Pada
abad XV, Kerajaan Aceh Darussalam, di bawah kepemimpinan Sultan Alaudsin
al-Kahrar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Maeukuta Alam, adalah
kerajaan Islam terbesar di Nusantara sampai ke Semenanjung Malaka, serta kelima
terbesar dunia. Penaklukan yang dilakukan Aceh bukan menjajah suku bangsa lain
tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis. Pada masa kejayaannya,
Aceh sudah menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara-negara
tetangga, Timur Tengah dan Eropa, antara lain, dalam bentuk jalinan hubungan
dengan kerajaan Demak, Pattani, Brunei Darussalam, Turki Usmani, Inggris,
Belanda, dan Amerika (Hasjmy, 1997:114).
Eksistensi
Aceh ketika itu adalah sebagai suatu bangsa dan negara yang telah memiliki
pengaruh atas sebagian wilayah Nusantara dan memiliki hubungan diplomatik serta
perdagangan dengan negara-negara besar di dunia. Peperangan dengan kolonial
Belanda adalah peperangan antar negara. Pada saat itu, Aceh melakukan
peperangan untuk memertahankan kedaulatan negara, bangsa dan agamanya, bahkan
ikut melindungi wilayah negara lain dari intervensi negara asing. Nilai-nilai
historis ini sangat memengaruhi persepsi, sikap, dan orientasi politik rakyat
Aceh dalam hubungan kekuasaan, bernegara, dan hubungan dengan struktur
kekuasaan di luar Aceh.
Kekerasan
politik di Aceh mulai berkembang ketika ada usaha kolonialisasi Barat, yaitu
Portugis dan Belanda. Semenjak itu, perang di Aceh tidak pernah berhenti. Untuk
dapat memahami makna kekerasan dalam politik Aceh, kita dapat menyimak ungkapan
Van de Vier, seorang sejarawan Belanda, sekaligus penulis buku Perang Aceh yang
judul aslinya adalah De Acehhoorlog. Dia mengatakan,“orang Aceh dapat
dibunuh, tetapi tidak dapat ditaklukan“ (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
1977). Ungkapan sejarawan ini merupakan pengalaman sejarah yang dialami oleh
pemerintah kolonial Belanda yang tidak berhasil menduduki wilayah Aceh. Lebih
lanjut, Van de Vir mengatakan,“tahun 1873 peperangan Belanda di Aceh harus
dianggap sebagai peperangan besar dan dahsyat yang berangsung terus menerus
sejak tahun 1873 sampai saat Belanda mengundurkan diri dari Aceh untuk
selama-selamanya dalam tahun1942” (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
1977:26). Oleh karena itu, Adan (2003:23-26), menyimpulkan bahwa dalam
perjalanan sejarah Aceh, wacana kekerasan pun tidak pernah surut. Dalam
perjalanan sejarah, kekerasan di Aceh seolah matarantai yang tidak pernah
putus. Mulai zaman prakolonial abad 17 dan bahkan jauh sebelumnya hingga
sekarang.
Sejak
awal, budaya rakyat Aceh sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam dan
nilai-nilai heroisme-populisme yang kemudian membentuk identitas politiknya.
Aceh adalah pintu gerbang pertama masuk Islam ke Nusantara. Penguatan
nilai-nilai Islam di Aceh sudah berlangsung lama, sehingga Aceh dijuluki
sebagai Serambi Mekah. Pembudayaan nilai-nilai Islam di Aceh memiliki kekhasan
yang berbeda dengan negeri-negeri lainnya di Indonesia corak Islam di Aceh
mengalami akulturasi dengan nilai-nilai setempat. Wujud nilai-nilai Islam di
Aceh lebih murni daripada di Jawa atau negeri-negeri lain yang berakulturasi
dengan nilai Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan strategi dakwah para Wali
Songo yang cenderung kompromi dengan nilai-nilai tradisi Jawa, sehingga
sosialisasi nilai Islam lebih menempuh jalan evolusi (Nurcholis Majid, 2001) .
Berbeda
dengan penyebaran Islam di pesisir terutama di Jawa Timur dan sebagian pesisir
Jawa Tengah, di pesisir ini nilai-nilai Islam lebih murni karena disebarkan
oleh para pedagang. Daerah pesisir Jawa ini merupakan tempat kelahiran dari
partai-partai Islam modernis seperti Masyumi pada 1955 dan PPP pada masa Orde
Baru, sedangkan budaya Jawa-Hindu sangat dominan di daerah Jawa Tengah yang
merupakan pusat dari kerajaan Jawa --- Keraton Yogyakarta dan Solo. Di Daerah
Jawa Tengah ini yang merupakan tempat kelahiran dari partai Nasionalis seperti
PNI 1955 dan PDI Orde Baru, pada umumnya elit-elit politik, birokrasi, dan
militer berasal dan didominasi oleh etnis Jawa Tengah.
Sepanjang
sejarah, partai-partai islam seperti Masyumi dan PPP unggul di Aceh, sedangkan
partai pemerintah (Golkar) pada masa Orba Baru hanya berjaya pada pemilu 1992.
Namun, ketika konflik muncul, Golkar mengalami kekalahan dan para pemilih
beralih kembali ke partai islam PPP. Bahkan, ketika Pemilu, Amien Rais, mantan
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadyah memperoleh kemenangan di Aceh, sementara
itu, di Jawa Tengah, tempat Amien Rais bermukim justru dia kalah telak oleh
Megawati dan Soesilo Bambang Yudhono dari partai nasionalis sekuler. Fenomena
partai politik ini menggambarkan, dari segi orientasi politik, Aceh dan Jawa
memang berbeda.
Pembenaran
tesis ini diperkuat oleh sejarah konflik antara pemerintah Pusat dengan Aceh
yang memiliki perbedaan sudut pandang di dalam melihat sistem pemerintahan dan
relasi kekuasaan antara pusat-daerah (Jakarta-Aceh).
2 comments:
sangat bermanfaat,,,,
sangat bermanfaat
Post a Comment