Thursday, October 20, 2016

Sejarah dan Perbedaan Budaya Politik Aceh

Pada abad XV, Kerajaan Aceh Darussalam, di bawah kepemimpinan Sultan Alaudsin al-Kahrar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Maeukuta Alam, adalah kerajaan Islam terbesar di Nusantara sampai ke Semenanjung Malaka, serta kelima terbesar dunia. Penaklukan yang dilakukan Aceh bukan menjajah suku bangsa lain tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis. Pada masa kejayaannya, Aceh sudah menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara-negara tetangga, Timur Tengah dan Eropa, antara lain, dalam bentuk jalinan hubungan dengan kerajaan Demak, Pattani, Brunei Darussalam, Turki Usmani, Inggris, Belanda, dan Amerika (Hasjmy, 1997:114).

Eksistensi Aceh ketika itu adalah sebagai suatu bangsa dan negara yang telah memiliki pengaruh atas sebagian wilayah Nusantara dan memiliki hubungan diplomatik serta perdagangan dengan negara-negara besar di dunia. Peperangan dengan kolonial Belanda adalah peperangan antar negara. Pada saat itu, Aceh melakukan peperangan untuk memertahankan kedaulatan negara, bangsa dan agamanya, bahkan ikut melindungi wilayah negara lain dari intervensi negara asing. Nilai-nilai historis ini sangat memengaruhi persepsi, sikap, dan orientasi politik rakyat Aceh dalam hubungan kekuasaan, bernegara, dan hubungan dengan struktur kekuasaan di luar Aceh.

Kekerasan politik di Aceh mulai berkembang ketika ada usaha kolonialisasi Barat, yaitu Portugis dan Belanda. Semenjak itu, perang di Aceh tidak pernah berhenti. Untuk dapat memahami makna kekerasan dalam politik Aceh, kita dapat menyimak ungkapan Van de Vier, seorang sejarawan Belanda, sekaligus penulis buku Perang Aceh yang judul aslinya adalah De Acehhoorlog. Dia mengatakan,“orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tidak dapat ditaklukan“ (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977). Ungkapan sejarawan ini merupakan pengalaman sejarah yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak berhasil menduduki wilayah Aceh. Lebih lanjut, Van de Vir mengatakan,“tahun 1873 peperangan Belanda di Aceh harus dianggap sebagai peperangan besar dan dahsyat yang berangsung terus menerus sejak tahun 1873 sampai saat Belanda mengundurkan diri dari Aceh untuk selama-selamanya dalam tahun1942” (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977:26). Oleh karena itu, Adan (2003:23-26), menyimpulkan bahwa dalam perjalanan sejarah Aceh, wacana kekerasan pun tidak pernah surut. Dalam perjalanan sejarah, kekerasan di Aceh seolah matarantai yang tidak pernah putus. Mulai zaman prakolonial abad 17 dan bahkan jauh sebelumnya hingga sekarang.


Sejak awal, budaya rakyat Aceh sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam dan nilai-nilai heroisme-populisme yang kemudian membentuk identitas politiknya. Aceh adalah pintu gerbang pertama masuk Islam ke Nusantara. Penguatan nilai-nilai Islam di Aceh sudah berlangsung lama, sehingga Aceh dijuluki sebagai Serambi Mekah. Pembudayaan nilai-nilai Islam di Aceh memiliki kekhasan yang berbeda dengan negeri-negeri lainnya di Indonesia corak Islam di Aceh mengalami akulturasi dengan nilai-nilai setempat. Wujud nilai-nilai Islam di Aceh lebih murni daripada di Jawa atau negeri-negeri lain yang berakulturasi dengan nilai Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan strategi dakwah para Wali Songo yang cenderung kompromi dengan nilai-nilai tradisi Jawa, sehingga sosialisasi nilai Islam lebih menempuh jalan evolusi (Nurcholis Majid, 2001) .


Berbeda dengan penyebaran Islam di pesisir terutama di Jawa Timur dan sebagian pesisir Jawa Tengah, di pesisir ini nilai-nilai Islam lebih murni karena disebarkan oleh para pedagang. Daerah pesisir Jawa ini merupakan tempat kelahiran dari partai-partai Islam modernis seperti Masyumi pada 1955 dan PPP pada masa Orde Baru, sedangkan budaya Jawa-Hindu sangat dominan di daerah Jawa Tengah yang merupakan pusat dari kerajaan Jawa --- Keraton Yogyakarta dan Solo. Di Daerah Jawa Tengah ini yang merupakan tempat kelahiran dari partai Nasionalis seperti PNI 1955 dan PDI Orde Baru, pada umumnya elit-elit politik, birokrasi, dan militer berasal dan didominasi oleh etnis Jawa Tengah.

Sepanjang sejarah, partai-partai islam seperti Masyumi dan PPP unggul di Aceh, sedangkan partai pemerintah (Golkar) pada masa Orba Baru hanya berjaya pada pemilu 1992. Namun, ketika konflik muncul, Golkar mengalami kekalahan dan para pemilih beralih kembali ke partai islam PPP. Bahkan, ketika Pemilu, Amien Rais, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadyah memperoleh kemenangan di Aceh, sementara itu, di Jawa Tengah, tempat Amien Rais bermukim justru dia kalah telak oleh Megawati dan Soesilo Bambang Yudhono dari partai nasionalis sekuler. Fenomena partai politik ini menggambarkan, dari segi orientasi politik, Aceh dan Jawa memang berbeda.
Pembenaran tesis ini diperkuat oleh sejarah konflik antara pemerintah Pusat dengan Aceh yang memiliki perbedaan sudut pandang di dalam melihat sistem pemerintahan dan relasi kekuasaan antara pusat-daerah (Jakarta-Aceh).


2 comments: