Tuesday, October 18, 2016

Perkembangan Pemikiran Politik Syiah Imamiyah

            Syura telah menjadi konsep dalam Islam sebagai jalan untuk menentukan dan memilih seorang pemimpin, dan penerapan konsep ini dapat kita lihat masa pasca wafatnya Rasulullah SAW. Rasulullah tidak menentukan dan tidak mewasiatkan seseorang dari sehabat beliau untuk menjadi khalifah pengganti sepeninggalnya. Seluruh sahabat, tanpa terkecuali meyakini dan menjalankan prinsip syura ini, sebagai konsep dalam memilih seorang pemimpin. Begitupun dengan anak-anak keturunan para sahabat, dalam hal ini yang penulis maksud adalah keturunan Ahlu bait radiyallahu anhum, semisal Hasan ra., Husai ra., dan Jakfar As-shadiq ra.
Lain halnya dengan orang-orang Syiah, dalam keyakinan Syiah, seorang khalifah sepeninggal Rasulullah telah ditentukan oleh Allah, atau telah ada nash dan wasiat yang menentukan seseorang sebagai khalifah. Oleh karena itu dalam pemikiran Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, hanya meyakini imam yang dua belas dari ahlu bait. Karena bagi mereka telah ada nash dan wasiat tentang kepemimpinan para imam itu.
            Pasca sepeninggalnya Imam Hasan Al-Askari yang tanpa memiliki seorang anak atau penerus, disini terjadi keterputusan kepemimpinan. Namun bagi Syiah Imamiyah, imam Al-Askari memiliki keturunan yang bernama Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan, yang kemudian diberi gelar Al-Mahdi Al-Muntazar. Dalam keyakinan Syiah, Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan ini bersembunyi di daerah Sardab Irak. Dan Imam Mahdi tidak mati sampai ia muncul kembali untuk mengisi dunia dengan keadilan dan kebaikan.
1. Fase Kepemimpinan Para Imam

            Yaitu fase dimana para imam dari keturunan Ali Bin Abi Thalib masih hidup, mulai dari kepemimpinan Abu Al-Hasan bin Abi Thalib (600-661 M) sampai Imam yang kedua belas yaitu Abu Al-Qosim Muhammad bin Al-Hasan yang bergelar Al-Mahdi (870-000) yang lenyap dan menghilang dan menurut keyakinan Syiah bahwa Imam yang kedua belas masih hidup dan belum mati, sampai kedatangannya yang akan mengisi dunia dengan keadilan menggantikan dunia yang penuh dengan kedzaliman dan kerusakan. Menghilangnya imam yang kedua belas ini yang kemudian dikenal dengan masa kegaiban, dan ini juga berarti dimulainya fase kedua.
2. Fase Kedua : Masa Kegaiban

            Fase ini dimulai dengan menghilangnya Imam yang kedua belas sampai kemunculannya nanti, diantara ciri dari fase ini adalah :
Dalam dunia politik, atau kebijakan politik, maka ia berkaitan dan berbicara tentang kepentingan suatu negara, kemaslahatan nasional suatu negara.

1.      Lahirnya fatwa-fatwa yang mengharamkan aktifitas politik dan tidak bolehnya mendirikan negara Islam tanpa keberadaan seorang Imam yang maksum dan sesuai dengan pilihan Allah.
2.      Fatwa ini juga berakibat pada tidak bolehnya segala jenis aktifitas yang berurusan dengan negera, seperti zakat, penegakan had, shalat jum’at, dll.
3.      Wajibnya taqiyah, yaitu paham yang menyerukan untuk menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan. Dan hal ini menjadi tuntutan dan kewajiban saat ketiadaan Imam atau fase stagnan yaitu fase kepemimpinan orang yang dzalim dalam pandangan orang-orang Syiah. Dalam hal ini Syaikh As-Suduq (381 H), mengatakan perihal kewajiban taqiyah ini, taqiyah, kata beliau adalah kewajiban yang diwajibkan bagi kita di bawah kepemimpinan orang-orang dzalim, maka barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah menyalahi agama (paham Imamiyah).
            Masa kegaiban ini, dalam buku Ahmad Al-Katib (Tatawwur Al-Fikr As-Siyasi As-Syi’i), penulis mendapatkan bahwa fase ini telah melahirkan beragam ijtihad sebagai solusi dari ketiadaan seorang imam yang memimpin orang-orang syiah, di antara ijtihad tersebut :
1.      Lahirnya ijtihad, niyabatul Imam atau pengganti ketiadaan seorang imam, ijtihad ini mengatakan perlunya pengganti imam dalam Khilafah, namun kekuasaan niyabatul imam ini masih terbatas pada penegakan hukum agama, semisal penegakan hukum had. Dan tidak mencampuri urusan negara.
2.      Wilayatulfakih atau kepemimpinan seorang fakih, sebagai wakil mutlak dari imam. Konsep ini telah merampah dunia politik atau negara.


            Kedua ijtihad diatas juga menandai dibukanya pintu ijtihad sebagai fase baru di zaman kegaiban. Yang sebelumnya, segala bentuk ijtihad diharamkan pada masa kegaiban seorang imam. Dalam paham Syiah, penetapan hukum baru adalah hak dan hanya terbatas bagi para imam yang maksum. Dan kondisi ini, tertutupnya kerang ijtihad berlangsung lama. Dan kerang pintu ijtihad ini mulai terbuka pada abad ke empat, yang diprakarsai oleh Al-Hasan Bin Al-Uqail bersama muridnya Sayyid Murtadha.

0 comments: