Tuesday, October 18, 2016

Selintas Historis Wali Nanggroe

Jika menilik kembali keberadaan Wali Nanggroe dalam lintasan sejarah Aceh, banyak fakta yang terungkap bahwa Wali Nanggroe telah ada sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa kekuasaan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Orang yang pertama menjadi Wali Nanggroe adalah Abdurrauf As Singkili. Banyak versi yang berkembang tentang kemunculan Wali Nanggroe. Namun, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa sosok Wali Nanggroe muncul karena adanya instabilitas politik. Setelah keadaan kembali stabil, maka peran seorang Wali Nanggroe pun dianggap selesai. Fakta historis Aceh menunjukkan bahwa pasca-Abdurrauf As Singliki, tidak pernah ada lagi Wali Nanggroe yang menjadi penggantinya.

Kemunculan sosok Wali Nanggroe kembali terjadi tatkala Kesultanan Aceh Darussalam sedang menghadapi invasi militer tahap kedua koloni Kerajaan Belanda (1874 M). Orang yang menjadi Wali Nanggroe itu bernama Tuanku Hasyim Banta Muda. Karena perang Aceh berlangsung lama, setelah Hasyim meninggal dunia di Padang Tiji (Pidie), yang menjadi Wali Nanggroe selanjutnya adalah klan “di Tiro”. Belum ada rincian yang valid tentang “di Tiro” yang mana pertama kali menjadi Wali Nanggroe pasca-Tuanku Hasyim. Ada yang menyebutkan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Pahlawan Nasional Indonesia).

Namun tak sedikit yang menyebutkan bahwa anaknya yang pertama kali menjadi Wali Nanggroe, yaitu Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin. Setelah itu, sayup-sayup terdengar klaim bahwa Wali Nanggroe berikutnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Amir Husein Al Mujahid, hingga Hasan Muhammad (Hasan Tiro) yang mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe ketika awal meletusnya konflik Aceh (1976).

Konflik Aceh ternyata tidak hanya menimbulkan penderitaan dan besarnya jumlah korban jiwa bagi rakyat Aceh. Di sisi lain, konflik tersebut menjadi “peluang” bagi pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mendistorsi sejarah Aceh, yang “disesuaikan” dengan agenda pendiri GAM, Hasan Muhammad. Sehingga tidak heran, Hasan Muhammad kerap mengagung-agungkan “darah biru” klan di Tiro dalam beberapa tulisannya. Seakan-akan hanya klan “di Tiro” lah yang pantas untuk berkuasa di Aceh. Mayoritas rakyat Aceh pada masa itu belum mengetahui bahwa Hasan Muhammad sebenarnya ingin mendirikan negara monarki (kerajaan) bagi keluarganya sendiri. Walau pada akhirnya Tuhan berkehendak lain.

Menjelang akhir hidup Hasan Muhammad, perdamaian antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia berhasil dicapai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Konflik berkepanjangan yang menyebabkan penderitaan mendalam dan keterbelakangan yang massif bagi rakyat Aceh berakhir dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Sebagian dari butir-butir kesepakatan itu telah dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sangat disayangkan, justru pihak internal mantan kombatan GAM lah yang melanggar beberapa butir MoU Helsinki yang ada dalam UU No. 11 Tahun 2006. Salah satunya adalah pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, yang isinya banyak “menabrak” ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2006 yang menjadi “ikon” andalan Partai Aceh saat menghadapi pemilihan kepala daerah (pemilukada) maupun pemilu legislatif.

            Pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 merupakan langkah terbesar bagi seorang pria berdarah Aceh kelahiran Singapura tahun 1939, Malik Mahmud Al Haytar, untuk menuju kursi kekuasaan sebagai Wali Nanggroe versi Partai Aceh menggantikan Hasan Muhammad. Pada Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud Al Haytar resmi dikukuhkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (2009-2014) yang mayoritas kursinya dikuasai Partai Aceh sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan sebutan Paduka Yang Mulia (PYM) Tengku Malik Mahmud Al Haytar yang menyandang gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik.


0 comments: