Sejarah gerakan lingkungan hidup di dunia dimulai pada kurun waktu
antara 1970-1980 tepatnya ketika pada tanggal 22 April 1970 diadakan perayaan
Hari Bumi. Ini merupakan peristiwa awal lahirnya gerakan lingkungan yang
diperingati sampaisaat ini dan mulai saat itu pula gerakan-gerakan lingkungan
di Amerika mengalami perubahan dimana persoalan lingkungan menjadi hal yang
paling penting dan sangat diperhatikan, kemudian terjadinya penggabungan
organisasi-organisasi lingkungan hidup.
Pada tahun 1980-1988 terjadi perubahan dimana gerakan lingkungan
kehilangan ciri spontanitasnya sebagai simbol dari semakin besarnya tingkat
pergantian cara pendekatan, kemudian pada kurun waktu 1988-1992 dimana pada
saat itu terjadi bencana-bencana yang menimpa lingkungan dengan semakin banyak
kasus hujan asam, limbah radioaktif, rekayasa genetik, punahnya spesies langka
dan sebagainya. Pada tahun 1990 ketika diadakan peringatan Hari Bumi secara
besarbesaran merupakan tonggak/titik puncak dan kesadaran baru tentang gerakan
lingkungan (24 April 1990 dirayakan di 140 negara).
Adapun sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia dapat dilihat
setelah masa kepemimpinan Soekarno (Orde lama) beralih pada masa Soeharto (Orde
Baru) yang tidak pernah berpihak pada lingkungan. Dimana pada masa itu
pemerintah cenderung pada persoalan ekonomi pembangunan, sedangkan persoalan
lingkungan dikesampingkan demi peningkatan ekonomi. Masa kepemimpinan Soekarno
dimana pada saat itu penerapan politik lingkungan hidup kerakyatan ( paham ecopopulism)
merupakan gerakan lingkungan hidup, seperti perusahaan-perusahaan asing
dinasionalisasikan dan lahan-lahan kritis segera diselamatkan (pembentukan
panitia penyelemat hutan, tanah dan air). Pada masa kepemimpinan Soeharto lahir
paham eco-developmentalis menempuh jalan refonnasi hukum, dimana hukum
adalah alatbagi peningkatan ekonomi untuk membuka jalan bagi investasi asing
(muncul UU Penanaman Modal Asing).
Dengan adanya UUPMA ini memberikan andil yang sangat besar sekali
terhadap perubahan lingkungan di Indonesia dimana negara-negara pemodal bebas
mengeksplorasi (memanfaatkan sumber daya alam dengan bebas untuk kepentingan
ekonomi (terutama untuk pemilik modal) maka yang terjadi adalah kerusakan
lingkungan, sehingga pada masa kurun waktu 1970-1984 muncullah gerakan
lingkungan di Indonesia (organisasi-organisasi lingkungan di Indonesia). Salah
satu organisasi yang muncul pada saat itu adalah Mapala UI (tanun 1970-an) yang
berbasis mahasiswa yang masih bertahan sampai sekarang, dan setelah itu mulailah
muncul lembaga-lembaga pusat studi lingkungan hidup, kemudian pada tahun
1970-an dan 1980-an muncullah ormas-ormas baru, seperti WALHI (Wahana
Lingkungan hidup Indonesia) , FISKA (Forum Indonesia untuk swadaya di Bidang
Kependudukan), HKTI (Himpunan Kerukunan ’Tani Indonesia), Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HNS), KNPI (komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain
sebagainya (http://wwwlingkungan-wahyu.blogspot.com/2011/06/1.html diakses pada
Sabtu 09 Mei 2015 pukul 13:13 WIB).
Gerakan lingkungan hidup (environmental movement) dikenal
juga dengan berbagai nama, seperti environmentalisme dan environmental
activism. Ketiga istilah yang tampak sejenis tersebut digunakan secara
berbeda dari satu wacana ke wacana yang lain, namun pada hakekatnya menggambarkan
satu fenomena yang sama, yakni gerakan sosial yang fokus bergerak dibidang
perlindungan, pelestarian, dan keadilanlingkungan hidup. Meskipun berada dalam
satu wadah besar terdapat beragam aliran pemikiran dalam gerakan lingkungan.
Keragaman tersebut tercermin pula pada pilihan-pilihan aksi, praksis, ataupun
metode gerakan mereka sendiri, sebuah kondisi yang membuat aktivisme lingkungan
bisa mewujud dalam beragam nada dan warna.
Gerakan lingkungan hidup bisa dilihat sebagai bagian dari perilaku
bersama (collective behavior) yang secara formal mewujud dalam bentuk
berbagai kelompok dan organisasi lingkungan. Mekanisme collective action yang
bekerja mampu mempengaruhi faktor-faktor cost and benefits yang membuat
seseorang memutuskan untuk bergabung dan terus terlibat dalam gerakan
lingkungan. Faktor-faktor pendorong tersebut penting untuk dipahami karena
kelompok dan organisasi lingkungan hidup pada dasarnya tergolong sebagai
organisasi sukarela (voluntary organizations), yakni kelompok-kelompok
formal yang anggotanya berasal dari individu-individu yang bergabung secara
sukarela; tanpa paksaan, tanpa alasan-alasan komersial; untuk memajukan
sejumlah tujuan bersama. Definisi diatas sejalan dengan pembahasan definisi
gerakan sosial, yakni menekankan perbedaan organisasi-organisasi dalam gerakan
lingkungan dengan organisasi komersial http://www.scribd.com/doc/37766063/Penggunaan-Internet-Oleh-Aktivis-Lingkungan Di-Indonesia
diakses pada Sabtu 09 Mei 2015 pukul 11:00 WIB).
Adapun dalam teori gerakan sosial, gerakan sosial terjadi apabila
sekelompok individu terlibat dalam suatu usaha yang terorganisir baik untuk
merubah ataupun mempertahankan unsur tertentu dari masyarakat yang lebih luas.
Adapun karakteristik dari gerakan sosial yakni adanya pengenalan sasaran,
rencana-rencana untuk mencapai sasaran, dan adanya ideologi. Gerakan sosial
pada umumnya memiliki rangkaian sasaran yang luas yang ditetapkan dengan jelas.
Gerakan sosial yang bertujuan memperbaiki kondisi hidup satu kelompok
masyarakat harus merumuskan semua tujuannya secara terperinci dan sarana yang
tersedia untuk mencapai tujuan itu sangat bervariasi. Ideologi gerakan sosial
adalah sesuatu yang dapat mempersatukan para anggotanya.
Pandangan menyeluruh tentang elemen-elemen dalam gerakan
lingkungan yakni ada tiga komponen gerakan lingkungan yaitu (1) “aktivis
lingkungan publik”, yaitu sebagian besar orang yang concerned untuk
memperbaiki kondisi lingkungan disekitar mereka (2) aktivis lingkungan
terorganisir atau sukarela seperti WALHI dan Greenpeace, (3) organisasi gerakan
lingkungan institusional”, yaitu birokrasi publik yang memiliki yurisdiksi
terhadap kebijakan lingkungan. Istilah “gerakan lingkungan” melihat bahwa
gerakan lingkungan terdiri dari dua elemen, yaitu (1), kelompok-kelompok
lingkungan, sebagai perwujudan organisasional dari gerakan lingkungan; dan (2) attentive
public, orang-orang yang meski tidak bergabung ke salah satu kelompok
lingkungan, tapi sama-sama mempercayai dan mempraktekkan nilai-nilai
environmentalisme. Orang-orang “awam” ini bisa siapa saja, mereka adalah
orang-orang yang mengekspresikan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup
melalui pandangan pribadi mereka, perilaku dan gaya hidup mereka.
Dalam sudut pandang sosiologis atau perspektif gerakan sosial
melihat kemunculan gerakan atau kelompok lingkungan berhubungan erat dengan
perubahan nilai-nilai dan struktur sosial dalam masyarakat. Keduanya melihat
kemunculangerakan lingkungan hidup memiliki kemiripan dengan latar belakang
kemunculan gerakan sosial, yakni lahir dari ketidakpuasan terhadap sejumlah
nilai- nilai yang selama ini dianut masyarakat dan mewakili upaya-upaya
kolektif untuk menginstitusionalkan nilai-nilai alternatif. Ketidakpuasan
masyarakat misalnya adalah keprihatinan akan hilangnya tempat-tempat alami,
kekecewaan terhadap pengaruh industrialisme pada kehidupan perkotaan, keinginan
untuk menjauh dari kota dan kembali ke suasana pedesaan, dan pandangan terhadap
alam sebagai sumber pencerahan spiritual, moral, dan estetis. Selain itu,
meluasnya nilai-nilai prolingkungan diduga ikut didorong faktor-faktor seperti
pertumbuhan kelompok pekerjaan yang dekat dan sering bersentuhan dengan isu-isu
lingkungan serta adanya peningkatan standar kehidupan –yang tampaknya telah
memungkinkan sebagian orang untuk mulai berpikir tentang nilai-nilai dan
hal-hal non-material
(http://www.scribd.com/doc/37766063/Penggunaan-Internet-Oleh-AktivisLingkungan-Di-Indonesia
diakses pada sabtu 09 Mei 2015 pukul
11:35 WIB).
0 comments:
Post a Comment