Pilkada menjadi gerbang awal bagi proses demokratisasi di
Aceh. Namun, Pilkada bukan ajang konflik. Memang, dalam setiap kegiatan politik
akan selalu ditemui gesekan-gesekan karena perbedaan kepentingan. Hal ini yang
seringkali menjadi konflik. Namun jika para aktor dalam suatu event pilkada
dapat mengelola potensi konflik, maka konflik bukan sesuatu yang harus
dihindari tapi dimaknai secara arif. Maka inilah yang perlu dilakukan oleh para
aktor dalam pilkada.
1.
KIP (KOMISI INDEPENDEN PEMILU)
Peran KIP dalam Pilkada di Aceh ini sangat krusial.
Lembaga inilah yang menyelenggarakan pelaksaan pemilu di Aceh. Oleh karena itu,
lembaga ini harus memiliki profesionalitas yang teruji dalam menjalankan tugas
sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KIP perlu menyelenggarakan
pilkada secara seksama dan terstruktur seperti yang telah direncanakan. Sebagai
penyelenggara pilkada, KIP mesti bersifta netral. Jelas, bahwa posisinya bukan
sebagai pendukung para calon tapi mengakomodasi para calon untuk maju ke
pertarungan politik melalui pilkada.
Konflik yang terjadi bisa saja muncul dari kurang tanggapnya KIP terhadap permasalahan mengenai pilkada di masyarakat. Seperti yang diberitakan, terdapat salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang akhirnya tidak ada didatangi oleh sekitar 300an warga masyarakat karena ada permasalahan. Ini adalah bentuk ketidakpuasan warga masyarakat karena ternyata ada warga yang seharusnya bisa mencoblos tetapi oleh panitia pengumungutan setempat tidak diperkenankan mencoblos karena hanya membawa KTP. Padahal, di media massa di Aceh sudah disiarkan, bagi mereka yang hanya memiliki KTP juga bisa turut mencoblos.4 Kenyataan di lapangan berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi di salah satu TPS saja tetapi di berbagai TPS. Masyarakat menjadi tidak percaya terhadap kinerja KIP. Inipun tidak ada tanggapan yang positif dari KIP.
2.
MASYARAKAT DAN PILKADA
Bagaimanapun juga, pelaksanaan pilkada merupakan suatu
kebutuhan bernuansa politis bagi kesejahteraan masyarakat nantinya. Pilkada
diharapkan mampu menghasilkan para pemimpin-pemimpin daerah yang mempunyai
kapabilitas memimpin di Aceh, kecakapan, sikap yang baik dan tentu saja sesuai
dengan yang dibutuhkan dan diharapkan dari masyarakat. Masyarakat Aceh selama
ini mengalami masa krisis yang luar biasa. Sejak berlangsungnya konflik dengan
GAM dan bencana gempa serta tsunami membuat masyarakat Aceh mengalami
pengalaman psikologis yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu, pilkada
menjadi harapan bagi masyarakat Aceh untuk mendapatkan pemimpin yang kiranya
dapat mendengarkan keluahan dan aspirasi mereka. Pilkada membuka harapan baru
untuk dapat keluar dari keterpurukan. Masalah lain, adalah kemiskinan yang ada
di Aceh. Harapannya, dengan pilkada masyarakat bisa menemukan sosok yang bisa
memperbaiki nasib mereka di kemudian hari.
Namun, harapan tanpa aksi adalah sia-sia. Dalam pilkada langsung yang istimewa ini, masyarakat wajib untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan lingkungan politik yang lebih demokratis. Partisipasi aktif sederhana bisa ditunjukkan dengan mengikuti pencoblosan. Ini tanda awal bagi masyarakat bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang mengantarkan pada pintu perubahan yang lebih baik. Selain itu, menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai juga merupakan tanggungjawab bersama antara seluruh pihak termasuk masyarakat.Peran aktif masyarakat dalam menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai sangat penting. Konflik tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Munculnya konflik juga berasal dari gesekan-gesekan masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan dalam pilkada hendaknya tidak perlu menjadi konflik fisik yang hanya akan menghancurkan dan menambah beban bagi masyarakat sendiri. Justru, ketika ditemukan kecurangan-kecurangan di dalam pilkada, masyarakat hendaknya melihat ini sebagai kasus hukum kriminal yang harus diselesaikan lewat jalur hukum juga, bukan melalui kontak senjata.
Kampanye yang melibatkan masyarakat dan memobilisasi massa perlu juga diperlihatakan bahwa rasa damai tetap ada dalam pilkada. Jangan sampai, aksi mobilisasi massa menjadi ajang kerusuhan antar pendukung calon. Bom yang meledak pada saat pencoblosan melukai jalannya pilkada damai. Apalagi, bom meledak di salah satu TPS di Aceh Utara. Peran serta masyarakat untuk menjaga perdamaian belum sepenuhnya dipahami sebagai sebuah proses yang membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan hati. Masih ada beberapa warga yang meneror warga lain dan berusaha menggagalkan pilkada. Rasa ketidakpuasan ini tidak disalurkan ke tempat yang tepat, tetapi justru menimbulkan ketegangan dan kerusuhan.
3.
PANITIA PENGAWAS DAN PEMANTAU PILKADA
Dari data yang didapatkan, pilkada di Aceh termasuk
pilkada yang ramai pemantau. Artinya, banyak sekali lembaga-lembaga pemantau
pilkada, baik yang berasal dari dalam negri maupun, dari luar negeri maupun
dari badan-badan internasional. Tercatat, ada 6 lembaga asing yang memantau
pilkada, yakni: European Union Election Observation Mission (EUEOM), International
Republican Institute (IRI), Asian Networking For Free Election (ANFREL),
National Democratic Intitute (NDI), Pemerintah Amerika Serikat (AS), dan Local
Government Support Program (LGSP). Sedangkan dari dalam negeri terdapat 5
lembaga yakni: Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) dan Komite Independen
Pemantau Pemilihan (KIPP). Adapun pemantau lokal adalah Forum Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Aceh, Aceh International Recovery Program dan I-Card.6
Selain ada pemantau pilkada juga diawasi oleh Panwaslih. Fungsi dari Panwas Pilkada sebenarnya sama pentingnya dengan proses pilkada itu sendiri. Jika ternyata dalam pilkada ditemukan berbagai macam penyelewengan dan pelanggaran maka akan menorehkan tinta merah dalam demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para pengawas dan pemantau pilkada. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pilkada haruslah mendapatkan sanksi yang tegas dengan diproses secara hukum. Panwas harus bekerja ekstra sepanjang berlangsungnya pilkada mulai dari tahap persiapan hingga pelantikan gubernur. Mengawasi jalannya pencoblosan pada 11 Desember 2006 yang lalu menjadi salah satu contoh tugas pengawas pemilu.
Selain ada pemantau pilkada juga diawasi oleh Panwaslih. Fungsi dari Panwas Pilkada sebenarnya sama pentingnya dengan proses pilkada itu sendiri. Jika ternyata dalam pilkada ditemukan berbagai macam penyelewengan dan pelanggaran maka akan menorehkan tinta merah dalam demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para pengawas dan pemantau pilkada. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pilkada haruslah mendapatkan sanksi yang tegas dengan diproses secara hukum. Panwas harus bekerja ekstra sepanjang berlangsungnya pilkada mulai dari tahap persiapan hingga pelantikan gubernur. Mengawasi jalannya pencoblosan pada 11 Desember 2006 yang lalu menjadi salah satu contoh tugas pengawas pemilu.
Panitia pengawas harus memiliki kompetensi khusus. Mereka harus bisa solid dan bekerjasama. Jangan sampai pengawas pilkada justru berada di balik money politic selama pilkada. Sebelumnya, anggota panwas memang dibekali dengan pelatihan yang dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh bekerja sama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Kemitraan) yang diselenggarakan dua kali, yakni: 7-8 November dan 10-11 November. Tujuannya adalah membangun kredibilitas dan kompetensi anggota panwas dalam rangka pilkada. Panwas juga dibekali pengetahuan hukum tentang pilkada. Dengan demikian Panwas tidak hanya bekerja secara formalitas, namun juga benar-benar memiliki semangat untuk menjadikan pilkada Aceh menjadi momen yang sangat penting bagi tumbuhnya iklim demokrasi di Aceh. Jangan sampai pilkada diwarnai dengan money politic, aksi-aksi curang dan tidak adil lainnya.
0 comments:
Post a Comment