Pemilih
diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk
mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya
kepada kontestan yang bersangkutan.[1] Di
nyatakan sebagai pemilih dalam pemilu yaitu mereka yang telah mendaftar sebagai
peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini
dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya.
Tidak semua warga negara mempunyai
hak memilih, pemilih yang memiliki hak memiliki hanya warga negara Indonesia
yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
lebih atau sudah pernah menikah mempunyai hak memilih.[2]
Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi
tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti
paratai politik dan seorang pemimpin. Menurut Brennan dan Lomasky serta Fiorina
menyatakan bahwa keputusan memilih selama pemilu adalah perilaku “ekspresif . Perilaku ini tidak juah
berbeda dengan perilaku suporter yang
memberikan dukungan pada sebuah tim sepak bola. Menurut mereka, perilaku
pemilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan ideologi.[3]
Keputusan politik untuk memberikan
dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih
yang cukup tinggi kepada calon pemimpi jangoannya. Begitu juga sebaliknya,
pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah
partai atau calon pemimpin tidak loyal serta konsisten dengan janji dan harapan
yang telah mereka berikan. Perilaku pemilih juga syarat dengan ideologi antara
pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan
membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama peride kempanye pemilu,
muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan.
Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi
yang sama dengan yang mereka anut skaligus juga menjauhkan diri dari ideologi
yang berseberangan dengan mereka.
Hiw
Melwit menyatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan yang
bersifat instan, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda
dengan pengambilan keputusan lain.[4]
Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor-faktor tertentu
dalam mempengaruhi keputusan memilih, seperti faktor partai politik yang
mendukung pasangan calon, citra kandidat ataupun figur kandidat tersebut.
Perilaku
pemilih dapat dianalisis dengan menggunakan epat pendekatan, yaitu:[5]
1. Pendekatan
Sosiologis, Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial
dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Pendekatan sosiologis dilandasi
oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status
sosio ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan
pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga dan pertemanan
yang dialami oleh agen pemilih secara historis.
2. Pendekatan Psikologis,
pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam
menenrukan perilaku politik pemilih, bukan karakter sosiologi. Pendekatan ini
menjelaska bahwa sikap seseorang merupakan refleksi dan kepribadian seseorang
yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
seseorang, karena itu pendekatan ini menekatkan pada tiga aspek psikologi
sebagai kajian utama , yaitu ikatan emosional pada suatu partai politi, isu-isu
dan kandidar-kandidat.
3. Pendektan
Rasional, Pendekatan ini menempatkan pemilih pada suatu keadaan yang bebas, di
mana pemilih melaksanakan perilaku politik dengan pikiran rasionalnya dalam
menilai calon/kandidat yang terbaik menurut raionalitas yang dimilikinya. Model
ini ingin melihat perilaku pemilih sebagai produk kalkulasi untuk rugi.
Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan faktor untung rugi dalam
menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih rasional
adalah pemilih yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih calon.
Sebuah pilihan tindakan dikatakan menguntungkan bila ongkos yang dikeluarkan
untuk mendapatkan hasil dari tindakan tersebut lebih rendah daripada hasil
tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan tersebut rugi bila ongkos
untuk mendapatkan hasilitu lebih tinggi nilainya ketimbang hasil yang
diperoleh. Berbeda dengan 2 pendekatan di atas yang menempatkan pemilih pada
ruang kosong, dimana pemilih tidak menentukan perilaku politik pada saat di
bilik suara, akan tetapi perilaku politik telah ditentukan jauh-jauh hari
sebelumnya dengan mengacu pada dua pendekatan di atas. Pada pendekatan
rasional, perilaku politik dapat terjadi kapan saja, dan dapat berubah sesuai
dengan rasionalitasnya, bahkan keputusan dalam menentukan pilihan dapat berubah
dibalik bilik suara.
4. Pendekatan
Domain Kognitif, model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksi
perilaku pemilih. Newman dan Sheth mengembangkan model perilaku pemilih
berdasarkan beberapa dpmain yang berkaitan dengan marketing.[6]
Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang
berbeda dan terpisah, yaitu :
a.
Isu dan Kebijakan Politik, komponen ini
kekpresentasikankebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh
partai atau kandidat politik jiha kelak menang pemilu.
b.
Citra Sosial, komponen ini adalah citra kandidat dalam
pemikiran pemilih mengenai “berada” di mana kelompok sosial mana atau tergabung
sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. Citra sosial dapat terjadi
oleh banyak faktor, diantaranya demografi (meliputi usia, gender, dan agama).
Sosial ekonomi (meliputi pekerjaan dan pendapatan). Kultural dan etnik dan
politis-ideologi.
c.
Perasaan emosional, yaitu dimensi emosional yang
terpancar dari sebuah kontestan atau kontestan yang ditunjik oleh kebijakan
politik yang ditawarkan.
d.
Citra kandidat, yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi
yang penting dan tang dianggap sebagai karakter kandidat.
e.
Peristiwa mutakhir, hal ini mengacu pada sifat-sifat
pribadi yang penting dan yang dianggap seabagai karakter kandidat.
f.
Peristiwa personal, ini mengacu padakehidupan pribadi dan
peristiwa yang dialami secara pribadi oleh seorang kandidat misalnya skandal
selsual, bisnis, dan sebagainya.
g.
Faktor-faktor
epistemik, yaitu isu-isu pemilihan yang sfesifik yang dapat memicu keinginan
para pemilih mengenai hal-hal baru.
Keempat
pendekatan perilaku diatas saling menguatkan atau melengkapi satu sama lainnya.
Dalam memilih suatu partai atau kontestan dalam pemilu, pemilih memiliki perilaku dalam mengambil
keputusan dalam menentukan pilihannya. Perilaku ini berasal dari hasil persepsi
pemilih dalam melihat profil maupun track record dari partai politik maupun kontestan.
Terkadang perilaku pemilih ini rasional dan non-rasional dalam menentukan
keputusan politiknya.
Setiap
bentukan politik dan sosial yang terjadi dalam suatu tatanan masyarakat akan
memberi pengaruh besar terhadap pola dan perilaku memilih ini. Bagi aktor
maupun lembaga politik tentunya pola dan perilaku memilih masyarakat ini akan
menjadi cerminan apakah akan membawa keuntungan atau tidak bagi mereka.
Perubahan-perubahan akan pola perilaku memilih masyarakat akan sangat
mempengaruhi konstelasi politik kedepan.
Rekayasa
politik adalah salah satuupaya untuk mempengaruhi keadaan agar lebih
menguntungkan secara politis. Banyak cara yang digunakan untuk ini, antara lain
misalnya dengan menggiatkan kinerja pada tahun-tahun terakhir bagi mereka yang
sudah menjabat (incumbent), atau
dengan sering-sering muncul di media massa dan berinteraksi langsung dengan
masyarakat bagi yang incumbent maupun bagi yang pendatang baru (new comer).
[2] Pasal 10 ayat 1 Qanun
Aceh No 5 Tahun 2012 Tentanf Pemilihan Gumbernur/wakil Gubernur Bupati dan
Wakikota/Wakil Walikota
[4] Muhammad Asfar, 2002, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, dalam Jurnal
Ilmu Politik Edisi no. 16, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
[5] Adman Nursal, 2004, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka, hal 54
0 comments:
Post a Comment