Tuesday, October 18, 2016

ANALISIS PILKADA 2006 DI NANGGROE ACEH DARUSALLAM

Provinsi Naggroe Aceh Darrusallam atau yang dulunya disebut sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan provinsi di ujung negara kita yang seringkali mengalami konflik. Tiga puluh tahun sudah konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah Indonesia melalui TNI berlangsung.

            Sejak berlangsungnya konflik, proses demokratisasi dalam berpolitik dipenuhi dengan sengketa dan kontak senjata. Di saat negara kita sedang melakukan pembangunan di berbagai bidang pada saat rezim orde baru, Aceh justru menunjukkan kepada masyarakat kita sebagai provinsi yang selalu diselimuti konflik. Akibatnya, kehidupan politik selalu diwarnai ketegangan baik di tingkat pemerintahan sampai ke masyarakat. Bagaimanapun juga, masyarakat selalu menjadi korban atas konflik fisik yang terjadi di Aceh. Kebebasan untuk berkehidupan politik nampaknya harus kandas karna situasi keamanan yang tidak mendukung.

            Keterpurukan masyarakat Aceh ditambah pula dengan bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Kejadian ini menelan korban hingga ratusan ribu jiwa. Peristiwa ini menjadi bencana nasional. Banyak orang yang kehilangan nyawa, kehilangan saudara-saudaranya, dan tempat tinggal. Meski demikian, bencana juga membuat sesama warga Aceh, khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya sadar akan pentingnya solidaritas dan tolong menolong. Meski sebenarnya kesadaran ini tak hanya dalam situasi bencana.
            Di sisi lain, bencana juga membawa kesadaran akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh pihak GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia disinyalir banyak pihak merupakan peristiwa yang tak bisa lepas dari bencana 26 Desember 2004. Melalui peristiwa bencana, memperlihatkan bahwa Aceh akan sulit melangsungkan kehidupan kembali jika tanpa kehadiran pemerintah Indonesia. Kenyataan ini menyadarkan pihak GAM yang juga menjadi korban dalam bencana tersebut.

Penandatanganan MoU1 merupakan salah satu keberhasilan bagi Persiden SBY dalam menciptakan kedamaian di bumi serambi mekah. Setelah 30 tahun konflik yang terjadi, MoU menjadi babak awal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Aceh. Proses untuk menghasilkan MoU sendiri merupakan proses yang alot. Diskusi untuk menghasilkan MoU sendiri merupakan sebuah resolusi konflik dengan mediasi. Saat itu, Crisis Management Initiative (CMI) menjadi penengah dalam pembicaraan. Ini menunjukkan kepedulian dunia internasional terhadap situasi Aceh yang sudah lama mengalami konflik. Jika dicermati, Pilkada di Aceh juga salah satu implementasi dari MoU yang telah ditandatangani di Helsinski Finlandia.

            Pelaksanaan Pilkada Aceh yang notabene sedang mengalami transisi menuju perdamaian rentan terhadap adanya konflik. Pada tahun 2006, perdamaian di Aceh belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Masih banyak terjadi konflik-konflik kecil yang masih bisa diselesaikan. Momen Pilkada bisa jadi membuat konflik-konflik tersebut terbawa dalam issue politik yang berada di balik Pilkada. Pilkada menjadi sarana untuk melampiaskan kekerasan dan tindakan kriminal bagi para aktor tak bertanggungjawab di Aceh.


            Meski dianggap rentan konflik, Pilkada sendiri merupakan peristiwa politik yang unik di tanah rencong ini. Ini adalah Pilkada pertama yang dilaksanakan tanpa melalui pintu partai politik. Pilkada Aceh merupakan pilihan langsung masyarakat untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota. Setiap individu bisa mengajukan diri sebagai calon gubernur atau walikota tanpa harus berasal dari partai tertentu. Ini semua sudah diatur dalam undang-undang khusus di Aceh. Maka tak heran, jika Pilkada Aceh menjadi sorotan luar biasa bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Media massapun tak henti-hentinya menyoroti momen ini.Ada beberapa alasan mengapa Pilkada Aceh menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Pertama, Pilkada Aceh merupakan “Pilkada Istimewa” yang sebenarnya rentan konflik karena pengalaman Aceh yang begitu mempengaruhi psikologis masyarakat Aceh, khususnya yang berkaitan dengan konflik, Kedua proses munculnya sebagai implementasi MoU. Dan secara konstruksionis, Pilkada sendiri merupakan rentetan pengalaman kehidupan masyarakat Aceh yang tidak bisa dilepaskan dari konflik selama 30 tahun dan bencana yang terjadi 2 tahun silam.

0 comments: