Tuesday, October 18, 2016

PILKADA DAN MASA DEPAN ACEH

Pilkada merupakan momen yang paling berharga bagi masyarakat. Seperti halnya pada pemilu-pemilu yang sering dilakukan, pilkada dianggap sebagai pesta demokrasi atau masyarakat . Namun pesta pora demokrasi ini jangan sampai melupakan hal-hal krusial esensi dan tujuan dari Pilkada sendiri. Pilkada harus menjadi gerbang pembuka untuk memilih pemimpinnya mewujudkan Aceh yang lebih baik. Seringkali yang terjadi Pilkada, pesta-pesta diawali dengan kampanye para calon. Para calon berlomba-lomba untuk memikat sebanyak mungkin masyarakat untuk mendukung. Maka, banyak cara yang digunakan. Mulai dari mobilisasi massa, kampanye di jalan, pemasangan poster kampanye, spanduk, orasi, dan sebagainya. Bahkan dalam suatu pilkada, seperti yang terjadi di berbagai tempat, bahkan pada saat pemilu 2004, terjadi cara-cara yang tidak sehat, misalnya saja: serangan fajar dengan memberikan uang kepada masyarakat untuk memilih. Keadaan seperti ini akan melenakan masyarakat terhadap esensi pilkada. Pilkada bukan sebagai ajang memilih yang terbaik dari yang sudah terpilih, tetapi memanfaatkan sebesar-besarnya demi keuntungan pribadi. Si calon menang, masyarakat senang. Senangnya bukan karena telah mendapatkan calon yang sesuai hati nurani, tetapi senang karena mendapatkan berkah karena diberi sedekah.
Seringkali pula, para calon memberikan banyak janji ketika pemilu. Di saat pemilu usai dan si calon sudah terpilih, masyarakat mulai menunggu janji-janji yang diberikan. Harapannya, janji yang telah disebutkan dahulu bisa terealisasi dengan baik. Paling tidak ada usaha sang pemimpin untuk melaksanakannya. Kebanyakan usai pilkada di berbagai daerah, masyarakat mulai menanti janji terlalu lama. Lama-lama, masyarakat menangisi kenyataan dan meratapi yang sudah terpilih, lantaran janji itu tidak pernah kunjung datang. Kemenangan para calon biasanya didukung oleh tim sukses yang berhasil meraih massa namun rujukan untuk memperoleh massa bukan berasal dari janji terstruktur selama 5 tahun kedepannya. Jangan sampai hal ini terjadi di pilkada Aceh. Penantian yang besar terhadap masa depan Aceh sungguh sangat diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat Aceh harus disuguhi yang nyata dan realistis bukan hanya janji. Dari kedelapan calon, nampaknya janji yang disampaikan belum terlihat secara konkret dan nyata. Ada calon yang menyatakan bahwa melanjutkan rekonstruksi pasca gempa, namun tidak disertakan sejauh mana pembangunan tersebut akan dilakukan, targetnya apa dan bagian mana saja, dengan siapa dan bagaimana itu dilakukan tidak terlihat. Semua janji masih terlihat klise dan tidak jelas.
 Persoalan lain, masyarakat tidak protes akan hal tersebut. Dalam pilkada, masyarakat butuh sesuatu yang konkrit. Banyak sekali permasalahan Aceh yang belum bisa terselesaikan misalnya saja kemiskinan. Aceh merupakan provinsi kedua dengan jumlah masyarakat miskin terbanyak setelah Papua. Ditambah lagi, bencana tsunami membuat Aceh semakin terhimpit. Masih ada hal lain yang harus diperhatikan, seperti kesehatan dan pendidikan. Bencana membuat kegiatan-kegiatan kesehatan dan pendidikan terhambat. Selain itu, banyak fasilitas-fasilitas yang masih kurang dan kurang tersebar di daerah-daerah. Sulitnya masyarakat menjangkau pendidikan dan fasilitas kesehatan harus menjadi titik fokus pemerintah nantinya. Realita-realita semacam ini sudah menjadi santapan masyarakat Aceh dalam hidup. Pilkada harus membawa angin segar bagi masyarakat Aceh, dan bukan memanfaatkan pilkada sebagai ajang konflik antara kelompok atau golongan. Keadaan yang damaipun juga menjadi harapan ke depan masyarakat. Para calon yang maju dalam pemilihan harus bisa melihat kenyataan ini dengan memberikan janji yang lebih dibutuhkan. Bukan lip service yang hanya akan meninabobokkan masyarakat sehinga berpikiran utopis.
Masyarakat juga perlu aktif dan kritis. Demi pelaksanan pilkada yang tak sekedar janji, masyarakat harus bisa secara jeli mendorong para calon untuk memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat. Ini artinya, mempersempit gerak para calon untuk besar bicara dalam hal janji. Para calon harus diajak kritis melihat realita dalam masyarakat. Nantinya, pembangunan untuk Aceh adalah pembangunan yang memang dibutuhkan masyarakat. Bukan semata-mata pembangunan hanya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Mampukah masyarakat Aceh melakukan hal ini? Jika berbicara masalah partisipasi politik di masyarakat, masih ada sejumlah permasalahan lain, misalnya saja akses media yang digunakan, keterwakilan perempuan dan masalah-masalah lain.


            Survey dari World Bank yang dilakukan di 9 kota dan kabupaten di Aceh menunjukkan hasil bahwa pemerintah dinilai kurang tanggap dan kritis terhadap permasalahan masyarakat. Ini ditunjukkan dengan kurang komitmennya pemerintah mengalokasikan dana anggaran pada sektor-sektor publik, seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. (Rais;2006) Jangan sampai, pemerintahan hasil pilihan rakyat nanti juga mengalami hal yang demikian. Pilkada menjadi kesempatan emas untuk menilai para calon yang kritis terhadap masalah masyarakat. Pilkada semata-mata juga bukan ajang pemilihan pemimpin yang dilaksanakan secara struktural dan penuh ceremonial, seperti pemilihan raja dan idola di televisi. Esensi dari pilkada adalah menemukan orang yang bisa membawa rakyat Aceh keluar dari hambatan permasalahan yang selama ini menghantui, yakni permasalahan yang telah ditunjukkan di atas tadi.

0 comments: