhana, Walau Hidupnya sederhana Anak Laki-Laki Berumur 11 Tahun yang kerap di Sapa Radit itu mempunyai cita-cita dan semangat yang tinggi dan Ambisinya sejak kecil dia ingin membahagiakan kedua orang tuanya dan sejak itu pula dia Semangat serta Rajin untuk mencapai Harapannya, menggapai mimpinya Meraih Cita-Citanya sebagai seorang Tentara atau lebih di kenal dengan sebutan TNI.

Saat ini Ia Duduk di bangku kelas 6 SD, di Sekolah SD Simpangan 01, sebentar lagi ia akan Lulus dan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMP Selain Sekolah dan Belajar ia juga rajin membantu Ibunya mengasuh Adik-adiknya yang masih kecil. Ia Radit adalah anak Pertama dari Tiga Bersaudara Adiknya yang pertama Bernama Ananda Syifa Fauziah yang masih Berumur 9 Tahun duduk di Bangku Kelas 4 SD di sekolah yang sama yaitu SD Simpangan 01, serta adiknya yang paling kecil Bernama Muhammad Sigit Darmawan ia masih berumur baru 1 Tahun.

Radit adalah Sosok anak laki-laki yang baik, sopan, rendah hati serta ramah. Tak heran tetangga-tetangganya di rum
... baca selengkapnya di Semangat Yang Tak Terkalahkan Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor Satu

Friday, August 26, 2016

Tinjauan Tentang Formulasi Kebijakan


Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik.
Fadillah (2001) menyatakan formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidaksepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan.
Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi kebijakan sebagai :
The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”
(Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutantuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik). Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri. (Wahab, 2004:17).

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka fadillah (2001) menyatakan ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalamformulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :
a.       Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik
b.      Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
c.       Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik
d.      Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi Kebijakan Publik.



Oleh sebab itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah (2001) mengutip pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :

1.      Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):
a.       Pemrosesan nilai;
b.      Pemrosesan realitas;
c.       Pemrosesan masalah;
d.      Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
e.       Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
f.       Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
g.      Penentuan strategi pembuatan kebijakan.

2.      Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
a.       Sub alokasi sumber daya;
b.      Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
c.       Penetapan nilai-nilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
d.      Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;
e.       Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas, berikut keuntungan dan kerugiannya;
f.       Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus menentukan alternatif mana yang terbaik;
g.      Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih tersebut diatas.


3.      Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)
a.       Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
b.      Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
c.       Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan;
d.      Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan.



Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahappertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya.

Model-model Perumusan Kebijakan


Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang rumit. Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan publik untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan modelmodel perumusan kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung secara rumit tersebut.
a.       Model Sistem
Paine dan Naumes (1974) menawarkan suatu model proses pembuatan kebijakan merujuk pada model sistem yang dikembangkan oleh David Easton. Model ini menurut Paine dan Naumes merupakan model deskripitif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan.
Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan (a) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, (b) memuaskan permintaan lingkungan, dan (c) secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.

Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi. Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan kebijakan.
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada diluar batas-batas politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukanmasukan (inputs) sebagai sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik.
Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi-alaokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan politik. Di dalam hubungan antara keduanya, pada saatnya akan terjadi umpan balik antara output yang dihasilkan sebagai bagian dari input berikutnya. Dalam hal ini, berjalannnya sistem tidak akan pernah berhenti.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep ”sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat yang berfunsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan yang otoritatif. Konsep ”sistem” juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.

b.      Model Rasional Komprehensif
Model ini merupakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan publik pada dasarnya model ini terdiri dari beberapa elemen, yakni :
1.      Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau paling tidak masalahtersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang lain.
2.      Berdasarkan atas masalah-masalah yang sudah ada ditangan pembuat kebijaksanaan tersebut kemudian dipilih dan disusun tujuan-tujuan dan nilainilai sesuai dengan urutan-urutan pentingnya.
3.      Kemudian pembuat kebijaksanaan menentukan atau menyusun daftar semua cara-cara atau pendekatan-pendekatan (alternatif-alternatif) yang mungkin dapat dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan atau nilai-nilai tadi.
4.      Pembuat kebijaksanaan seterusnya meneliti dan menilai konsekuensikonsekuensi masing-masing alternatif kebijaksanaan tersebut diatas.
5.      Selanjutnya hasil penelitian dan penilaian dari masing-masing alternatif itu dibandingkan satu sama lain konsekuensi-konsekuensinya
6.      Akhirnya, pembuat kebijaksanaan memilih alternatif yang terbaik, yaitu yang nilai konsekuensi-konsekuensinya paling cocok (rasional dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.(Islamy, 2000:50-51)

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

c.       Model Penambahan

Kritik terhadap model rasional komprehensif akhirnya melahirkan model penambaha atau inkrementalisme. Oleh karena itu berangkat dari kritik terhadap model rasional komprehensif, maka model ini berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model rasional komprehensif.
Model ini lebih bersifat deskriptif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan. Menurut Charles Lindblom (1979) sebagaimana dikutip oleh Solichin (2004:22) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan (inkrementalisme), yakni:
1.      Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan berada satu sama lain.
2.      Para pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
3.      Bagi setiap alternatif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
4.      Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan diredifinisikan secara teratur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
5.      Tidak ada keputusan atau cara pemecahan yangtepat bagi tiap masalah.Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu, meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
6.      Pembuatan keputusan secara inkremental pada hakikatnya bersifat perbaikanperbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalah sosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.

Inkrementalisme merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakankebijakan  merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi seperti ini, keputusan yang bijaksana akan lebih mudah dicapai kesepakatan bila persoalan-persoalan yang dipersengketakan berbagai kelompok dalam masyarakat hanya berupa perubahan-perubahan terhadap program-program yang sudah ada atau hanya menambah atau mengurangi anggaran belanja.
Sementara itu, konflik biasanya akan meningkat bila pembuat keputusan memfokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan besar yang dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian besar. Karena ketegangan politik yang timbul demikian besar dalam menetapkan program-program atau kebijakan baru, maka kebijakan masa lalu diteruskan untuk tahun depan kecuali bila terdapat perubahan politik secara substansial. Dengan demikian, pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusankeputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidakkepastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis karena didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang ada.


Kritik terhadap Teori Lewis A. Coser


Walaupun Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari paradigma Kaum Fungsionalisme struktural lainnya tetapi lewat karyanya terlihat bahwa dia tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama. Sumbangan Coser pada teori masih bertumpu pada tradisi fungsionalisme walaupun tidak seketat model Naturalis. Coser lebih menganggap Teori Konflik sebagai teori parsial dari pada pendekatan yang menjelaskan seluruh sosial. Dia lebih dekat dengan pandangan Robin william, seorang penganut fungsionalisme yang mengatakan bahwa masyarakat aktual terjadi bersama karena adanya konsensus oleh saling ketergantungan, oleh solidaritas, dan oleh paksaan. Pandangan Coser tentang Teori Sosiologi adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori konflik maupun konsensus yang parsial.
 Dalam tradisi Duekheim yang menekankan untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi harus menggunakan fakta-fakta sosial lainnya. Coser mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis yang menggunakan indikator obyektif untuk menjelaskan realitas sosial. Dengan demikian model manusia dari Coser jelas berada di luar biasanya psikologi sosial dan sebenarnya lebih dekat dengan kubu sosiologi tradisional. Manusia bukan merupakan sukma bebas yarlg dapat melakukan segala yang dapat diinginkannya, melainkan dihambat oleh lembaga-lembaga sosial dimana mereka berada.
Bagi Coser, realitas bukan merupakan realitas subyektif seperti yang dikemukakan oleh C.H. Cooley atau G.H. Mead tetapi realitas obyektif seperti yang dimaksud oleh Durkheim dan penganut Kaum Fungsionalisme lainnya. Seperti banyak ka.yu di dalam teori Sosiologi Coser juga mengandung berbagai kelemahan metodologis. Secara lahiriah bahwa konsen yang diungkapkan memang cukup memuaskan dan menyenangkan para pembaca tetapi semua teori yang diungkapkannyatidak mungkin diungkapkan untuk diuji secara empiris. Dalam Konsep Coser masih terdapat penalaran yang terbelit.

Kritik terhadap Teori Ralf Dahrendrof
Walaupun dalam banyak hal teori Dahrendrof mirip dengan teori Lewis Coser. Dalam karyanya yang terkenal "Class and Class Conflict in Industrial Society" (1959) Dahrendrof menyatakan bahwa konflik hanya merupakan teori Partial. Bagi Coser dan Dahrendrof dalam analisa struktural sosial konflik merupakan suatu fenomena yang harus diperhatikan. Persamaan diantara kedua ahli teori itu dan antara Dahrendrof dan kaum fungsional struktural lebih jauh dapat dilihat dalam anggapan dasar mereka tentang hakekat manusia, masyarakat dan arti penting Teori Sosiologi.
Dahrendrof telah menyiapkan suatu pembahasan eksplisif dari modal manusia yang dianggap sebagai esensi dari analisa sosiologis. Dia menyatakan bahwa semua orang yang dibahas oleh Ilmu Sosial merupakan makhluk abstrak yang artificial. Model-model yang demikian bermanfaat bagi suatu perburuan analisa ilmiah.
Dahrendrof menyatakan bahwa peranan merupakan kunci dalam memahami manusia sosiologis. Setiap orang menduduki posisi sosial dan setiap posisi tersebut harus diperankannya. Dahrendrof menyatakan bahwa peranan merupakan kunci dalam memahami manusia sosiologis. Setiap orang menduduki posisi sosial dan setiap posisi tersebut harus diperankannya. Dahrendrof menyatakan bahwa setiap peranan sampai pada tingkat tertentu membiarkan pelakunya tetap bebas.
Masyarakat menolong membentuk perilaku manusia, akan tetapi manusia itu sampai tingkat tertentu sebaliknya membentuk masyarakat. Peranan seorang ayah misalnya mencakup keharusan untuk memperlihatkan dan sebagian harus bertanggung jawab atas kebutuhan yang dipenuhi. Tetapi bagaimana kebutuhan tersebut dapat dipenuhi berbeda dari sati keluarga dengan keluarga yang lain tanpa ada ketentuan atau larangan dari masyarakat. Tetapi kebebasan atau fleksibilitas dapat diminati dan pelaksanaan semua peran yang kita miliki.
Walaupun telah berpegang pada model ilmiah tentang manusia dan masyarakat Dahrendrof menyimpang dari sosiologi yang menekankan kebutuhan akan suatu sosiologi bebas nilai. Karena manusia sesungguhnya bukan hanya homo sociological, dia juga sebagai manusia moral dan dengan suatu pandangan bebas nilai atas lapangan mengkaji himbauannya terhadap sosiologi yang relevan menganggap seperti apa sebenarnya masyarakat modern yang beradab dan terbuka (suatu tugas yang dianggap sebagai lapangan teori) dan tumbuhannya bahwa demikian ia dilengkapi dengan teori-teori adalah menjadi tugas sosiologi untuk mengambil bagian dalam proses perubahan realitas. Walaupun ketika menulis tentang teori dia berbicara seperti seorang pendeta tetapi teorinya jelas merupakan sumbangan penting bagi usaha yang patut dilakukan oleh seorang pendeta dalam menjelaskan struktural sosial. Terlepas dari hal itu mungkin terdapat jumlah kelompok yang bertentangan yang tak dihitung dan pertentangan dan antagonisme yang berbeda dengan pertentangan yang didasarkan atas struktur kekuasaan asosiasi. Dahrendrof mengakui bahwa penyebaran kelompok yang ekstrim serta pertentangan tersebut jarang sekali terjadi kenyataan. Biasanya dalam masyarakat historis tertentu pertentangan yang berbeda saling tumpang tindih jadi dalam kenyataan medan pertentangan itu berada di beberapa arena yang dominan.
Dahrendrof mengatakan bahwa kenyataan, status ekonomi dan status sosial walau bukan merupakan determinan kelas, demikian menurut istilah yang dia gunakan merupakan determinan kelas, demikian menurut istilah yang dia gunakan benar-benar dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Ia pengetengahkan proporsi sebagai berikut; bahwa semakin rendahkorelasi antara kedudukan dana aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya. Dengan perkataan lain kelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan dari para mereka yang terbuang dari status ekonomi dan kekuasaan. Bagi Dahrendrof sama seperti Coser dalam masyarakat maka pertentangan itu tidak dapat dihilangkan. Pertentangan tersebut fungsional bagi perkembangan dan perubahan struktural sosial.

Menurut Dahrendrof, bahwa analisis masyarakat dengan memakai segi pandangan konflik, bertitik tolak kenyataan bahwa anggotanya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu orang yang berkuasa dan mereka yang dikuasai.

Thursday, August 25, 2016

Sejarah pembangunan politik masa revormasi


Setelah terjadi berbagai goncangan ditanah air dan berbagai tekanan rakyat kepada presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selain itu pada masa ini juga memberi  kebebasan dalam menyampaikan pendapat, partisipasi masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di kontrol langsung oleh rakyat, dan kebijakan pembangunanpun didasari demokrasi yang bebunyi dari, oleh dan untuk rakyat, sehingga dengan dasar ini partisipasi rakyat tidak terkekang seperti pada masa orde baru,kehidupan perekonomian Indonesia dapat didorong oleh siap saja.
Selain pemabangunan nasional pada masa ini juga ditekankan kepada hak daerah dan masyarakatnya dalam menentukan daerahnya masing-masing, sehingga pembangunan daerah sangat diutamakan sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang no 32/2004,Undang-Undang 33/2004, Undang-Undang 18/2001 Untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang 21/2001 Untuk Papua. Keempat undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam melimpahkan wewenangnya kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat menentukan pembangunan yang sesuai ratyatnya inginkan.


Konflik-Konflik di Kelas


Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasi pendidikan antara lain adalah: berbagai sumber daya yang langka ditemukan disekolah, perbedaan dalam tujuan antara manager dengan guru, saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan, perbedaan dalam nilai atau persepsi. Selain sebab-sebab di atas, ada juga sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam pendidikan misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi (terutama lembaga swasta) dan masalah-masalah komunikasi yang tidak terarah.
Konflik-konflik yang terjadi di sekolah, seperti juga konflik-konflik yang terjadi di masyarakat atau organisasi yang lain, menyangkut manusia dalam organisasi. Seluruh masalah yang menyangkut segi manusia adalah rumit dan apabila tidak dibina dengan baik, akan merusak organisasi. Sebaliknya bila ditangani secara seksama, akan merupakan faktor yang esensial bagi pencapaian efektivitas dan tujuan organisasi.
Konflik-konflik yang terjadi di Kelas dapat dibedakan menjadi: (1) konflik internal individu; (2) konflik antarpribadi; (3) konflik antarkelompok; (4) konflik antarorganisasi.
Konflik internal individu, terjadi pada siswa yang seringkali mendapatkan tugas tambahan dari guru padahal banyak tuntutan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Apabila siswa tersebut tidak dapat menghadapinya, maka akan terjadi stres. Stres merupakan suatu produk tambahan yang kerap kali muncul pada konflik di dalam individu sendiri (Goleman, 1987). Konflik internal siswa ini, tidak hanya meresahkan individu siswa itu sendiri, melainkan juga dapat meresah kan para guru yang berhubungan dengannya di sekolah.
Konflik antarpribadi, terjadi antar siswa atau antara siswa dan guru. Sifatnya bisa substantif atau emosional. Konflik substantif, berupa perbedaan atau pertentangan tentang aspek-aspek akademik sekolah, seperti ketidakseimbangan distribusi beban tugas atau kerja di antara siswa. Konflik emosional, berupa perbedaan atau pertentangan kepentingan, kebutuhan antarsiswa yang bersifat individual.. Konflik antarpribadi ini merupakan jenis konflik yang sering dihadapi oleh para siswa.
Konflik antar kelompok, terjadi antara kelompok-kelompok siswa di sekolah. Konflik antarkelompok siswa atau antara kelas ini bisa terjadi karena perbedaan atau pertentangan usia atau senioritas, idealisme, kepentingan, kebutuhandan sebagainya dari masing-masing kelas antara siswa.
Sedangkan konflik antarorganisasi, terjadi antarorganisasi intra sekolah, seperti antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain, antara siswa dengan Komite Sekolah, dll. Pada umumnya konflik antarorganisasi ini karena adanya perbedaan atau persaingan antarorganisasi dalam mencapai tujuannya masing-masing.
Konflik-konflik karena faktor emosional bisa disebabkan oleh perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi di sekolah, seperti guru sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya, sering tidak masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak acuh terhadap lingkungan belajar, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan sesama siswa, berpikir agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah, dan atau melakukan pencurian secara kecil-kecilan, merupakan persoalan-persoalan di kelas yang mengarah pada terjadinya situasi konflik dan harus dihadapi oleh guru.

Seperti konflik umumnya, konflik-konflik yang terjadi di kelas juga dapat disebabkan karena faktor suasana kelas yang membosankan, persaingan, tuntutan yang berlebiham, atau variasi aktivitas.

Faktor-Faktor yang menimbulkan Konflik


Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik.

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik yaitu sebagai berikut:
1.      Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

4.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Menurut Mulyasa (2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun nonmaterial. Untuk mencegahnya harus dipelajari peneyababnya, antara lain:
a.       Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan ketegangan.
b.      Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (mis understanding), misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi dianggap merugikan oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati dan kebencian.
c.       Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati atau benci. Perasaan-perasaan ini dapat menimbulkan konflik yang mengakibatkan kerugian baik secara materi, moral, maupun sosial.
d.      Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitive maka dianggap merugikan, dan menimbulkan konflik, walapun secara etika tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap siswa dan tidak satu siswa pun yang tidak pernah mengalami konflik antar temannya atau dengan kelompok kelas lainnya.