Sunday, October 02, 2016

Peranan Komisi Independen Pemilihan (Kip) Dalam Penyelenggaraa Pemilihan Umum Kepala Daerah Diatur Dalam Beberpa Peraturan Perundang-Undangan

Salah satu adenda yang penting dalam proses perubahan politik adalah menyelenggarakan pemilihan umum. Maka pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai instirusi untuk melakukan perebutan kekuasaan ( pengaruh) yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit politik (pengantian kekuasaan) dapat dilakukan secara damai dan beradab. Lembaga tersebut adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan di mana kedaulatan rakyat menjadi sumber kekuasaan itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih popular, manajemen kekuasaan seperti itu disebut demokrasi. System politik yang demokratis meskipun sangan kompleks, ruwet serta tidak efisien tetap menjadi pilihan terbaik dibandingkan dengan sistem-sistem kekuasaan yang lain, seperti sistem otoritarian, militer, oligarki, dan lain-lain.[1]
            Di Indonesia, pengaturan dasar normatif mengenai Pemilu diatur dalam Bab VII B UUD 1945, yaitu Pasal 22 E yang terdiri dari 6 (enam) ayat, yaitu :
Ayat (1) :  Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Ayat (2) : Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ayat (3) : Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.
Ayat (4) : Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
Ayat (5) :  Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Ayat (6) : Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan Undang-Undang.
Mendasarkan pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut diatas, disebutkan bahwa penyelenggara pemilihan umum adalah suatu komisi yang bersifat nasional ,tetap, dan mandiri. Dalam Pasal ini tidak menentukan secara eksplisit apa nama komisi tersebut, sehingga terserah kepada DPR bersama dengan Pemerintah untuk menentukannya dalam Undang-Undang.  Misalnya Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada komisi tersebut dengan nama Komisi Pemilihan Nasional, Komisi Pemilihan Pusat, Komisi Pemilihan Daerah Propinsi, dan sebagainya. Namun demikian selama ini komisi tersebut diberi nama Komisi Pemilihan Umum.[2]
Berdasarkan hal tersebut diatas, tagas dinyatakan kemandirian penyelenggara Pemilu oleh KPU. Berati penyelenggara KPU tidak lagi bersifat ad hoc, yang secara temporer melaksanakan tugasnya dan senantiasa terkait dengan pemerintah dalam arti dikontrol oleh pemerintah. Dalam ketentuan ini menjadi daar bahwa pemerintah terlepas dari KPU yang bertugas menyelenggarakan Pemilu sebagai organ yang mandiri didalam dikenerjanya.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat sebagaimana tercermin dalam perubahan UUD 1945, Pemilu diselenggarakan bertujuan untuk memilih wakil rakyat untuk membentuk pemeruntahan yang demikratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat. Hal ini menjadi dasar filosofis penyelenggaraan Pemilu yang harus dijadikan sebagai dasar KPU dan KPUD baik pada tingkat Provinsi maupun pada tingkat kabupaten/Kota.
Selanjutnya untuk melaksanakan pemilihan umum tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat pelaksana pemilu itu sendiri, khususnya yang telah berlangsung pada masa sebelum pergeseran dari rezim pemilihan kepala daerah ke rezim pemilihan umum. Untuk itu, pencermatan yang dilakukan terhadap pelaksanaan Pemilu senantiasa diawali dan senantiasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Pemilu di tanah air beserta penyelenggara atau pelaksananya yang untuk waktu yang lama dijalankan oleh pemerintah. Baru dalam beberapa tahun belakangan dilaksanakan oleh lembaga yang bersifat mandiri.[3]
Mencermati pelaksanaan pemilu yang berlangsung ditanah air selama ini, menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu itu berbeda-beda disetiap masa. Berbeda baik dalam hal sistemnya maupun legitimasi formal yang dikandung dalam Undang-Undang sebagai dasar pelaksanannya. Hal ini dapat difahami sebagai refleksi dari pergeseran dinamika dan perkembangan masa yang terus berkembang dinamis dari waktu kewaktu dengan mengakomodasikannya dalam bentuk hukum, khususnya Undang-Undang. Pada masa orde baru, penyelenggara Pemilu itu adalah Pemerintah. Dari kenyataan ini menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang mendukung pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu karena baik infra struktur maupun supra strukturnya sudah siap. Ada yang tidak mendukung karena secara sederhana beralasan, pelaksanaan Pemilu oleh pemerintah tidak obyektif. Ada kepentingan yang sangat kuat dari pemerintah untuk mengatur dalam arti ikut berperan karena kepentingan dan mempengaruhi penyelenggaraan Pemilu. Intinya adalah keinginan kuat untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara mempengaruhi pelaksanaan Pemilu dan aturan yang menguntungkan penguasa. Didalam pelaksanaannya, penyelenggaraan Pemilu oleh pemerintah itu secara teknis diselenggarakan oleh Kementrian Dalam Negeri yang dengan demikian dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, yang kedudukannya adalah sebagai pembantu Presiden. Maka netralitasnya dipertanyakan ketika peran pemerintah pada bidang politik begitu besar karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan tadi. Bahkan sebelum Pemilu dilaksanakan pun sudah dapat ditebak bahwa pemenangnya adalah Partai pemerintah dengan kemenangan yang mutlak pula. Peran serta masyarakatpun direkayasa sedemikian rupa sehingga mencerminkan suara yang sangat besar sebagai bagian dari upaya menanamkan kesan bahwa pemenangnya benar-benar legitimate dan memperoleh dukungan yang sangat kuat dari rakyat.[4]
Pada perkembangan selanjutnya, setelah sekurangnya 4 (empat) kali penyelenggaraan Pemilu, maka dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga yang pada awal pembentukannya beranggotakan orang-orang yang non partisan dan kebanyakan dari kalangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kewenangannya boleh disebut cukup besar pada awal menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR dan DPD, serta DPRD yang diselenggarakan serempak diseluruh tanah air. Dalam perkembangan berikutnya KPU jugamenyelenggarakan Pemilu untuk Kepala Daerah baik pada tingkat Provinsi maupun pada tingkat Kabupaten/Kota diseluruh wilayah tanah air. Dari perjalanan kinerja KPU, terutama dengan merunut pada perjalanan KPU, yaitu pada masa Pemilu tahun 1999, kinerja KPU masih dikesankan menghambat proses Pemilu 1999. Dinyatakan demikian karena pengalaman pertama kali kelembagaan Partai Politik bersama-sama Pemerintah menyelenggarakan Pemilu Pasca Orde Baru. Terlepas dari pengalaman pertama kali atau tidak, kehadiran tokoh-tokoh Partai Politik yang semula diyakini kredibilitasnya semestinya mampu bekerja dan menunjukkan komitmen politiknya bagi peningkatan kualitas Pemilu itu sendiri ternyata tidak sesuai dengan harapan. Sebenarnya dapat dimaklumi karena ini adalah pengalaman pertama.[5]
Sejak awal pembentukan KPU untuk Pemilu tahun 1999, mengemuka berbagai permasalahan. Pada satu sisi hal ini dapat dimaklumi karena lembaga tersebut baru saja dibentuk dan masih mencari style kinerja yang mapan dan terukur. Masalah yang mengemuka diantaranya adalah tentang masih rancunya prosedur untuk merefleksikan ketidaksetujuan terhadap mekanisme yang sedang berlangsung. Prosedur dimaksud harusnya memang dibakukan sebagai model protes dan aktualisasi ketidakmantapan sikap politik dalam menerima peran sentral pemerintahan transisi dalam Pemilu. Kemauan pemerintah untuk berperan masih begitu besar sehingga terjadi semacam intrusi politis terhadap kinerja KPU.
Sebenarnya hal diatas lebih mengarah kepada persoalan teknis dan mengemukanya ego baik dari pemerintah yang ingin mempertahankan besarnya peran maupun oleh pelaksana kinerja KPU yang trauma dengan kuatnya peran pemerintah tersebut. Penggunaan standard ganda dalam menyikapi produk politik pemerintahan yang boleh disebut berada pada kondisi transisi itu pada gilirannya telah mempengaruhi kinerja KPU selanjutnya. Mulai dari masa pengambilan sumpah anggota KPU oleh Presiden sampai pertentangan soal pembagian suara diantaranya wakil pemerintah dan wakil Partai Politik di KPU, pada dasarnya lebih mencerminkan bahwa Pemilu 1999 seolah-olah diselenggarakan untuk memuaskan para politisi dan para pemimpin Partai Politik.
Mencermati realitas kelahiran KPU yang menyelenggarakan Pemilu tahun 1999 memang menimbulkan banyak permasalahan pada pra kelahiran tersebut yang mengakomodasikan urgensinya sebuah lembaga penyelenggara KPU yang mandiri. Oleh karena penyelenggara Pemilu dipandang sebagai kebijakan nasional strategis dan berjangka panjang maka sebagai solusi konstitusionalnya dilakukan pada hulunya dengan melakukan amandemen UUD 1945 yang menetapkan kinerja KPU.
Selanjutnya, seiring dengan masuknya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) kedalam rezim Pemilu, maka penyelenggaraannyapun diserahkan kepada KPU dalam hal ini adalah KPUD, dan pada daerah Pemerintahan Acehdisebut KIP untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota. Dalam hubungan ini KPUD/KIP direpresentasikan sebagai instansi yang tugasnya untuk menyelenggarakan Pemilukada yang bebas, mandiri, dan transparansi dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
KIP yang salah satu peranannya adalah untuk melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah di Propinsi Aceh tidak terlepas kaitannya dengan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) di Helsinky antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian ditindaklanjuti pengesahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh oleh DPR RI pada tanggal 11 Juli 2006. Undang-undang ini dianggap sebagai lex specialis terhadap UU Partai Politik yang akan dijadikan panduan utama pada pelaksanaan pilkada di Aceh. Langkah strategis diatas memberikan peluang bagi masyarakat di Aceh untuk membangun kembali sistem dan perangkat politik yang selama ini terpendam dan terbelunggu oleh konflik yang menahun. Tidak hanya itu, suasana kesetaraan politik mendorong berbagai pihak untuk membagi ideologi politik yang dimiliki agar terjadi kolaborasi guna menyepakati bentuk dan model politik yang layak dan manusiawi di Aceh.[6]
Dalam pelaksanaan pilkada di Aceh, KIP melakukan pemantauan identifikasi dan verifikasi yang transparans. Pemantauan pada dasarnya miliksemua orang sehingga eleminasi alami bisa terjadi dibanding pemantauan yang terlembaga. Untuk itu, KIP maupun pemerintah daerah di Aceh berperan untuk menjamin ruang yang pasti dan bersih dengan aturan yang terlembaga untuk memonitor prilaku para pelaku diatas guna menciptakan pilkada Aceh yang berkualitas dan alami.


[1] Koirudin, Profil Pemilihan Umum 2004, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 13.
[2] Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 81.
[3] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 55.
[4] Samsul Wahidin, Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 42.
[5] Ibid, hlm. 43.
[6] http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/publikasi/artikel-opini/aly-yusuf/256- pilkada-aceh-hajatan-statis.

0 comments: