Friday, November 11, 2016

Transformasi Menuju Demokrasi Lokal

Pemilihan langsung dalam proses transformasi menuju demokrasi. pencapaian demokrasi hendaknya tidak hanya dinikmati pada tingkat nasional, namun juga menyentuh tingkat provinsi, kabupaten, bahkan tingkat desa sekalipun, karenanya perlu pendidikan dan penerapan demokrasi pada tingkat lokal. Kajian ini membahas mengenai bagaimana pandangan masyarakat mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung, kajian akademis mengenai pemilihan langsung kepala daerah, dan memberi pengalaman pemilihan kepala daerah di berbagai negara yang diharapkan dari sana dapat ditemukan suatu cara pemilihan kepala daerah yang sesuai dengan keadaan dan budaya Indonesia.
Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) adalah Organisasi otonom dan independen terdiri dari 86 DPRD Kota dari seluruh Indonesia. ADEKSI didirikan pada tanggal 26 Juni 2001 sebagai bagian dari program desentralisasi yang lebih dikenal dengan otonomisasi daerah. ADEKSI melaksanakan tiga kegiatan utama yakni memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan pengembangan kapasitas anggotanya, kegiatan advokasi dan penyediaan layanan informasi dan publikasi. ADEKSI melakukan kerjasama dan didukung oleh lembaga lain baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki misi dan visi yang sejalan, diantaranya terciptanya tata pemerintahan lokal yang baik (good local governance), peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah melalui peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. penebitan buku ini adalah bagian dari kegiatan ADEKSI dalam menyediakan layanan informasi dan publikasi. Yayasan Konrad Adenauer (KAS) adalah salah satu yayasan Jerman terkemuka yang didirikan pada tahun 1964 dan dinamai sesuai Kanselir pertama Republik Federal Jerman.
Memiliki program di lebih dari 100 negara, KAS bertujuan mengembangkan demokrasi, menegakkan aturan-aturan hukum dan sistem ekonomi pasar sosial. KAS tidak memiliki maksud menerapkan secara langsung konsep-konsep dan model-model yang telah berhasil digunakan di Jerman, melainkan menawarkan kerjasama melalui diskusi dan tukar pengalaman antara mitra-mitra dari luar negeri, sehingga tercapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam rangka memberikan kontribusi bagi masa depan Indonesia, KAS menjalin kerjasama baik dengan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, media, dan sebagainya. Fokus kegiatan KAS mencakup civic education dan policy advice, dialog politik dan ekonomi, serta pemahaman antar agama dan budaya.

Pilkada dan Impian Demokrasi Lokal merupakan rencana pemerintah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung mulai bulan Juni 2005, memberikan warna tersendiri bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Setelah sukses Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun lalu, maka pilkada akan menjadi suatu catatan bagi komitmen perluasan peran serta rakyat untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan kategori kewilayahannya masing-masing. Teknis persiapan memang masih dihadang proses penyiapan peraturan pemerintah (PP), dan adanya upaya judicial review (ke Mahkamah Konstitusi) yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah menyangkut Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Bagaimanapun gugatan tentang materi muatan pasal-pasal terkait pilkada tidak menjadi rintangan bagi optimisme demokrasi di tingkat lokal yang berkaitan dengan semangat kedaulatan rakyat dan otonomi daerah.
 Impian demokrasi lokal yang berjalan seiring dengan rencana pilkada, misalnya menghidupkan semangat untuk melakukan evaluasi atas kinerja pemerintahan dalam hal pelayanan publik. Juga kontrol atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan kalangan DPRD. Persoalan yang muncul adalah bagaimana impian lokal itu dapat terwujud dengan terbangunnya suatu pemerintahan yang baik (good governance) yang dibangun dari prosedur pemilihan kepala daerah, hasilnya sejajar dengan kepemimpinan daerah yang tanggap terhadap tuntutan atau kebutuhan rakyatnya, tidak sekadar wishful thinking. Impian Demokrasi Lokal Gagasan pilkada berkaitan dengan harapan menghilangkan persepsi negatif atas mandeknya kedaulatan rakyat semasa demokrasi perwakilan. Kepala Daerah yang dipilih oleh kalangan DPRD hanya membawa mandat terbatas dan sangat mudah dipermainkan oleh politik uang, mengingat skala keterlibatan partisipasi publik melalui wakil-wakilnya yang duduk di parlemen sangat terbatas.
Meskipun tidak dapat dipukul rata, para wakil rakyat di DPRD hanya berfikir bagaimana mengembalikan uang yang dikeluarkan sesegera mungkin dan kalau perlu justru mencari untung melalui posisinya sebagai anggota DPRD. Terlepas dari argumentasi pihak-pihak berpolemik berkenaan ketentuan UU No 32 Tahun 2004, satu hal yang jelas adalah prinsip pembentukan demokrasi tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilu yang dihasilkan. Pemilu merupakan suatu tahap tersendiri dalam membentuk prosedur pemilihan pemimpin yang dilakukan secara demokratis. Lebih dari itu, pemimpin yang dipilih melalui mekanisme demokratis tidak selalu menjamin keberpihakan atas keputusan-keputusan yang diambilnya terhadap aspirasi rakyat yang telah memilih dirinya. Itu sebabnya diperlukan kontrol dari lembaga pewakilan rakyat yaitu melalui wadah DPRD yang keanggotaannyapun dipilih secara demokratis.
Di masa Orde Baru, kejanggalan sempat muncul ketika DPRD dan Kepala Dearah berada dalam satu atap pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan UU No 5 Tahun 1974, sehingga demokrasi lokal justru dikooptasi demikepentingan politik rezim dan jauh dari harapan kedaulatan rakyat. Hal ini diperbaiki oleh pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999, tetapi revolusi otonomi daerah itu masih belum beranjak dari pemilihan secara tidak langsung (representatives democracy) yang ramai dengan dagang sapi antar-elite partai politik untuk tujuan kekuasaan dan uang. Kegagalan dalam melaksanakan kedaulatan rakyat menghasilkan politik otonomi yang sebatas hanya dipahami di tingkat pemerintahan dan kurang menyentuh peran serta masyarakat atas kebijakan-kebijakan pembangunan di daerahnya. Pilkada tampaknya menjadi awal yang positif bagi perwujudan hubungan elit-massa yang saling seimbang dan bukan hanya sebatas pada formalitas proses pembahasan rancanganrancangan peraturan daerah (Raperda) yang berkembang di gedung-gedung pemerintahan daerah. Gagasan demokrasi negara kota (city state) zaman Yunani kuno seolah-olah hidup kembali setelah komitmen pilkada menjadi agenda nasional.
Belajar dari sistem penerapan pemilihan kepala daerah di beberapa negara, tidak terdapat kecurigaan yang harus mempertentangkan antara sistem kenegaraan yang dianut dengan pemimpin lokal yang dipilih langsung oleh rakyat di wilayahnya. Artinya, tidak perlu ada kekhawatiran akan pupusnya nilainilai negara kesatuan ketika pilkada, diterapkan sebagaimana ketiadaan kaitannya dengan dugaan berlebihan menguatnya negara bagian seperti yang dianut sistem federal. Namun, pilkada model UU No 32 Tahun 2004 tampaknya belum beranjak pada perkuatan iklim pluralitas, ketika wewenang penentuan calon-calon harus melalui jalur partai politik. Demokrasi lokal melalui pilkada sangat tergantung pada keputusan elite politik partai. Artinya, meskipun calon (independen) dimungkinkan, tetapi jadi tidaknya mereka sebagai bakal calon yang masuk nominasi partai sangat tergantung partai bersangkutan. Di sini kembali berpotensi oligarki partai yang hanya ditentukan oleh kalangan elite partai. Meskipun pada setiap partai dalam tahap penjaringan bakal calon dan nominasi calon mengambil cara-cara berbeda, seperti halnya melalui konvensi, konferensi daerah, atau sekadar kesepakatan antar pengurusnya setempat, tetapi kemungkinan oligarki itu dapat terjadi. Namun, sebagaimana yang terjadi di tingkat nasional, optimisme tampaknya menjurai. Bukan mustahil berdasarkan popularitas yang melambung, calon dari partai minoritas dapat tampil sebagai pemenang, meskipun partai bersangkutan kalah pada saat Pemilu DPRD.


Tokoh-tokoh daerah diharapkan dapat muncul dan membawa suasana segar dalam pemerintahan daerah, setelah lama kita hidup dalam iklim pemimpin yang didroping dari pusat. Untuk itu, tidak salahnya jika pemerintah pusat sejauh mungkin tetap memegang komitmen otonomi yang dimilikinya tanpa terjebak pada kepentingan sektoral. Nilai-nilai pemerintahan yang baik sebagaimana dihasilkan melalui pilkada langsung tampaknya juga harus dilandaskan pula oleh bagaimana kematangan rakyat di setiap daerah memanfaatkan momentum itu untuk menunjukkan kedaulatan dirinya.

0 comments: