Pemilihan langsung dalam proses transformasi menuju
demokrasi. pencapaian demokrasi hendaknya tidak hanya dinikmati pada tingkat
nasional, namun juga menyentuh tingkat provinsi, kabupaten, bahkan tingkat desa
sekalipun, karenanya perlu pendidikan dan penerapan demokrasi pada tingkat
lokal. Kajian ini membahas mengenai bagaimana pandangan masyarakat mengenai
pemilihan kepala daerah secara langsung, kajian akademis mengenai pemilihan
langsung kepala daerah, dan memberi pengalaman pemilihan kepala daerah di berbagai
negara yang diharapkan dari sana dapat ditemukan suatu cara pemilihan kepala
daerah yang sesuai dengan keadaan dan budaya Indonesia.
Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) adalah
Organisasi otonom dan independen terdiri dari 86 DPRD Kota dari seluruh
Indonesia. ADEKSI didirikan pada tanggal 26 Juni 2001 sebagai bagian dari
program desentralisasi yang lebih dikenal dengan otonomisasi daerah. ADEKSI
melaksanakan tiga kegiatan utama yakni memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan
pengembangan kapasitas anggotanya, kegiatan advokasi dan penyediaan layanan
informasi dan publikasi. ADEKSI melakukan kerjasama dan didukung oleh lembaga
lain baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki misi dan visi yang
sejalan, diantaranya terciptanya tata pemerintahan lokal yang baik (good local
governance), peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah melalui
peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. penebitan buku ini adalah
bagian dari kegiatan ADEKSI dalam menyediakan layanan informasi dan publikasi.
Yayasan Konrad Adenauer (KAS) adalah salah satu yayasan Jerman terkemuka yang
didirikan pada tahun 1964 dan dinamai sesuai Kanselir pertama Republik Federal
Jerman.
Memiliki program di lebih dari 100 negara, KAS
bertujuan mengembangkan demokrasi, menegakkan aturan-aturan hukum dan sistem
ekonomi pasar sosial. KAS tidak memiliki maksud menerapkan secara langsung
konsep-konsep dan model-model yang telah berhasil digunakan di Jerman,
melainkan menawarkan kerjasama melalui diskusi dan tukar pengalaman antara
mitra-mitra dari luar negeri, sehingga tercapai kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak. Dalam rangka memberikan kontribusi bagi masa depan
Indonesia, KAS menjalin kerjasama baik dengan lembaga pemerintah maupun
non-pemerintah, media, dan sebagainya. Fokus kegiatan KAS mencakup civic
education dan policy advice, dialog politik dan ekonomi, serta
pemahaman antar agama dan budaya.
Pilkada dan Impian Demokrasi Lokal merupakan rencana
pemerintah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung
mulai bulan Juni 2005, memberikan warna tersendiri bagi perjalanan demokrasi di
Indonesia. Setelah sukses Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun lalu, maka
pilkada akan menjadi suatu catatan bagi komitmen perluasan peran serta rakyat
untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan kategori kewilayahannya masing-masing.
Teknis persiapan memang masih dihadang proses penyiapan peraturan pemerintah
(PP), dan adanya upaya judicial review (ke Mahkamah Konstitusi) yang
dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Daerah menyangkut Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Bagaimanapun
gugatan tentang materi muatan pasal-pasal terkait pilkada tidak menjadi
rintangan bagi optimisme demokrasi di tingkat lokal yang berkaitan dengan
semangat kedaulatan rakyat dan otonomi daerah.
Impian
demokrasi lokal yang berjalan seiring dengan rencana pilkada, misalnya
menghidupkan semangat untuk melakukan evaluasi atas kinerja pemerintahan dalam
hal pelayanan publik. Juga kontrol atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan kalangan DPRD. Persoalan yang muncul
adalah bagaimana impian lokal itu dapat terwujud dengan terbangunnya suatu
pemerintahan yang baik (good governance) yang dibangun dari prosedur pemilihan
kepala daerah, hasilnya sejajar dengan kepemimpinan daerah yang tanggap
terhadap tuntutan atau kebutuhan rakyatnya, tidak sekadar wishful thinking.
Impian Demokrasi Lokal Gagasan pilkada berkaitan dengan harapan menghilangkan
persepsi negatif atas mandeknya kedaulatan rakyat semasa demokrasi perwakilan.
Kepala Daerah yang dipilih oleh kalangan DPRD hanya membawa mandat terbatas dan
sangat mudah dipermainkan oleh politik uang, mengingat skala keterlibatan
partisipasi publik melalui wakil-wakilnya yang duduk di parlemen sangat
terbatas.
Meskipun tidak dapat dipukul rata, para wakil rakyat
di DPRD hanya berfikir bagaimana mengembalikan uang yang dikeluarkan sesegera
mungkin dan kalau perlu justru mencari untung melalui posisinya sebagai anggota
DPRD. Terlepas dari argumentasi pihak-pihak berpolemik berkenaan ketentuan UU
No 32 Tahun 2004, satu hal yang jelas adalah prinsip pembentukan demokrasi
tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilu yang dihasilkan. Pemilu merupakan
suatu tahap tersendiri dalam membentuk prosedur pemilihan pemimpin yang
dilakukan secara demokratis. Lebih dari itu, pemimpin yang dipilih melalui
mekanisme demokratis tidak selalu menjamin keberpihakan atas
keputusan-keputusan yang diambilnya terhadap aspirasi rakyat yang telah memilih
dirinya. Itu sebabnya diperlukan kontrol dari lembaga pewakilan rakyat yaitu
melalui wadah DPRD yang keanggotaannyapun dipilih secara demokratis.
Di masa Orde Baru, kejanggalan sempat muncul ketika
DPRD dan Kepala Dearah berada dalam satu atap pemerintahan daerah sebagaimana
ditentukan UU No 5 Tahun 1974, sehingga demokrasi lokal justru dikooptasi
demikepentingan politik rezim dan jauh dari harapan kedaulatan rakyat. Hal ini diperbaiki
oleh pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999, tetapi revolusi otonomi daerah itu masih
belum beranjak dari pemilihan secara tidak langsung (representatives
democracy) yang ramai dengan dagang sapi antar-elite partai politik untuk
tujuan kekuasaan dan uang. Kegagalan dalam melaksanakan kedaulatan rakyat
menghasilkan politik otonomi yang sebatas hanya dipahami di tingkat
pemerintahan dan kurang menyentuh peran serta masyarakat atas
kebijakan-kebijakan pembangunan di daerahnya. Pilkada tampaknya menjadi awal
yang positif bagi perwujudan hubungan elit-massa yang saling seimbang dan bukan
hanya sebatas pada formalitas proses pembahasan rancanganrancangan peraturan
daerah (Raperda) yang berkembang di gedung-gedung pemerintahan daerah. Gagasan
demokrasi negara kota (city state) zaman Yunani kuno seolah-olah hidup
kembali setelah komitmen pilkada menjadi agenda nasional.
Belajar dari sistem penerapan pemilihan kepala
daerah di beberapa negara, tidak terdapat kecurigaan yang harus
mempertentangkan antara sistem kenegaraan yang dianut dengan pemimpin lokal
yang dipilih langsung oleh rakyat di wilayahnya. Artinya, tidak perlu ada
kekhawatiran akan pupusnya nilainilai negara kesatuan ketika pilkada,
diterapkan sebagaimana ketiadaan kaitannya dengan dugaan berlebihan menguatnya
negara bagian seperti yang dianut sistem federal. Namun, pilkada model UU No 32
Tahun 2004 tampaknya belum beranjak pada perkuatan iklim pluralitas, ketika
wewenang penentuan calon-calon harus melalui jalur partai politik. Demokrasi
lokal melalui pilkada sangat tergantung pada keputusan elite politik partai.
Artinya, meskipun calon (independen) dimungkinkan, tetapi jadi tidaknya mereka
sebagai bakal calon yang masuk nominasi partai sangat tergantung partai
bersangkutan. Di sini kembali berpotensi oligarki partai yang hanya ditentukan
oleh kalangan elite partai. Meskipun pada setiap partai dalam tahap penjaringan
bakal calon dan nominasi calon mengambil cara-cara berbeda, seperti halnya
melalui konvensi, konferensi daerah, atau sekadar kesepakatan antar pengurusnya
setempat, tetapi kemungkinan oligarki itu dapat terjadi. Namun, sebagaimana
yang terjadi di tingkat nasional, optimisme tampaknya menjurai. Bukan mustahil
berdasarkan popularitas yang melambung, calon dari partai minoritas dapat
tampil sebagai pemenang, meskipun partai bersangkutan kalah pada saat Pemilu
DPRD.
Tokoh-tokoh daerah diharapkan dapat muncul dan
membawa suasana segar dalam pemerintahan daerah, setelah lama kita hidup dalam
iklim pemimpin yang didroping dari pusat. Untuk itu, tidak salahnya jika
pemerintah pusat sejauh mungkin tetap memegang komitmen otonomi yang
dimilikinya tanpa terjebak pada kepentingan sektoral. Nilai-nilai pemerintahan
yang baik sebagaimana dihasilkan melalui pilkada langsung tampaknya juga harus
dilandaskan pula oleh bagaimana kematangan rakyat di setiap daerah memanfaatkan
momentum itu untuk menunjukkan kedaulatan dirinya.
0 comments:
Post a Comment