Jika menilik kembali keberadaan Wali Nanggroe dalam lintasan
sejarah Aceh, banyak fakta yang terungkap bahwa Wali Nanggroe telah ada sejak
zaman Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa kekuasaan Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Orang yang pertama menjadi Wali Nanggroe
adalah Abdurrauf As Singkili. Banyak versi yang berkembang tentang kemunculan
Wali Nanggroe. Namun, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa sosok Wali
Nanggroe muncul karena adanya instabilitas politik. Setelah keadaan kembali
stabil, maka peran seorang Wali Nanggroe pun dianggap selesai. Fakta historis
Aceh menunjukkan bahwa pasca-Abdurrauf As Singliki, tidak pernah ada lagi Wali
Nanggroe yang menjadi penggantinya.
Kemunculan sosok Wali Nanggroe kembali terjadi tatkala
Kesultanan Aceh Darussalam sedang menghadapi invasi militer tahap kedua koloni
Kerajaan Belanda (1874 M). Orang yang menjadi Wali Nanggroe itu bernama Tuanku
Hasyim Banta Muda. Karena perang Aceh berlangsung lama, setelah Hasyim
meninggal dunia di Padang Tiji (Pidie), yang menjadi Wali Nanggroe selanjutnya
adalah klan “di Tiro”. Belum ada rincian yang valid tentang “di Tiro” yang mana
pertama kali menjadi Wali Nanggroe pasca-Tuanku Hasyim. Ada yang menyebutkan Teungku
Chik di Tiro Muhammad Saman (Pahlawan Nasional Indonesia).
Namun tak sedikit yang menyebutkan bahwa anaknya yang pertama
kali menjadi Wali Nanggroe, yaitu Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin. Setelah
itu, sayup-sayup terdengar klaim bahwa Wali Nanggroe berikutnya adalah Teungku
Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Amir Husein Al Mujahid, hingga Hasan Muhammad
(Hasan Tiro) yang mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe ketika awal
meletusnya konflik Aceh (1976).
Konflik
Aceh ternyata tidak hanya menimbulkan penderitaan dan besarnya jumlah korban
jiwa bagi rakyat Aceh. Di sisi lain, konflik tersebut menjadi “peluang” bagi
pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mendistorsi sejarah Aceh, yang
“disesuaikan” dengan agenda pendiri GAM, Hasan Muhammad. Sehingga tidak heran,
Hasan Muhammad kerap mengagung-agungkan “darah biru” klan di Tiro dalam
beberapa tulisannya. Seakan-akan hanya klan “di Tiro” lah yang pantas untuk
berkuasa di Aceh. Mayoritas rakyat Aceh pada masa itu belum mengetahui bahwa
Hasan Muhammad sebenarnya ingin mendirikan negara monarki (kerajaan) bagi
keluarganya sendiri. Walau pada akhirnya Tuhan berkehendak lain.
Menjelang akhir hidup Hasan Muhammad, perdamaian antara GAM
dengan Pemerintah Republik Indonesia berhasil dicapai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki,
Finlandia. Konflik berkepanjangan yang menyebabkan penderitaan mendalam dan
keterbelakangan yang massif bagi rakyat Aceh berakhir dengan penandatanganan
Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Sebagian dari butir-butir kesepakatan itu
telah dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sangat disayangkan, justru pihak internal mantan kombatan GAM
lah yang melanggar beberapa butir MoU Helsinki yang ada dalam UU No. 11 Tahun
2006. Salah satunya adalah pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga
Wali Nanggroe, yang isinya banyak “menabrak” ketentuan dalam UU No. 11 tahun
2006 yang menjadi “ikon” andalan Partai Aceh saat menghadapi pemilihan kepala
daerah (pemilukada) maupun pemilu legislatif.
Pengesahan
Qanun No. 8 Tahun 2012 merupakan langkah terbesar bagi seorang pria berdarah
Aceh kelahiran Singapura tahun 1939, Malik Mahmud Al Haytar, untuk menuju kursi
kekuasaan sebagai Wali Nanggroe versi Partai Aceh menggantikan Hasan Muhammad.
Pada Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud Al Haytar resmi dikukuhkan di gedung
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (2009-2014) yang mayoritas kursinya dikuasai
Partai Aceh sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan sebutan Paduka Yang Mulia (PYM)
Tengku Malik Mahmud Al Haytar yang menyandang gelar Al Mukarram Maulana Al
Mudabbir Al Malik.
0 comments:
Post a Comment