Secara
teoritis, solusi bagi negara-negara yang memiliki pluralisme sosial, budaya,
dan politik yang tinggi adalah dengan mengetengahkan konsep alternatif. Sebab,
dibanding dengan negara demokrasi Barat, unsur-unsur primordial sangat kental
dalam kehidupan berdemokrasi di negara-negara yang sedang membangun. Dalam
kaitan itu, Afan Gaffar (1994), dengan mengetengahkan kasus demokrasi di
Indonesia menyimpulkan, bahwa demokrasi prosedural sebagaimana yang berlaku di
negara Barat, sulit untuk diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain,
pembangunan demokrasi di negara-negara membangun adalah sebagai demokrasi yang
tidak lazim (Uncommon democracy). Pendapat Gafar merujuk pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Arent Lipjhart yang berhasil merumuskan konsep
alternatif sebagai corak demokrasi di negara-negara dunia ketiga.
Konsep
alternatif ini harus dilihat sebagai upaya para pakar untuk menjawab pelbagai
keterbatasan dan keunikan sistem politik di negara-negara yang sedang
membangun. Konsep Lipjhart (1996), dapat dikatakan sebagai suatu kombinasi
antara unsur tradisional-primordial dengan nilai demokrasi modern. Konsep ini
dibangun atas realitas masyarakat yang pluralis dan multi-etnik (primordial)
dengan mengaitkan keberadaan institusi demokrasi. Konsep ini kemudian dikenal
dengan istilah Demokrasi Konsosiasional (Consociational Democracy),
dengan pemerintah pusat mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok agama, etnik,
dan linguistik, adanya otonomi budaya setiap kelompok, perimbangan dalam
perwakilan politik dan rekrutmen pegawai pemerintah dan perlindungan kelompok
minoritas (Lipjhart, 1996 :258-268).
Pada
umumnya, ciri-ciri demokrasi yang dikemukakan Lijphart, dipraktikkan oleh
beberapa negara di Asia seperti Malaysia dan Afrika. Dalam istilah lain, demokrasi
konsosiasional juga dinamakan sebagai demokrasi permusyawaratan atau permufakatan
yang lebih mengutamakan nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang
plural. Bagi bangsa dan negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan
keragaman budaya yang tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat
serius untuk tetap menjaga integrasi bangsa. Kebebasan di luar kontrol
berkemungkinan akan menimbulkan banyak bahaya bahkan disintegrasi bangsa. Di
sisi lain, tuntutan demokratisasi juga tidak mungkin dielakkan, dan harus mampu
memberikan ruang terhadap kekayaan keanekaragam kehidupan sosial, budaya, dan
unit politik lokal. Tegasnya, model demokrasi konsosiasional dapat dikembangkan
lebih jauh sebagai bentuk pengakuan terhadap politik lokal dengan masyarakat
yang memiliki ciri-ciri kekhususan seperti Aceh. Hampir 80 % isi UUPA
mengangkat kembali struktur pemerintahan Aceh di masa kesultanan, namun secara
fungsional banyak kemiripan dengan pemerintahan demokrasi modern. Fenomena ini
mengukuhkan pendapat, bahwa wujud demokrasi lebih pada makna substansi
dibanding dengan bentuk demokrasi yang pada dasarnya memang tidak mungkin sama.
Oleh karena itu, perbedaan latar belakang sejarah, sosial, budaya, politik dan
perubahan global bentuk atau model demokrasi dalam praktiknya bisa berbeda
(Chang Hee, 1996).
Otonomi
Daerah Aceh dengan mengimplementasikan UU Pemerintahan Aceh adalah sebagai
model sekaligus solusi konflik dunia ketiga dan upaya penebusan kekeliruan
pemerintah pusat di masa lalu. Meskipun hak-hak politik yang diberikan belum
sepenuhnya memasukan butir-butir kesepakatan Helsinki, kemenangan GAM dalam
pemilihan Kepala Daerah Aceh merupakan langkah maju dalam proses demokratisasi
dengan terwakilinya sebagian rakyat Aceh secara politik yang lebih melembaga.
Dari sisi lain, perjuangan politik dari pihak GAM melalui jalan demokratis akan
semakin meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sistem politik lokal Aceh ke
arah pembangunan demokrasi lokal yang lebih stabil dan maju. Hal ini juga
memberi keuntungan bagi pemerintah Indonesia, yaitu berkurangnya sebagian beban
politik, ekonomi, dan krisis legitimasi dari dunia internasional. Pada asasnya,
negara bukan merupakan satu intitusi penting masyarakat untuk membantu manusia
meraih tujuan hidup yang lebih baik (Singh, 1986), tetapi, untuk mewujudkan
masyarakat yang damai dan sejahtera.
Dengan
demikian, pembentukan pemerintahan Aceh seperti yang tertuang dalam UUPA No.11
Tahun 2006, adalah upaya untuk mencari solusi konflik politik karena perbedaan
dalam kebhinnekaan. Dengan kata lain, fungsi sistem politik demokrasi adalah
suatu tujuan umum untuk mendapatkan keadilan, perdamaian dan kehidupan yang
baik (Mayo, 1960:245). Karena, tujuan utama yang ditekankan oleh negara
demokrasi yang maju adalah memusatkan perhatian untuk mencari cara mengurangi
sumber-sumber ketidaksamaan daripada berusaha untuk melaksanakan persamaan itu
dalam masyarakat. Untuk mencapai persamaan itu, pelbagai cara dapat dilakukan
dengan jalan memperluas pendistribusian sumber-sumber ekonomi, posisi, dan
kesempatan kepada unit kekuasaan pada pemerintahan tingkat lokal.
Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA
No.11/2006, memiliki peran strategis yang tidak hanya dari segi fungsi
legislasi, tetapi sebagai institusi yang memerkuat pelembagaan kedaulatan
rakyat yang representatif. Dari segi fungsi legislasi, DPRA dapat menghasilkan
peraturan perundang-undangan dalam bentuk Qanun Aceh, meskipun belum dapat
diketahui Qanun-qanun tersebut, sebagai Rule of Law yang merupakan unsur
pertama dalam pembangunan politik, akan dapat menjamin penataan penyelenggaraan
pemerintah daerah secara konsisten dan terukur. Demikian pula peran DPRA
terhadap target pencapai hasil-hasil pembangunan yang langsung dapat menjawab
kesejahteraan masyarakat.
Kini,
iklim politik di Aceh sangat kondunsif. Dan, karena dipilih secara langsung,
maka, proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Aceh yang baru
akan mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakatnya. Hal ini sebagai prasyarat
bagi setiap kepala pemerintahan yang berhasil memenangkan pemilu untuk
melangkah lebih jauh dalam upaya mencapai tujuan kolektif rakyatnya. Keberadaan
UUPA semakin memerkuat proses demokratisasi yang didukung oleh pemerintahan
lokal Aceh yang bercorak demokratis dan terdukung oleh budaya politik rakyat
Aceh yang partisipan dan populis sebagai social capital sehingga mampu
membentuk civil society. Kekuatan ini dapat menjadi kekuatan penyeimbang
dalam relasi kekuasan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, pelembagaan
politik rakyat melalui institusi partai lokal adalah proses penguatan
demokratisasi dan pembangunan di Aceh. Melalui parpol lokal, representasi
politik Aceh semakin menguat dan memberi dorongan ke arah pembentukan budaya
demokratis.
Salah
satu masalah yang cukup krusial dalam upaya pembentukan sistem dan budaya
demokrasi adalah proses institusionalisasi politik melalui penataan format
kepartaian. Belajar dari pengalaman kehidupan parpol nasional, setidaknya ada
bebera catatan sebagai bahan pertimbangan dalam pembangunanpartai politik lokal
di Aceh.
1. Jumlah
parpol yang terlalu banyak berarti potensi sumber daya politik tersebar
kebanyak parpol, maka semakin kurang efektif pula dalam pengelolaan parpol.
Kondisi seperti ini sukar terbentuknya parpol yang kuat dan solit.
2. Jumlah
parpol banyak membuka peluang terjadinya pramentasi elit politik dan sukar
dikonsolidasikan untuk keperluan pembentukan kepemimpinan politik yang solid.
Faktor kepemimpinan politik menjadi faktor penentu bagi kelajutan perubahan dan
pembangunan di tingkal lokal.
3. Jumlah
parpol yang banyak juga menimbulkan pemborosan dana masyarakat dan pemerintah.
Ini adalah sebuah paradoks, jika dilihat dari segi tingkat kehidupan sosial
ekonomi masyarakat yang masih miskin.
Pengalaman
negara-negara dunia ketiga, di ara era tahun 50-an termasuk Indonesia, sistem
multi partai (banyak) telah gagal membangun sistem politik yang stabil.
Sayangnya pengalaman buruk masa lalu kini di ulangi oleh para elit politik.
Kualitas demokrasi tidak cukup diukur oleh banyak jumlah parpol, tetapi
bergantung pada kualitas dan format sistem kepartaian yang dibangun. Pilihan
realistik pada penataan parpol lokal, adalah pada sistem parpol yang sederhana
tanpa mengabaikan representasi dan sehingga sistem politik dapat bekerja secara
efektif dan efesien.
0 comments:
Post a Comment