Syura
telah menjadi konsep dalam Islam sebagai jalan untuk menentukan dan memilih
seorang pemimpin, dan penerapan konsep ini dapat kita lihat masa pasca wafatnya
Rasulullah SAW. Rasulullah tidak menentukan dan tidak mewasiatkan seseorang
dari sehabat beliau untuk menjadi khalifah pengganti sepeninggalnya. Seluruh sahabat,
tanpa terkecuali meyakini dan menjalankan prinsip syura ini, sebagai konsep
dalam memilih seorang pemimpin. Begitupun dengan anak-anak keturunan para
sahabat, dalam hal ini yang penulis maksud adalah keturunan Ahlu bait
radiyallahu anhum, semisal Hasan ra., Husai ra., dan Jakfar As-shadiq ra.
Lain halnya dengan orang-orang Syiah, dalam keyakinan
Syiah, seorang khalifah sepeninggal Rasulullah telah ditentukan oleh Allah,
atau telah ada nash dan wasiat yang menentukan seseorang sebagai khalifah. Oleh
karena itu dalam pemikiran Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, hanya meyakini imam
yang dua belas dari ahlu bait. Karena bagi mereka telah ada nash dan wasiat
tentang kepemimpinan para imam itu.
Pasca sepeninggalnya Imam Hasan
Al-Askari yang tanpa memiliki seorang anak atau penerus, disini terjadi
keterputusan kepemimpinan. Namun bagi Syiah Imamiyah, imam Al-Askari memiliki
keturunan yang bernama Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan, yang kemudian diberi
gelar Al-Mahdi Al-Muntazar. Dalam keyakinan Syiah, Abu Al-Qosim Muhammad ibnu
Hasan ini bersembunyi di daerah Sardab Irak. Dan Imam Mahdi tidak mati sampai
ia muncul kembali untuk mengisi dunia dengan keadilan dan kebaikan.
1. Fase Kepemimpinan Para Imam
Yaitu fase dimana para imam dari
keturunan Ali Bin Abi Thalib masih hidup, mulai dari kepemimpinan Abu Al-Hasan
bin Abi Thalib (600-661 M) sampai Imam yang kedua belas yaitu Abu Al-Qosim
Muhammad bin Al-Hasan yang bergelar Al-Mahdi (870-000) yang lenyap dan
menghilang dan menurut keyakinan Syiah bahwa Imam yang kedua belas masih hidup
dan belum mati, sampai kedatangannya yang akan mengisi dunia dengan keadilan
menggantikan dunia yang penuh dengan kedzaliman dan kerusakan. Menghilangnya
imam yang kedua belas ini yang kemudian dikenal dengan masa kegaiban, dan ini juga
berarti dimulainya fase kedua.
2. Fase Kedua : Masa Kegaiban
Fase ini dimulai dengan menghilangnya
Imam yang kedua belas sampai kemunculannya nanti, diantara ciri dari fase ini
adalah :
Dalam dunia
politik, atau kebijakan politik, maka ia berkaitan dan berbicara tentang
kepentingan suatu negara, kemaslahatan nasional suatu negara.
1.
Lahirnya
fatwa-fatwa yang mengharamkan aktifitas politik dan tidak bolehnya mendirikan
negara Islam tanpa keberadaan seorang Imam yang maksum dan sesuai dengan
pilihan Allah.
2. Fatwa ini juga berakibat pada tidak
bolehnya segala jenis aktifitas yang berurusan dengan negera, seperti zakat,
penegakan had, shalat jum’at, dll.
3.
Wajibnya
taqiyah, yaitu paham yang menyerukan untuk menampakkan sesuatu yang tidak
sesuai dengan keyakinan. Dan hal ini menjadi tuntutan dan kewajiban saat
ketiadaan Imam atau fase stagnan yaitu fase kepemimpinan orang yang dzalim
dalam pandangan orang-orang Syiah. Dalam hal ini Syaikh As-Suduq (381 H),
mengatakan perihal kewajiban taqiyah ini, taqiyah, kata beliau adalah kewajiban
yang diwajibkan bagi kita di bawah kepemimpinan orang-orang dzalim, maka barang
siapa yang meninggalkannya, maka ia telah menyalahi agama (paham Imamiyah).
Masa
kegaiban ini, dalam buku Ahmad Al-Katib (Tatawwur Al-Fikr As-Siyasi As-Syi’i),
penulis mendapatkan bahwa fase ini telah melahirkan beragam ijtihad sebagai
solusi dari ketiadaan seorang imam yang memimpin orang-orang syiah, di antara
ijtihad tersebut :
1.
Lahirnya
ijtihad, niyabatul Imam atau pengganti ketiadaan seorang imam, ijtihad ini
mengatakan perlunya pengganti imam dalam Khilafah, namun kekuasaan niyabatul
imam ini masih terbatas pada penegakan hukum agama, semisal penegakan hukum
had. Dan tidak mencampuri urusan negara.
2. Wilayatulfakih atau kepemimpinan
seorang fakih, sebagai wakil mutlak dari imam. Konsep ini telah merampah dunia
politik atau negara.
Kedua
ijtihad diatas juga menandai dibukanya pintu ijtihad sebagai fase baru di zaman
kegaiban. Yang sebelumnya, segala bentuk ijtihad diharamkan pada masa kegaiban
seorang imam. Dalam paham Syiah, penetapan hukum baru adalah hak dan hanya
terbatas bagi para imam yang maksum. Dan kondisi ini, tertutupnya kerang
ijtihad berlangsung lama. Dan kerang pintu ijtihad ini mulai terbuka pada abad
ke empat, yang diprakarsai oleh Al-Hasan Bin Al-Uqail bersama muridnya Sayyid
Murtadha.
0 comments:
Post a Comment