Thursday, October 20, 2016

Menuju ke Demokrasi Konsosiasional

Secara teoritis, solusi bagi negara-negara yang memiliki pluralisme sosial, budaya, dan politik yang tinggi adalah dengan mengetengahkan konsep alternatif. Sebab, dibanding dengan negara demokrasi Barat, unsur-unsur primordial sangat kental dalam kehidupan berdemokrasi di negara-negara yang sedang membangun. Dalam kaitan itu, Afan Gaffar (1994), dengan mengetengahkan kasus demokrasi di Indonesia menyimpulkan, bahwa demokrasi prosedural sebagaimana yang berlaku di negara Barat, sulit untuk diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, pembangunan demokrasi di negara-negara membangun adalah sebagai demokrasi yang tidak lazim (Uncommon democracy). Pendapat Gafar merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Arent Lipjhart yang berhasil merumuskan konsep alternatif sebagai corak demokrasi di negara-negara dunia ketiga.

Konsep alternatif ini harus dilihat sebagai upaya para pakar untuk menjawab pelbagai keterbatasan dan keunikan sistem politik di negara-negara yang sedang membangun. Konsep Lipjhart (1996), dapat dikatakan sebagai suatu kombinasi antara unsur tradisional-primordial dengan nilai demokrasi modern. Konsep ini dibangun atas realitas masyarakat yang pluralis dan multi-etnik (primordial) dengan mengaitkan keberadaan institusi demokrasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah Demokrasi Konsosiasional (Consociational Democracy), dengan pemerintah pusat mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok agama, etnik, dan linguistik, adanya otonomi budaya setiap kelompok, perimbangan dalam perwakilan politik dan rekrutmen pegawai pemerintah dan perlindungan kelompok minoritas (Lipjhart, 1996 :258-268).
Pada umumnya, ciri-ciri demokrasi yang dikemukakan Lijphart, dipraktikkan oleh beberapa negara di Asia seperti Malaysia dan Afrika. Dalam istilah lain, demokrasi konsosiasional juga dinamakan sebagai demokrasi permusyawaratan atau permufakatan yang lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Kebebasan di luar kontrol berkemungkinan akan menimbulkan banyak bahaya bahkan disintegrasi bangsa. Di sisi lain, tuntutan demokratisasi juga tidak mungkin dielakkan, dan harus mampu memberikan ruang terhadap kekayaan keanekaragam kehidupan sosial, budaya, dan unit politik lokal. Tegasnya, model demokrasi konsosiasional dapat dikembangkan lebih jauh sebagai bentuk pengakuan terhadap politik lokal dengan masyarakat yang memiliki ciri-ciri kekhususan seperti Aceh. Hampir 80 % isi UUPA mengangkat kembali struktur pemerintahan Aceh di masa kesultanan, namun secara fungsional banyak kemiripan dengan pemerintahan demokrasi modern. Fenomena ini mengukuhkan pendapat, bahwa wujud demokrasi lebih pada makna substansi dibanding dengan bentuk demokrasi yang pada dasarnya memang tidak mungkin sama. Oleh karena itu, perbedaan latar belakang sejarah, sosial, budaya, politik dan perubahan global bentuk atau model demokrasi dalam praktiknya bisa berbeda (Chang Hee, 1996).

Otonomi Daerah Aceh dengan mengimplementasikan UU Pemerintahan Aceh adalah sebagai model sekaligus solusi konflik dunia ketiga dan upaya penebusan kekeliruan pemerintah pusat di masa lalu. Meskipun hak-hak politik yang diberikan belum sepenuhnya memasukan butir-butir kesepakatan Helsinki, kemenangan GAM dalam pemilihan Kepala Daerah Aceh merupakan langkah maju dalam proses demokratisasi dengan terwakilinya sebagian rakyat Aceh secara politik yang lebih melembaga. Dari sisi lain, perjuangan politik dari pihak GAM melalui jalan demokratis akan semakin meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sistem politik lokal Aceh ke arah pembangunan demokrasi lokal yang lebih stabil dan maju. Hal ini juga memberi keuntungan bagi pemerintah Indonesia, yaitu berkurangnya sebagian beban politik, ekonomi, dan krisis legitimasi dari dunia internasional. Pada asasnya, negara bukan merupakan satu intitusi penting masyarakat untuk membantu manusia meraih tujuan hidup yang lebih baik (Singh, 1986), tetapi, untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera.

Dengan demikian, pembentukan pemerintahan Aceh seperti yang tertuang dalam UUPA No.11 Tahun 2006, adalah upaya untuk mencari solusi konflik politik karena perbedaan dalam kebhinnekaan. Dengan kata lain, fungsi sistem politik demokrasi adalah suatu tujuan umum untuk mendapatkan keadilan, perdamaian dan kehidupan yang baik (Mayo, 1960:245). Karena, tujuan utama yang ditekankan oleh negara demokrasi yang maju adalah memusatkan perhatian untuk mencari cara mengurangi sumber-sumber ketidaksamaan daripada berusaha untuk melaksanakan persamaan itu dalam masyarakat. Untuk mencapai persamaan itu, pelbagai cara dapat dilakukan dengan jalan memperluas pendistribusian sumber-sumber ekonomi, posisi, dan kesempatan kepada unit kekuasaan pada pemerintahan tingkat lokal.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA No.11/2006, memiliki peran strategis yang tidak hanya dari segi fungsi legislasi, tetapi sebagai institusi yang memerkuat pelembagaan kedaulatan rakyat yang representatif. Dari segi fungsi legislasi, DPRA dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Qanun Aceh, meskipun belum dapat diketahui Qanun-qanun tersebut, sebagai Rule of Law yang merupakan unsur pertama dalam pembangunan politik, akan dapat menjamin penataan penyelenggaraan pemerintah daerah secara konsisten dan terukur. Demikian pula peran DPRA terhadap target pencapai hasil-hasil pembangunan yang langsung dapat menjawab kesejahteraan masyarakat.

Kini, iklim politik di Aceh sangat kondunsif. Dan, karena dipilih secara langsung, maka, proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Aceh yang baru akan mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakatnya. Hal ini sebagai prasyarat bagi setiap kepala pemerintahan yang berhasil memenangkan pemilu untuk melangkah lebih jauh dalam upaya mencapai tujuan kolektif rakyatnya. Keberadaan UUPA semakin memerkuat proses demokratisasi yang didukung oleh pemerintahan lokal Aceh yang bercorak demokratis dan terdukung oleh budaya politik rakyat Aceh yang partisipan dan populis sebagai social capital sehingga mampu membentuk civil society. Kekuatan ini dapat menjadi kekuatan penyeimbang dalam relasi kekuasan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, pelembagaan politik rakyat melalui institusi partai lokal adalah proses penguatan demokratisasi dan pembangunan di Aceh. Melalui parpol lokal, representasi politik Aceh semakin menguat dan memberi dorongan ke arah pembentukan budaya demokratis.

Salah satu masalah yang cukup krusial dalam upaya pembentukan sistem dan budaya demokrasi adalah proses institusionalisasi politik melalui penataan format kepartaian. Belajar dari pengalaman kehidupan parpol nasional, setidaknya ada bebera catatan sebagai bahan pertimbangan dalam pembangunanpartai politik lokal di Aceh.

1.      Jumlah parpol yang terlalu banyak berarti potensi sumber daya politik tersebar kebanyak parpol, maka semakin kurang efektif pula dalam pengelolaan parpol. Kondisi seperti ini sukar terbentuknya parpol yang kuat dan solit.

2.      Jumlah parpol banyak membuka peluang terjadinya pramentasi elit politik dan sukar dikonsolidasikan untuk keperluan pembentukan kepemimpinan politik yang solid. Faktor kepemimpinan politik menjadi faktor penentu bagi kelajutan perubahan dan pembangunan di tingkal lokal.


3.      Jumlah parpol yang banyak juga menimbulkan pemborosan dana masyarakat dan pemerintah. Ini adalah sebuah paradoks, jika dilihat dari segi tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang masih miskin.



Pengalaman negara-negara dunia ketiga, di ara era tahun 50-an termasuk Indonesia, sistem multi partai (banyak) telah gagal membangun sistem politik yang stabil. Sayangnya pengalaman buruk masa lalu kini di ulangi oleh para elit politik. Kualitas demokrasi tidak cukup diukur oleh banyak jumlah parpol, tetapi bergantung pada kualitas dan format sistem kepartaian yang dibangun. Pilihan realistik pada penataan parpol lokal, adalah pada sistem parpol yang sederhana tanpa mengabaikan representasi dan sehingga sistem politik dapat bekerja secara efektif dan efesien.

0 comments: